Dari Mana Datangnya Tawa
Minggu, 14 Mei 2023 - 09:48 WIB
Model humor di atas -- sering disebut sebagai slapstick -- kerap dipakai oleh banyak komedian Indonesia dari dulu hingga kini. Banyak komedian kita menggunakan jurus ini, misalnya dengan sengaja menampilkan diri sebagai orang yang bodoh, teraniaya, menonjolkan kekurangan fisik, agar orang tertawa. Saya tidak tahu, apakah para komedian itu dengan sadar menggunakan jenis ini karena menyadari siapa penontonnya, atau justru hanya sebatas itu kemampuannya. Padahal, humor jenis ini dianggap paling mudah untuk dilakukan.
Kedua, teori ketidaksesuaian (incongruity theories). Teori ini menjelaskan bahwa tawa timbul karena adanya perubahan yang sekonyong-konyong dari suatu situasi yang sangat diharapkan menjadi suatu hal yang sama sekali tidak diduga atau tidak pada tempatnya. Tawa terjadi karena harapan yang dikacaukan (frustrated expectation), sehingga seseorang dari suatu sikap mental tertentu dilempar ke dalam sikap mental yang lain sama sekali. Jadi tawa merupakan respon terhadap persepsi ketidaksesuaian.
Ketiga, teori pembebasan (relief theories). Menurut teori ini, inti humor adalah pembebasan atau pelepasan dari kekangan yang terdapat pada diri seseorang. Karena ada berbagai pembatasan dan larangan yang ditentukan oleh masyarakat atau pemerintah, dorongan-dorongan batin alamiah dalam diri manusia mendapat tekanan. Nah, bilamana kekangan itu dapat dilepaskan, misalnya melalui sindiran jenaka, maka meledaklah perasaan orang dalam bentuk tawa.
Di situ humor berfungsi untuk membantu meredakan ketegangan. Maka jika kita sering mendengar bahwa humor disebut sebagai “katup pelepas”, kira-kira dari teori inilah ucapan itu berasal. Humor jenis ini yang menurut saya masih perlu dikembangkan di sini. Humor jenis ini terasa segar, kontekstual, membebaskan, dan kadang perlu ada referensi untuk bisa menikmatinya.
Tentu masih ada beberapa teori lain. Jurus-jurus khusus untuk humor verbal juga terus dikembangkan. Tetapi, apapun teori dan jurus yang digunakan, yang paling penting adalah kejujuran dan kemauan untuk terus belajar. Ini agar humor tidak sekadar memancing tawa, tetapi juga mencerdaskan.
Tentu kita akan bangga jika suatu kali muncul komika Indonesia bisa sekelas Trevor Noah, Wanda Sykes, Ellen Degeneres, dan lain-lain. Saya yakin para komika kita tidak akan kekurangan ide. Sebab di negeri ini banyak hal, misalnya di bidang penegakan hukum dan politik yang lucu dan bisa kita tertawakan. Ucapan, komentar, atau retorika beberapa narasumber dalam dialog di televisi yang sebenarnya sudah lucu juga bisa dipakai atau ditiru sebagai bahan untuk menghibur orang.
Lihat Juga: Rieke Diah Pitaloka Soroti Gestur Gibran saat Debat: Mungkin Sedang Pantomim atau Stand Up
Kedua, teori ketidaksesuaian (incongruity theories). Teori ini menjelaskan bahwa tawa timbul karena adanya perubahan yang sekonyong-konyong dari suatu situasi yang sangat diharapkan menjadi suatu hal yang sama sekali tidak diduga atau tidak pada tempatnya. Tawa terjadi karena harapan yang dikacaukan (frustrated expectation), sehingga seseorang dari suatu sikap mental tertentu dilempar ke dalam sikap mental yang lain sama sekali. Jadi tawa merupakan respon terhadap persepsi ketidaksesuaian.
Ketiga, teori pembebasan (relief theories). Menurut teori ini, inti humor adalah pembebasan atau pelepasan dari kekangan yang terdapat pada diri seseorang. Karena ada berbagai pembatasan dan larangan yang ditentukan oleh masyarakat atau pemerintah, dorongan-dorongan batin alamiah dalam diri manusia mendapat tekanan. Nah, bilamana kekangan itu dapat dilepaskan, misalnya melalui sindiran jenaka, maka meledaklah perasaan orang dalam bentuk tawa.
Di situ humor berfungsi untuk membantu meredakan ketegangan. Maka jika kita sering mendengar bahwa humor disebut sebagai “katup pelepas”, kira-kira dari teori inilah ucapan itu berasal. Humor jenis ini yang menurut saya masih perlu dikembangkan di sini. Humor jenis ini terasa segar, kontekstual, membebaskan, dan kadang perlu ada referensi untuk bisa menikmatinya.
Tentu masih ada beberapa teori lain. Jurus-jurus khusus untuk humor verbal juga terus dikembangkan. Tetapi, apapun teori dan jurus yang digunakan, yang paling penting adalah kejujuran dan kemauan untuk terus belajar. Ini agar humor tidak sekadar memancing tawa, tetapi juga mencerdaskan.
Tentu kita akan bangga jika suatu kali muncul komika Indonesia bisa sekelas Trevor Noah, Wanda Sykes, Ellen Degeneres, dan lain-lain. Saya yakin para komika kita tidak akan kekurangan ide. Sebab di negeri ini banyak hal, misalnya di bidang penegakan hukum dan politik yang lucu dan bisa kita tertawakan. Ucapan, komentar, atau retorika beberapa narasumber dalam dialog di televisi yang sebenarnya sudah lucu juga bisa dipakai atau ditiru sebagai bahan untuk menghibur orang.
Lihat Juga: Rieke Diah Pitaloka Soroti Gestur Gibran saat Debat: Mungkin Sedang Pantomim atau Stand Up
(wur)
tulis komentar anda