Komnas Perempuan Tegaskan Kawin Tangkap Dilarang UU TPKS
Senin, 11 September 2023 - 12:38 WIB
JAKARTA - Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menegaskan bahwa praktik kawin tangkap atau kawin paksa di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT) dilarang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ( TPKS ). Dia mengapresiasi kepolisian menetapkan empat orang tersangka kasus yang viral tersebut.
"Terkait dengan kawin tangkap yang masih terjadi di NTT, dapat dikategorikan sebagai bentuk pemaksaan perkawinan, perbuatan yang telah dilarang dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 Tentang TPKS," katanya, Senin (11/9/2023).
Dia berharap adanya peranan pemerintah daerah (Pemda) dalam menyosialisasikan UU TPKS kepada masyarakat setempat. Hal ini agar dapat membangun kesadaran bersama bahwa tindakan kawin paksa tidak boleh dilakukan.
"Mengingat budaya telah berlangsung lama dan dianggap sebagai hal biasa maka pemda yang juga oleh UU TPKS diberikan mandat untuk menyelenggarakan pencegahan TPKS harus menyosialisasikan larangan pemaksaan perkawinan dalam segala bentuknya kepada tokoh agama, tokoh adat, dan aparat penegak hukum," ujarnya.
"Sehingga, ke depan, terbangun kesadaran bersama bahwa pemaksaan perkawinan atas nama praktik budaya tidak boleh lagi dilakukan," sambungnya.
Dia mengapresiasi kepolisian telah menggunakan secara kumulatif antara KUHP dan UU TPKS. "Yaitu para tersangka dijerat dengan Pasal 328 KUHP sub Pasal 333 KUHP Junto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 10 UU TPKS," ungkapnya.
"Hal ini juga mengingatkan bahwa korban berhak dipenuhi hak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihannya. Yang pelaksanaannya bekerja sama dengan pemda melalui UPTD PPA," pungkasnya.
"Terkait dengan kawin tangkap yang masih terjadi di NTT, dapat dikategorikan sebagai bentuk pemaksaan perkawinan, perbuatan yang telah dilarang dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 Tentang TPKS," katanya, Senin (11/9/2023).
Dia berharap adanya peranan pemerintah daerah (Pemda) dalam menyosialisasikan UU TPKS kepada masyarakat setempat. Hal ini agar dapat membangun kesadaran bersama bahwa tindakan kawin paksa tidak boleh dilakukan.
"Mengingat budaya telah berlangsung lama dan dianggap sebagai hal biasa maka pemda yang juga oleh UU TPKS diberikan mandat untuk menyelenggarakan pencegahan TPKS harus menyosialisasikan larangan pemaksaan perkawinan dalam segala bentuknya kepada tokoh agama, tokoh adat, dan aparat penegak hukum," ujarnya.
"Sehingga, ke depan, terbangun kesadaran bersama bahwa pemaksaan perkawinan atas nama praktik budaya tidak boleh lagi dilakukan," sambungnya.
Dia mengapresiasi kepolisian telah menggunakan secara kumulatif antara KUHP dan UU TPKS. "Yaitu para tersangka dijerat dengan Pasal 328 KUHP sub Pasal 333 KUHP Junto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 10 UU TPKS," ungkapnya.
"Hal ini juga mengingatkan bahwa korban berhak dipenuhi hak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihannya. Yang pelaksanaannya bekerja sama dengan pemda melalui UPTD PPA," pungkasnya.
(rca)
tulis komentar anda