Kepala BNPT: Pendidikan Kebangsaan Cegah Ideologi Radikal Terorisme
Selasa, 21 November 2023 - 21:04 WIB
Rycko memaparkan bahwa ada tiga faktor mendasar mengapa terjadi migrasi dan peningkatan signifikan terhadap sikap toleransi pada remaja. Pertama, lack of history, yakni kurangnya kesadaran tentang bagaimana para pahlawan memperjuangkan kemerdekaan NKRI. Kedua, budi pekerti. Ketiga, pengetahuan dan wawasan kebangsaan.
Kepala BNPT juga menegaskan bahwa terjadi pola perubahan serangan terorisme di Indonesia. Dari 2018-2023 terjadi penurunan open attack. Hal itu karena masifnya penindakan dari Densus 88.
Kemudian, karakter generasi muda yang tidak menyukai kekerasan, di samping kekerasan yang sudah tidak populer di kalangan remaja. Karena itu para radikal teroris mengubah pendekatan dari hard approach menjadi soft approach, yaitu gerakan di bawah tanah secara sistematis, terstruktur, dan masif.
“Target utama radikalisasi ini adalah remaja, anak, dan perempuan. Mereka menggunakan media sosial, yang dulunya menggunakan strategy bullet lalu sekarang menjadi ballot strategy,” tuturnya.
Selanjutnya, ia mengkorelasikan antara strategi bawah tanah itu dengan fenomena self radicalization yang merupakan anak kandung dari online radicalization. Self radicalization itu kemudian melahirkan lonewolf yang bergerak sendirian tanpa struktur hierarkis.
“Mereka (lone wolf) bergerak sendirian, mengumpulkan dana-dana lewat barcode memanfaatkan sifat orang Indonesia yang murah hati. Mereka bersedekah yang tahunya masuk ke rekening akun radikal,” papar Rycko.
Kepala BNPT RI meneguhkan tiga kelompok rentan ini jangan sampai terpapar karena mereka merupakan generasi penerus bangsa.
“Jika ketiga kelompok ini menjadi intoleran, dapat dibayangkan dapat terjadi banalisasi bangsa, konsep kebangsaan yang dibangun dari persatuan dan perbedaan ini selesai. Ini yang saya saya katakan jika ingin mengakhiri bangsa Indonesia,” tegas Rycko.
Ia menambahkan bahwa kelompok radikal teroris juga pandai memanipulasi kesucian simbol dan atribut agama untuk mempersuasi targetnya. Mahasiswa pada dasarnya tidak menyukai cara kekerasan, namun karena dibungkus dengan dalil agama maka ia menjadi menarik dan membuat korbannya terbuai.
Rycko berpesan kepada para mahasiswa dan civitas Universitas Jenderal Soedirman untuk membangun kesadaran bersama tentang bahaya laten ideologi kekerasan apapun namanya. Ia menyuruh mahasiswa untuk lapor ke pihak berwenang jika menemukan kajian yang mengajarkan kekerasan dan intoleran.
Kepala BNPT juga menegaskan bahwa terjadi pola perubahan serangan terorisme di Indonesia. Dari 2018-2023 terjadi penurunan open attack. Hal itu karena masifnya penindakan dari Densus 88.
Kemudian, karakter generasi muda yang tidak menyukai kekerasan, di samping kekerasan yang sudah tidak populer di kalangan remaja. Karena itu para radikal teroris mengubah pendekatan dari hard approach menjadi soft approach, yaitu gerakan di bawah tanah secara sistematis, terstruktur, dan masif.
“Target utama radikalisasi ini adalah remaja, anak, dan perempuan. Mereka menggunakan media sosial, yang dulunya menggunakan strategy bullet lalu sekarang menjadi ballot strategy,” tuturnya.
Selanjutnya, ia mengkorelasikan antara strategi bawah tanah itu dengan fenomena self radicalization yang merupakan anak kandung dari online radicalization. Self radicalization itu kemudian melahirkan lonewolf yang bergerak sendirian tanpa struktur hierarkis.
“Mereka (lone wolf) bergerak sendirian, mengumpulkan dana-dana lewat barcode memanfaatkan sifat orang Indonesia yang murah hati. Mereka bersedekah yang tahunya masuk ke rekening akun radikal,” papar Rycko.
Kepala BNPT RI meneguhkan tiga kelompok rentan ini jangan sampai terpapar karena mereka merupakan generasi penerus bangsa.
“Jika ketiga kelompok ini menjadi intoleran, dapat dibayangkan dapat terjadi banalisasi bangsa, konsep kebangsaan yang dibangun dari persatuan dan perbedaan ini selesai. Ini yang saya saya katakan jika ingin mengakhiri bangsa Indonesia,” tegas Rycko.
Ia menambahkan bahwa kelompok radikal teroris juga pandai memanipulasi kesucian simbol dan atribut agama untuk mempersuasi targetnya. Mahasiswa pada dasarnya tidak menyukai cara kekerasan, namun karena dibungkus dengan dalil agama maka ia menjadi menarik dan membuat korbannya terbuai.
Rycko berpesan kepada para mahasiswa dan civitas Universitas Jenderal Soedirman untuk membangun kesadaran bersama tentang bahaya laten ideologi kekerasan apapun namanya. Ia menyuruh mahasiswa untuk lapor ke pihak berwenang jika menemukan kajian yang mengajarkan kekerasan dan intoleran.
Lihat Juga :
tulis komentar anda