Menunggu Uji Klinis Vaksin Korona
Kamis, 30 Juli 2020 - 06:07 WIB
SETIAP hari masyarakat yang terkontaminasi virus korona jumlahnya masih ribuan. Sejumlah wilayah yang sudah melonggarkan program Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) terpaksa diketatkan dan diperpanjang lagi masa berlakunya. Selain berjibaku mengatasi pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) itu, pemerintah juga fokus mencari vaksin dengan menggelar sederet kerja sama dengan berbagai pihak di antaranya perusahaan pelat merah PT Bio Farma telah menggandeng Sinovac Biotech Ltd perusahaan asal China. Vaksin produksi Sinovac itu sudah mendapat izin uji klinis dari Komite Etik Universitas Padjajaran (Unpad) dan Bio Farma. Sejumlah masyarakat bersedia menjadi relawan. Pemerintah menargetkan vaksin tersebut sudah bisa diproduksi pada Oktober dengan kapasitas sebanyak 10 juta dosis per bulan.
Demi mendapatkan vaksin secepatnya, Bio Farma tidak hanya membuka pintu untuk perusahaan asal China, tetapi juga perusahaan dari Korea Selatan, yakni Genexine Consortium. Kerja sama produksi vaksin korona antara perusahaan farmasi milik negara dengan perusahaan dari Negeri Ginseng itu segera memasuki uji klinis. Selain mengandalkan kerja sama dengan perusahaan asing, Bio Farma bersama Kemeterian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) sedang mengembangkan pembuatan vaksin korona atau lebih akrab dengan sebutan vaksin merah putih. Selanjutnya Bio Farma sedang menyiapkan kerja sama dengan Coalition for Epidemic Preparedness Innovation (CEPI). Melalui kerja sama tersebut Indonesia bisa mengakses berbagai penemuan vaksin di seluruh dunia.
Menarik dicermati ternyata untuk uji klinis tahap ketiga vaksin produksi Sinovac mendapat respons antusias dari para relawan. Namun, untuk menjadi relawan harus memenuhi sejumlah kriteria, misalnya relawan harus berusia dari 18 tahun hingga 59 tahun dan dalam kondisi sehat. Kemudian relawan tidak memiliki riwayat terinfeksi korona. Untuk uji klinis tersebut dibutuhkan sebanyak 1.620 relawan. Terkait dengan uji klinis vaksin itu, sempat mengundang nada sumbang dari sejumlah kalangan. Pasalnya, masyarakat Indonesia dinilai hanya sebagai "kelinci percobaan" vaksin buatan China. Sebagaimana berkembang di media sosial bahwa pengujian vaksin itu hanya akal-akalan dari pihak China sebagai jalan untuk meluaskan pengaruh ke Indonesia. Secara akal sehat kekhawatiran tersebut sangat berlebihan, tapi yang namanya media sosial siapa saja bebas untuk berkomentar.
Untuk meluruskan opini yang berkembang di media sosial, mengutip penjelasan dari Vaksinolog, Dirga Sakti Rambe, bahwa vaksin korona produksi Sinovac sudah terlebih dulu dilakukan uji klinis di Negeri Tirai Bambu. Setiap pembuatan vaksin memiliki standar operasional bahwa tahap uji klinis ketiga dilakukan pada populasi yang lebih luas. Jadi, tidak tepat menilai kalau uji klinis tahap tiga terhadap masyarakat Indonesia adalah sebuah "kelinci percobaan" karena sudah menjadi prosedur standar. Maka itu, diproduksi dari manapun vaksin tersebut sebelum digunakan masyarakat Indonesia memang harus melalui uji klinis. Relawan yang ikut uji klinis sudah diseleksi secara ketat agar memenuhi kriteria yang disyaratkan.
Sebenarnya Indonesia memiliki kemampuan untuk memproduksi berbagai jenis obat termasuk vaksin secara mandiri. Sebagaimana dibeberkan Pakar Farmasi, Dadang Kurniawan, Indonesia memiliki ribuan spesies tanaman obat, hanya saja industri farmasi selama ini dianaktirikan. Untuk memenuhi bahan baku obat hampir semua harus ditebus melalui impor. Selain itu, Indonesia memiliki sejumlah lembaga kompeten untuk memproduksi vaksin lokal. Apa yang diungkapkan pakar farmasi dari Universitas Soedirman (Unsoed) itu terkonfirmasi dari pernyataan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) bahwa bahan baku farmasi di Indonesia sebanyak 95% masih impor saat diungkapkan pada sebuah rapat kabinet beberapa waktu lalu.
Menyadari kelemahan industri farmasi dalam negeri tersebut, mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyatakan insentif terhadap riset di bidang farmasi harus diperbesar, khususnya riset untuk menghasilkan obat dan alat kesehatan sehingga Indonesia tidak tergantung sepenuhnya dari produk luar negeri. Diperkirakan kebutuhan bahan baku obat yang 95% berasal dari impor nilainya mencapai sebesar USD2,5 miliar hingga USD2,7 miliar per tahun. China tercatat sebagai negara pemasok bahan baku obat terbesar yang mencapai 60%. Karena itu, dalam masa pandemi Covid-19 industri farmasi juga bermasalah karena terkendala bahan baku. Padahal permintaan terhadap obat-obatan saat ini begitu tinggi. Karena itu, kehadiran pandemi Covid-19 adalah sebuah momentum untuk memperbaiki sistem kesehatan nasional, terutama dalam memberdayakan industri farmasi di dalam negeri.
Demi mendapatkan vaksin secepatnya, Bio Farma tidak hanya membuka pintu untuk perusahaan asal China, tetapi juga perusahaan dari Korea Selatan, yakni Genexine Consortium. Kerja sama produksi vaksin korona antara perusahaan farmasi milik negara dengan perusahaan dari Negeri Ginseng itu segera memasuki uji klinis. Selain mengandalkan kerja sama dengan perusahaan asing, Bio Farma bersama Kemeterian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) sedang mengembangkan pembuatan vaksin korona atau lebih akrab dengan sebutan vaksin merah putih. Selanjutnya Bio Farma sedang menyiapkan kerja sama dengan Coalition for Epidemic Preparedness Innovation (CEPI). Melalui kerja sama tersebut Indonesia bisa mengakses berbagai penemuan vaksin di seluruh dunia.
Menarik dicermati ternyata untuk uji klinis tahap ketiga vaksin produksi Sinovac mendapat respons antusias dari para relawan. Namun, untuk menjadi relawan harus memenuhi sejumlah kriteria, misalnya relawan harus berusia dari 18 tahun hingga 59 tahun dan dalam kondisi sehat. Kemudian relawan tidak memiliki riwayat terinfeksi korona. Untuk uji klinis tersebut dibutuhkan sebanyak 1.620 relawan. Terkait dengan uji klinis vaksin itu, sempat mengundang nada sumbang dari sejumlah kalangan. Pasalnya, masyarakat Indonesia dinilai hanya sebagai "kelinci percobaan" vaksin buatan China. Sebagaimana berkembang di media sosial bahwa pengujian vaksin itu hanya akal-akalan dari pihak China sebagai jalan untuk meluaskan pengaruh ke Indonesia. Secara akal sehat kekhawatiran tersebut sangat berlebihan, tapi yang namanya media sosial siapa saja bebas untuk berkomentar.
Untuk meluruskan opini yang berkembang di media sosial, mengutip penjelasan dari Vaksinolog, Dirga Sakti Rambe, bahwa vaksin korona produksi Sinovac sudah terlebih dulu dilakukan uji klinis di Negeri Tirai Bambu. Setiap pembuatan vaksin memiliki standar operasional bahwa tahap uji klinis ketiga dilakukan pada populasi yang lebih luas. Jadi, tidak tepat menilai kalau uji klinis tahap tiga terhadap masyarakat Indonesia adalah sebuah "kelinci percobaan" karena sudah menjadi prosedur standar. Maka itu, diproduksi dari manapun vaksin tersebut sebelum digunakan masyarakat Indonesia memang harus melalui uji klinis. Relawan yang ikut uji klinis sudah diseleksi secara ketat agar memenuhi kriteria yang disyaratkan.
Sebenarnya Indonesia memiliki kemampuan untuk memproduksi berbagai jenis obat termasuk vaksin secara mandiri. Sebagaimana dibeberkan Pakar Farmasi, Dadang Kurniawan, Indonesia memiliki ribuan spesies tanaman obat, hanya saja industri farmasi selama ini dianaktirikan. Untuk memenuhi bahan baku obat hampir semua harus ditebus melalui impor. Selain itu, Indonesia memiliki sejumlah lembaga kompeten untuk memproduksi vaksin lokal. Apa yang diungkapkan pakar farmasi dari Universitas Soedirman (Unsoed) itu terkonfirmasi dari pernyataan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) bahwa bahan baku farmasi di Indonesia sebanyak 95% masih impor saat diungkapkan pada sebuah rapat kabinet beberapa waktu lalu.
Menyadari kelemahan industri farmasi dalam negeri tersebut, mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyatakan insentif terhadap riset di bidang farmasi harus diperbesar, khususnya riset untuk menghasilkan obat dan alat kesehatan sehingga Indonesia tidak tergantung sepenuhnya dari produk luar negeri. Diperkirakan kebutuhan bahan baku obat yang 95% berasal dari impor nilainya mencapai sebesar USD2,5 miliar hingga USD2,7 miliar per tahun. China tercatat sebagai negara pemasok bahan baku obat terbesar yang mencapai 60%. Karena itu, dalam masa pandemi Covid-19 industri farmasi juga bermasalah karena terkendala bahan baku. Padahal permintaan terhadap obat-obatan saat ini begitu tinggi. Karena itu, kehadiran pandemi Covid-19 adalah sebuah momentum untuk memperbaiki sistem kesehatan nasional, terutama dalam memberdayakan industri farmasi di dalam negeri.
(ras)
tulis komentar anda