Jalan Tengah Penyelesaian Sawit Rakyat dalam Kawasan Hutan
Selasa, 04 Agustus 2020 - 14:01 WIB
"Contohnya, ketika resettlement, apakah pemerintah daerah mempunyai modal yang cukup untuk menekan potensi konflik tenurial (lahan)? Atau ketika pemerintah menetapkan status kawasan hutan sebagai perhutanan sosial, apakah ada jaminan lahan tersebut akan dikelola dengan cara-cara yang berkelanjutan? Pertanyaan ini belum mampu dijawab oleh Perpres 88/2017," ucap Hifdzil.
Lebih lanjut Hifdzil menilai, tidak dimasukkan secara frasa sawit dalam lahan garapan sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat 4 Perpres 88 tahun 2017 justru mengakibatkan tidak terjawabnya akar masalah pengelolaan lahan sawit.
"Pemerintah sebaiknya memperhatikan bagaimana implementasi instrumen hukum dan kebijakan yang telah dibuat untuk memastikan penyelesaian masalah sawit rakyat dengan menyasar langsung pada akar masalah," demikian usulan eks Wakil Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM ini.
Padahal dengan potensi sawit sebagai primadona perkebunan, Hifdzil berpandangan, pemerintah seharusnya memberi perhatian dalam menjawab setiap akar masalah pengelolaan sawit.
Dengan demikian, tidak akan terjadi konflik yang kemudian menghambat produksi sawit sebagai komoditas ekonomi unggulan selain minyak dan gas.
"Sistem perkebunan dengan menggunakan konsep agroforestry atau kebun campur juga perlu dipertimbangkan oleh pemerintah sebagai alternatif penyelesaian sawit rakyat dalam kawasan hutan," tambah Hifdzil.
Sebagaimana diketahui, agroforestry bukanlah suatu hal yang baru dalam model perkebunan berkelanjutan yang telah diatur dalam PermenLHK No. P.83. Namun, masih terdapat pembatasan waktu terhadap sawit dalam perhutanan sosial yaitu selama 12 tahun sejak masa tanam.
"Pemerintah juga perlu meninjau ulang ketentuan tersebut. Misalnya, dengan mempertimbangkan daur ulang sawit, atau dengan tidak memasukkan jangka waktu, tetapi petani diwajibkan untuk menanam 100 pohon dalam satu hektare," demikian salah satu solusi lain pengelolan lahan sawit rakyat di Indonesia.
Lebih lanjut Hifdzil menilai, tidak dimasukkan secara frasa sawit dalam lahan garapan sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat 4 Perpres 88 tahun 2017 justru mengakibatkan tidak terjawabnya akar masalah pengelolaan lahan sawit.
"Pemerintah sebaiknya memperhatikan bagaimana implementasi instrumen hukum dan kebijakan yang telah dibuat untuk memastikan penyelesaian masalah sawit rakyat dengan menyasar langsung pada akar masalah," demikian usulan eks Wakil Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM ini.
Padahal dengan potensi sawit sebagai primadona perkebunan, Hifdzil berpandangan, pemerintah seharusnya memberi perhatian dalam menjawab setiap akar masalah pengelolaan sawit.
Dengan demikian, tidak akan terjadi konflik yang kemudian menghambat produksi sawit sebagai komoditas ekonomi unggulan selain minyak dan gas.
"Sistem perkebunan dengan menggunakan konsep agroforestry atau kebun campur juga perlu dipertimbangkan oleh pemerintah sebagai alternatif penyelesaian sawit rakyat dalam kawasan hutan," tambah Hifdzil.
Sebagaimana diketahui, agroforestry bukanlah suatu hal yang baru dalam model perkebunan berkelanjutan yang telah diatur dalam PermenLHK No. P.83. Namun, masih terdapat pembatasan waktu terhadap sawit dalam perhutanan sosial yaitu selama 12 tahun sejak masa tanam.
"Pemerintah juga perlu meninjau ulang ketentuan tersebut. Misalnya, dengan mempertimbangkan daur ulang sawit, atau dengan tidak memasukkan jangka waktu, tetapi petani diwajibkan untuk menanam 100 pohon dalam satu hektare," demikian salah satu solusi lain pengelolan lahan sawit rakyat di Indonesia.
(maf)
tulis komentar anda