Jangan Asal Ramping
Senin, 20 Juli 2020 - 06:06 WIB
JAKARTA - Belasan lembaga non-struktural (LNS) kembali menjadi sasaran penghapusan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam waktu dekat. Langkah ini strategis untuk mewujudkan postur struktur pemerintahan yang ramping. Namun, pemangkasan juga harus terukur agar target pembangunan dan efisiensi anggaran tercapai.
Jika pemangkasan ini benar dilakukan, berarti sejak menjabat pada 2014 lalu Presiden Jokowi tercatat telah lima kali membubarkan LNS. Dalam empat kali kebijakan tersebut, total sudah ada 23 LNS yang ditutup. Dimulai sejak dua bulan setelah menjabat, Jokowi rutin membubarkan lembaga-lembaga yang dinilai tak lagi dibutuhkan itu setiap tahun hingga 2017. Rinciannya, 10 lembaga pada 2014, dua lembaga pada 2015, sembilan lembaga pada 2016, dan 2 lembaga pada 2017. Dari penghapusan ini, pemerintah mengklaim bisa menghemat APBN hingga Rp23,5 triliun.
Tahun ini rencananya ada 18 lembaga yang dikabarkan akan dibubarkan. Di antaranya Komisi Nasional Lanjut Usia, Badan Restorasi Gambut (BRG), Badan Promosi Pariwisata Indonesia, dan Badan Standardisasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan (BSANK).
Di tengah rencana ini, pemerintah diminta berhati-hati. Perampingan tidak dilakukan dengan hanya ingin menghemat anggaran di saat pandemi Covid-19 ini, namun menjadi kebutuhan utama menciptakan kinerja pemerintahan yang efektif. Untuk mengetahuinya, audit terhadap lembaga-lembaga tersebut secara komprehensif adalah sebuah keharusan. (Baca: Perampingan Lembaga Dinilai Efektif Agar Anggaran Negara Tak Mubazir)
Pemerintah, melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) juga bisa menggandeng perguruan tinggi untuk melakukan kajian atau penilaian terhadap kinerja lembaga tersebut. Selain itu, kebijakan ini juga harus dibarengi komitmen kuat pemerintah untuk semakin menciptakan pemerintah yang lebih efektif, bukan justru di kemudian hari membentuk lembaga-lembaga baru.
Perampingan lembaga ini, dalam pandangan pengamat politik Universitas Brawijaya Wawan Sobari, adalah sebuah keharusan. Menurut Wawan, langkah itu memiliki risiko politik lebih kecil dibanding reshuffle menteri. Namun, dia mewanti-wanti agar pembubaran itu harus berbasis objektivitas lantaran lembaga itu tak lagi banyak berfungsi. Untuk mengukur objektivitas itulah Wawan sepakat perlunya ada audit lembaga.
Pakar administrasi publik dari Universitas Indonesia (UI), Lina Miftahul Jannah, berharap perampingan lembaga ini benar-benar memberikan dampak positif terhadap penghematan anggaran negara. Penghematan bisa dilakukan karena tidak akan ada lagi belanja rutin di LNS tersebut. (Baca juga: 10 Kuburan Massal Ini Jadi saksi Tragedi Kemanusiaan)
Terkait rencana baru tentang pembubaran 18 LNS, Lina belum dapat memastikan apakah akan ada penghematan besar atau tidak. “Ini perlu dilihat lembaganya seperti apa dan bagaimana posisinya, tapi mungkin kecil, karena misalnya komisi-komisi itu orangnya juga sedikit,” ungkapnya.
Lina juga mengingatkan agar jangan sampai setelah sebuah lembaga dibubarkan pemerintah malah menggantinya dengan lembaga baru. Jika ini terjadi, maka pembubaran lembaga tidak ada artinya.
Jika pemangkasan ini benar dilakukan, berarti sejak menjabat pada 2014 lalu Presiden Jokowi tercatat telah lima kali membubarkan LNS. Dalam empat kali kebijakan tersebut, total sudah ada 23 LNS yang ditutup. Dimulai sejak dua bulan setelah menjabat, Jokowi rutin membubarkan lembaga-lembaga yang dinilai tak lagi dibutuhkan itu setiap tahun hingga 2017. Rinciannya, 10 lembaga pada 2014, dua lembaga pada 2015, sembilan lembaga pada 2016, dan 2 lembaga pada 2017. Dari penghapusan ini, pemerintah mengklaim bisa menghemat APBN hingga Rp23,5 triliun.
Tahun ini rencananya ada 18 lembaga yang dikabarkan akan dibubarkan. Di antaranya Komisi Nasional Lanjut Usia, Badan Restorasi Gambut (BRG), Badan Promosi Pariwisata Indonesia, dan Badan Standardisasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan (BSANK).
Di tengah rencana ini, pemerintah diminta berhati-hati. Perampingan tidak dilakukan dengan hanya ingin menghemat anggaran di saat pandemi Covid-19 ini, namun menjadi kebutuhan utama menciptakan kinerja pemerintahan yang efektif. Untuk mengetahuinya, audit terhadap lembaga-lembaga tersebut secara komprehensif adalah sebuah keharusan. (Baca: Perampingan Lembaga Dinilai Efektif Agar Anggaran Negara Tak Mubazir)
Pemerintah, melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) juga bisa menggandeng perguruan tinggi untuk melakukan kajian atau penilaian terhadap kinerja lembaga tersebut. Selain itu, kebijakan ini juga harus dibarengi komitmen kuat pemerintah untuk semakin menciptakan pemerintah yang lebih efektif, bukan justru di kemudian hari membentuk lembaga-lembaga baru.
Perampingan lembaga ini, dalam pandangan pengamat politik Universitas Brawijaya Wawan Sobari, adalah sebuah keharusan. Menurut Wawan, langkah itu memiliki risiko politik lebih kecil dibanding reshuffle menteri. Namun, dia mewanti-wanti agar pembubaran itu harus berbasis objektivitas lantaran lembaga itu tak lagi banyak berfungsi. Untuk mengukur objektivitas itulah Wawan sepakat perlunya ada audit lembaga.
Pakar administrasi publik dari Universitas Indonesia (UI), Lina Miftahul Jannah, berharap perampingan lembaga ini benar-benar memberikan dampak positif terhadap penghematan anggaran negara. Penghematan bisa dilakukan karena tidak akan ada lagi belanja rutin di LNS tersebut. (Baca juga: 10 Kuburan Massal Ini Jadi saksi Tragedi Kemanusiaan)
Terkait rencana baru tentang pembubaran 18 LNS, Lina belum dapat memastikan apakah akan ada penghematan besar atau tidak. “Ini perlu dilihat lembaganya seperti apa dan bagaimana posisinya, tapi mungkin kecil, karena misalnya komisi-komisi itu orangnya juga sedikit,” ungkapnya.
Lina juga mengingatkan agar jangan sampai setelah sebuah lembaga dibubarkan pemerintah malah menggantinya dengan lembaga baru. Jika ini terjadi, maka pembubaran lembaga tidak ada artinya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda