'Tinggalkan' Medsos, Publik Cari Informasi soal Covid-19 di TV dan Media Online
Senin, 27 Juli 2020 - 09:04 WIB
JAKARTA - Media sosial (medsos) mulai kehilangan trust atau kepercayaan dari publik terkait penyebaran informasi wabah Covid-19 . Publik kembali melirik media televisi dan media online untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas dan akurat terkait perkembangan penyebaran virus corona.
Demikian diungkapkan pengamat media Tomy Satryatomo dalam diskusi publik daring bertajuk 'Mendamaikan Ekonomi dan Pandemi: New Normal Bukan Back to Normal', Minggu (26/7/2020) malam. "Masyarakat mulai mampu menyaring karena kecenderungan informasi di medsos seringkali terselip hal-hal yang bersifat hate speech dan hoaks yang sulit dipertanggungjawabkan," ujar Tomi yang menjadi salah satu narasumber diskusi yang digelar Balitbang DPP Partai Demokrat tersebut.
Selain Tomi, diskusi publik daring Proklamasi Democracy Forum (PDF) ini juga dihadiri narasumber lainnya yaitu Kepala Balitbang DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra, Ketua Satgas Covid-19 RS Bhayangkara DIY Yogyakarta Dr. Dian K. Nurputra, MSc., PhD, SpA, Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa, dengan moderator Deputi Balitbang DPP Partai Demokrat Yan Harahap.( ).
Tomi menambahkan, media massa resmi lebih jelas pertanggungjawabannya. Selain karena memiliki badan usaha, juga ada asosiasi dan perundang-undangan yang mengaturnya. Dan, sejak Covid-19 resmi diumumkan awal Maret 2020, media televisi dan media online menjadi yang tercepat dan paling sering diakses oleh publik.
Sementara, Dokter Dian Nurpatra sangat mengapresiasi informasi hasil olah data yang disampaikan Tomi. Karena, sejak merebaknya wabah Covid-19 di Indonesia, akurasi data dan informasi terkait virus corona tersebut seringkali simpang siur dan bahkan menimbulkan keresahan di masyarakat. Publik menilai hal-hal yang disampaikan melalui pemerintah sering berbeda dan bertentangan antara instansi yang satu dengan yang lainnya.
"Makanya banyak dokter yang mencoba untuk mengedukasi melalui saluran media sosial pribadi. Dan ternyata, faktanya tidak terlalu efektif meredam keresahan yang ada. Hal ini perlu menjadi perhatian institusi dan para tenaga kesehatan untuk bisa lebih bekerja sama dengan media massa resmi agar masyarakat makin teredukasi dengan baik," tegas dokter lulusan Universitas
Brawijaya, Malang dengan predikat cumlaude tersebut.
Dian menambahkan, konsepsi penyebaran informasi terkait Covid-19 hingga saat ini masih dapat dikatakan belum berhasil. Kesimpangsiuran menyebabkan masyarakat mulai apatis dan jenuh. Padahal, bahaya dari virus corona ini nyata dan sangat mengancam. Dian juga memaparkan sejumlah contoh kasus yang menerangkan bahwa mutasi penularan Covid-19 ini sudah pada tahapan yang perlu kewaspadaan tingkat tinggi.( ).
"Contohnya, ada seorang anak yang baru kembali dari dari daerah hitam Surabaya dalam keadaan sehat ke Yogyakarta. Dia tetap sehat, tapi ayahnya, ibunya dan saudaranya tidak lama meninggal karena terkena Covid-19. Inilah yang disebut dengan OTG (Orang Tanpa Gejala) namun membahayakan orang di sekitarnya yang kebetulan tertular namun imunitas tubuhnya tidak mampu melindungi dirinya dari serangan Covid-19," jelasnya.
Demikian diungkapkan pengamat media Tomy Satryatomo dalam diskusi publik daring bertajuk 'Mendamaikan Ekonomi dan Pandemi: New Normal Bukan Back to Normal', Minggu (26/7/2020) malam. "Masyarakat mulai mampu menyaring karena kecenderungan informasi di medsos seringkali terselip hal-hal yang bersifat hate speech dan hoaks yang sulit dipertanggungjawabkan," ujar Tomi yang menjadi salah satu narasumber diskusi yang digelar Balitbang DPP Partai Demokrat tersebut.
Selain Tomi, diskusi publik daring Proklamasi Democracy Forum (PDF) ini juga dihadiri narasumber lainnya yaitu Kepala Balitbang DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra, Ketua Satgas Covid-19 RS Bhayangkara DIY Yogyakarta Dr. Dian K. Nurputra, MSc., PhD, SpA, Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa, dengan moderator Deputi Balitbang DPP Partai Demokrat Yan Harahap.( ).
Tomi menambahkan, media massa resmi lebih jelas pertanggungjawabannya. Selain karena memiliki badan usaha, juga ada asosiasi dan perundang-undangan yang mengaturnya. Dan, sejak Covid-19 resmi diumumkan awal Maret 2020, media televisi dan media online menjadi yang tercepat dan paling sering diakses oleh publik.
Sementara, Dokter Dian Nurpatra sangat mengapresiasi informasi hasil olah data yang disampaikan Tomi. Karena, sejak merebaknya wabah Covid-19 di Indonesia, akurasi data dan informasi terkait virus corona tersebut seringkali simpang siur dan bahkan menimbulkan keresahan di masyarakat. Publik menilai hal-hal yang disampaikan melalui pemerintah sering berbeda dan bertentangan antara instansi yang satu dengan yang lainnya.
"Makanya banyak dokter yang mencoba untuk mengedukasi melalui saluran media sosial pribadi. Dan ternyata, faktanya tidak terlalu efektif meredam keresahan yang ada. Hal ini perlu menjadi perhatian institusi dan para tenaga kesehatan untuk bisa lebih bekerja sama dengan media massa resmi agar masyarakat makin teredukasi dengan baik," tegas dokter lulusan Universitas
Brawijaya, Malang dengan predikat cumlaude tersebut.
Dian menambahkan, konsepsi penyebaran informasi terkait Covid-19 hingga saat ini masih dapat dikatakan belum berhasil. Kesimpangsiuran menyebabkan masyarakat mulai apatis dan jenuh. Padahal, bahaya dari virus corona ini nyata dan sangat mengancam. Dian juga memaparkan sejumlah contoh kasus yang menerangkan bahwa mutasi penularan Covid-19 ini sudah pada tahapan yang perlu kewaspadaan tingkat tinggi.( ).
"Contohnya, ada seorang anak yang baru kembali dari dari daerah hitam Surabaya dalam keadaan sehat ke Yogyakarta. Dia tetap sehat, tapi ayahnya, ibunya dan saudaranya tidak lama meninggal karena terkena Covid-19. Inilah yang disebut dengan OTG (Orang Tanpa Gejala) namun membahayakan orang di sekitarnya yang kebetulan tertular namun imunitas tubuhnya tidak mampu melindungi dirinya dari serangan Covid-19," jelasnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda