Cegah Perpecahan Bangsa, Islah Bahrawi: Pancasila sebagai Falsafah Negara Harus Dirawat
Jum'at, 09 Juni 2023 - 02:12 WIB
Konsep tunggal itu yang bisa mengikat semua warga negara di negaranya masing-masing untuk saling menghargai martabat warga negaranya tanpa harus melihat latar belakangnya. Seperti halnya pancasila yang mengatur itu semua secara detail.
Ia mencontohkan, negara-negara seperti Suriah, Libia, Somalia, Nigeria, Afghanistan, dan Pakistan, tidak memiliki satu bejana bersama yang mengatur semua orang dengan segala perbedaannya dan bisa memiliki hak dan kewajiban yang sama. Sementara Indonesia memiliki Pancasila yang mengatur mulai dari konsep ketuhanan sampai konsep berkeadilan.
“Negara-negara yang sedang bertikai, terlibat dalam konflik perang sipil, atau negara-negara yang telah terpecah-belah seperti Yugoslavia yang sekarang menjadi tujuh negara pecahan, ini sebenarnya karena mereka memang tidak punya falsafah dasar yang sanggup mengikat semua warganya yang berbeda," katanya.
Islah Bahrawi yang juga pegiat sosial media ini menyoroti keterlambatan Indonesia dalam menanggulangi masuknya ideologi transnasional. Ia menganggap, pemerintahan di bawah presiden sebelumnya cenderung menyepelekan masalah ini.
Bahkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang saat ini tidak bisa diperpanjang izinnya, dulu justru diberikan ruang oleh pemerintah dan dilegalisasi.
Islah menjelaskan, HTI mendeklarasikan diri pada 2007 di Stadion Gelora Bung Karno (GBK). Menurutnya, ketika ruang politik memberikan izin kepada kelompok-kelompok pengusung ideologi transnasional, maka mereka merasa punya legalitas untuk bergerak baik di atas maupun di bawah permukaan.
"Pada saat kita yang moderat bersuara di media mainstream maupun media sosial, atau bahkan terjun langsung ke lapangan, kelompok radikal juga melakukan hal yang sama. Artinya kita tidak pernah menjadi leading, menjadi pemimpin dalam setiap tikungan perlombaan ini," jelasnya.
Pada masa pemerintahan di bawah presiden sebelumnya, kata dia, tidak ada yang mau bergerak. Padahal gerakan-gerakan kelompok radikal ini sudah terlanjur mendapatkan ruangnya.
Ketika hari ini bergerak, sambung Islah, mereka juga melakukan pergerakan yang sama, sehingga Indonesia masih defisit dalam upaya kontra radikalisme ini.
Oleh karena itu, hal ini adalah tugas bersama yang perlu kehadiran negara, baik secara normatif maupun secara kontra naratif.
Ia mencontohkan, negara-negara seperti Suriah, Libia, Somalia, Nigeria, Afghanistan, dan Pakistan, tidak memiliki satu bejana bersama yang mengatur semua orang dengan segala perbedaannya dan bisa memiliki hak dan kewajiban yang sama. Sementara Indonesia memiliki Pancasila yang mengatur mulai dari konsep ketuhanan sampai konsep berkeadilan.
“Negara-negara yang sedang bertikai, terlibat dalam konflik perang sipil, atau negara-negara yang telah terpecah-belah seperti Yugoslavia yang sekarang menjadi tujuh negara pecahan, ini sebenarnya karena mereka memang tidak punya falsafah dasar yang sanggup mengikat semua warganya yang berbeda," katanya.
Islah Bahrawi yang juga pegiat sosial media ini menyoroti keterlambatan Indonesia dalam menanggulangi masuknya ideologi transnasional. Ia menganggap, pemerintahan di bawah presiden sebelumnya cenderung menyepelekan masalah ini.
Bahkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang saat ini tidak bisa diperpanjang izinnya, dulu justru diberikan ruang oleh pemerintah dan dilegalisasi.
Islah menjelaskan, HTI mendeklarasikan diri pada 2007 di Stadion Gelora Bung Karno (GBK). Menurutnya, ketika ruang politik memberikan izin kepada kelompok-kelompok pengusung ideologi transnasional, maka mereka merasa punya legalitas untuk bergerak baik di atas maupun di bawah permukaan.
"Pada saat kita yang moderat bersuara di media mainstream maupun media sosial, atau bahkan terjun langsung ke lapangan, kelompok radikal juga melakukan hal yang sama. Artinya kita tidak pernah menjadi leading, menjadi pemimpin dalam setiap tikungan perlombaan ini," jelasnya.
Pada masa pemerintahan di bawah presiden sebelumnya, kata dia, tidak ada yang mau bergerak. Padahal gerakan-gerakan kelompok radikal ini sudah terlanjur mendapatkan ruangnya.
Ketika hari ini bergerak, sambung Islah, mereka juga melakukan pergerakan yang sama, sehingga Indonesia masih defisit dalam upaya kontra radikalisme ini.
Oleh karena itu, hal ini adalah tugas bersama yang perlu kehadiran negara, baik secara normatif maupun secara kontra naratif.
Lihat Juga :
tulis komentar anda