Bawaslu Akui Sistem TI Penyelenggara Pemilu Kerap Jadi Sasaran Peretasan

Senin, 20 Juli 2020 - 09:00 WIB
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) telah menggunakan sistem TI untuk keperluan keterbukaan data dan informasi. Foto/SINDOnews
JAKARTA - Penerapan sistem teknologi informasi (TI) dalam pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia tidak bisa dihindari lagi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) telah menggunakan sistem TI untuk keperluan keterbukaan data dan informasi.

(Baca juga: Bawaslu Siap Antisipasi Pelanggaran Tahapan Coklit Data Pemilih di Pilkada)

Tantangannya, banyaknya usaha peretasan terhadap situs dan data yang dimiliki KPU dan Bawaslu. Anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin mengatakan usaha peretasan itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Namun, peretasan terhadap sistem pelaksanaan pemilu terjadi di banyak negara, seperti Ukraina, Georgia, dan Estonia.



Beberapa waktu lalu, web lindungihakpilihmu.kpu.go.id diretas. Bahkan, peretasan itu dilakukan saat peluncuran situs itu yang dilakukan KPU bersama Bawaslu pada 15 Juli lalu. "Ini menunjukkan betapa nyata keinginan untuk mengganggu, apalagi KPU yang menjadi perhatian banyak orang," ujarnya dalam diskusi daring dengan tema "Keamanan Siber Teknologi Pilkada", Minggu 20 Juli 2020.

(Baca juga: Cek Situs untuk Coklit Data Pemilih, Bawaslu: DPT Belum Diperbaharui)

Afifuddin menerangkan, penerapan sistem TI dalam pemilu nasional maupun pemilihan kepala daerah (pilkada) itu baik. Pertama, penyelenggara bisa mengamankan aset, baik data pemilih maupun data lainnya. Kedua, sistem ini sebagai catatan digital jadi ada jejak apa saja yang dilakukan penyelenggara.

Ketiga, penyelenggara harus menutup semua kelemahan sistem TI karena kemungkinan ancaman dan peretasan itu selalu ada. Bawaslu pun pernah mengalami usaha peretasan saat menerapkan sistem pengawasan pemilu (siwaslu) pada 2019. "Kami pernah mengalami serangan dan usaha masuk ke data base secara ilegal," ucapnya.

Siwaslu ini untuk menampung informasi dan pelaporan masyarakat tentang dugaan pelanggaran pemilu. Jadi, digitalisasi ini dibuka untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi dan data penyelenggaraan pemilu.

Namun dari catatan Bawaslu, hanya 10 persen yang mengadu lewat siwaslu. Sisanya, dugaan pelanggaran itu ditemukan petugas di lapangan. "Kita perlu meningkatkan edukasi masyarakat dalam konteks partisipasi, pencegahan, melaporkan dugaan pelanggaran, dan meng-update keberanian. Ini masih berat karena hanya 10 persen yang berani speak up," tutur Afifuddin.
(maf)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More