Step by Step ala PT PAL Membangun Kompetensi Kapal Perang
Senin, 04 September 2023 - 19:57 WIB
Sudah lama PT PAL dikenal memiliki kemampuan membuat berbagai jenis kapal niaga, baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor. Produk dimaksud mulai dari kapal perintis untuk penumpang dan barang, kapal LPG/LNG carrier, hingga kapal tanker yang memiliki kapasitas 30.000 DWT.
Walaupun sudah terbiasa menggarap kapal niaga, bukan berarti PT PAL serta-merta mampu membuat kapal perang. Produksi kapal perang lebih kompleks dan teknologinya selalu bersifat termutakhir atau state of the art. Dengan demikian kapal perang yang dihasilkan harus mengikuti perkembangan jaman dan dapat mengimbangi kekuatan lawan atau bahkan menghadirkan kekuatan detterrence.
Bagi PT PAL yang berasal dari negara berkembang, tidak mudah mendapat knowledge dan akses teknologi kapal perang termutakhir. Apalagi Indonesia tidak menjadi bagian aliansi kekuatan dunia. Karena itu, di tengah keterbatasan kapasitas SDM, anggaran, jejaring negara sahabat, dan lainnya, berbagai kerjasama b to b atau g to g, diplomasi politik, dan berbagai terobosan kreatif lain niscaya harus dilakukan. Selain kerja sama dengan negara atau perusahaan lain, PT PAL juga perlu berkolaborasi BUMN atau industri swasta terkait.
Beruntung Indonesia memiliki PT PAL yang merupakan center of excellence industri maritim. Dengan pengalaman yang dimiliki dan SDM handal, PT PAL bisa dengan mudah menyerap transfer kompetensi dari kerja sama yang dilakukan dengan pihak lain seperti dikemas dalam bentuk transfer of technology (ToT).
Secara faktual tidak mudah memainkan peran seperti PT PAL. Contoh kongkretnya adalah gagalnya Boustead Naval Shipyard (BNS) Malaysia memenuhi target pengerjaan kapal littoral combat ship (LCS) Maharaja Lela yang mengambil platform kelas Gowind dari Prancis. Walaupun ada bau korupsi, nir-pengalaman dan ketidakmampuan SDM juga menjadi faktor penentu kegagalan.
Keberanian PT PAL membangun Fregat Merah Putih saat ini tentu setelah melalui proses panjang, yang dimulai dengan jenis kapal lebih kecil atau kapal patroli. Momentumnya dimulai dari pembangunan kapal fast patrol boat (FPB) 57 m. Awalnya, 4 buah FPB-57 (KRI Kakap kelas) batch pertama dibuat di galangan kapal Lurssen, Jerman. Pada batch kedua, PT PAL kemudian dipercaya merakit 4 FPB-57 (KRI Andau kelas). Baru pada batch ketiga perusahaan anak bangsa sepenuhnya membangun 2 FPB-75 (KRI Pandrong kelas), dan pada era 2000-2004 telah berani mengembangkan 4 FPB-57 (KRI Todak kelas).
Masih di kelas kapal cepat, PT PAL juga telah memproduksi empat kapal cepat rudal (KCR) KRI Sampari kelas, yang konon menggunakan platform FPB. Belakangan, BPPT melakukan kajian review desain KCR 60 meter ini dengan arah menyusun desain standar KCR-60 yang mengacu pada operational requirement, spesifikasi teknisTNI AL, serta menyesuaikan aturan dan regulasi sehingga kapal memiliki performa lebih baik. Pasca-review, PT PAL belum lama ini merilis KRI Kapak-625 dan KRI Panah-626.
Tonggak penting PT PAL membangun kapal lebih besar terjadi saat Indonesia bekerja sama dengan Damen Schelde Naval Shipbuilding Belanda membangun empat KRI Diponegoro kelas. Dengan perjanjian ToT, pembangunan yang awalnya sebagian besar dilakukan di negeri Belanda, selanjutnya dilakukan di PT PAL. Masih bekerja sama dengan DSME, PT PAL juga dipercaya membangun fregat perusak kawal rudal (PKR) KRI Martadinata (331) dan KRI I Gusti Ngurah Rai (332).
Pada saat hampir bersamaan PT PAL juga mendapat amanat untuk membuat kapal jenis landing platform doc (LPD) bekerja dengan Daewo Shipbuildings & Marine Engineering Korea Selatan (Korsel). Skema ToT saat itu, dua kapal awal dibangun di negeri gingseng tersebut, yakni KRI Makassar (590) dan KRI Surabaya (591).
Berangkat dari desain LPD tersebut dan kompetensi yang telah diraih, PT PAL kemudian membangun KRI Banjarmasin (592), KRI Banda Aceh (593), KRI Semarang (594). Masih memanfaatkan platfrom yang sama, TNI AL kemudian juga memesan kapal bantu rumah sakit (BRS) dan menghasilkan KRI dr Soeharso (990) dan KRI dr Wahidin Soedirohusodo (991).
Walaupun sudah terbiasa menggarap kapal niaga, bukan berarti PT PAL serta-merta mampu membuat kapal perang. Produksi kapal perang lebih kompleks dan teknologinya selalu bersifat termutakhir atau state of the art. Dengan demikian kapal perang yang dihasilkan harus mengikuti perkembangan jaman dan dapat mengimbangi kekuatan lawan atau bahkan menghadirkan kekuatan detterrence.
Bagi PT PAL yang berasal dari negara berkembang, tidak mudah mendapat knowledge dan akses teknologi kapal perang termutakhir. Apalagi Indonesia tidak menjadi bagian aliansi kekuatan dunia. Karena itu, di tengah keterbatasan kapasitas SDM, anggaran, jejaring negara sahabat, dan lainnya, berbagai kerjasama b to b atau g to g, diplomasi politik, dan berbagai terobosan kreatif lain niscaya harus dilakukan. Selain kerja sama dengan negara atau perusahaan lain, PT PAL juga perlu berkolaborasi BUMN atau industri swasta terkait.
Beruntung Indonesia memiliki PT PAL yang merupakan center of excellence industri maritim. Dengan pengalaman yang dimiliki dan SDM handal, PT PAL bisa dengan mudah menyerap transfer kompetensi dari kerja sama yang dilakukan dengan pihak lain seperti dikemas dalam bentuk transfer of technology (ToT).
Secara faktual tidak mudah memainkan peran seperti PT PAL. Contoh kongkretnya adalah gagalnya Boustead Naval Shipyard (BNS) Malaysia memenuhi target pengerjaan kapal littoral combat ship (LCS) Maharaja Lela yang mengambil platform kelas Gowind dari Prancis. Walaupun ada bau korupsi, nir-pengalaman dan ketidakmampuan SDM juga menjadi faktor penentu kegagalan.
Keberanian PT PAL membangun Fregat Merah Putih saat ini tentu setelah melalui proses panjang, yang dimulai dengan jenis kapal lebih kecil atau kapal patroli. Momentumnya dimulai dari pembangunan kapal fast patrol boat (FPB) 57 m. Awalnya, 4 buah FPB-57 (KRI Kakap kelas) batch pertama dibuat di galangan kapal Lurssen, Jerman. Pada batch kedua, PT PAL kemudian dipercaya merakit 4 FPB-57 (KRI Andau kelas). Baru pada batch ketiga perusahaan anak bangsa sepenuhnya membangun 2 FPB-75 (KRI Pandrong kelas), dan pada era 2000-2004 telah berani mengembangkan 4 FPB-57 (KRI Todak kelas).
Masih di kelas kapal cepat, PT PAL juga telah memproduksi empat kapal cepat rudal (KCR) KRI Sampari kelas, yang konon menggunakan platform FPB. Belakangan, BPPT melakukan kajian review desain KCR 60 meter ini dengan arah menyusun desain standar KCR-60 yang mengacu pada operational requirement, spesifikasi teknisTNI AL, serta menyesuaikan aturan dan regulasi sehingga kapal memiliki performa lebih baik. Pasca-review, PT PAL belum lama ini merilis KRI Kapak-625 dan KRI Panah-626.
Tonggak penting PT PAL membangun kapal lebih besar terjadi saat Indonesia bekerja sama dengan Damen Schelde Naval Shipbuilding Belanda membangun empat KRI Diponegoro kelas. Dengan perjanjian ToT, pembangunan yang awalnya sebagian besar dilakukan di negeri Belanda, selanjutnya dilakukan di PT PAL. Masih bekerja sama dengan DSME, PT PAL juga dipercaya membangun fregat perusak kawal rudal (PKR) KRI Martadinata (331) dan KRI I Gusti Ngurah Rai (332).
Pada saat hampir bersamaan PT PAL juga mendapat amanat untuk membuat kapal jenis landing platform doc (LPD) bekerja dengan Daewo Shipbuildings & Marine Engineering Korea Selatan (Korsel). Skema ToT saat itu, dua kapal awal dibangun di negeri gingseng tersebut, yakni KRI Makassar (590) dan KRI Surabaya (591).
Berangkat dari desain LPD tersebut dan kompetensi yang telah diraih, PT PAL kemudian membangun KRI Banjarmasin (592), KRI Banda Aceh (593), KRI Semarang (594). Masih memanfaatkan platfrom yang sama, TNI AL kemudian juga memesan kapal bantu rumah sakit (BRS) dan menghasilkan KRI dr Soeharso (990) dan KRI dr Wahidin Soedirohusodo (991).
Lihat Juga :
tulis komentar anda