Jangan Asal Ramping
loading...
A
A
A
JAKARTA - Belasan lembaga non-struktural (LNS) kembali menjadi sasaran penghapusan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam waktu dekat. Langkah ini strategis untuk mewujudkan postur struktur pemerintahan yang ramping. Namun, pemangkasan juga harus terukur agar target pembangunan dan efisiensi anggaran tercapai.
Jika pemangkasan ini benar dilakukan, berarti sejak menjabat pada 2014 lalu Presiden Jokowi tercatat telah lima kali membubarkan LNS. Dalam empat kali kebijakan tersebut, total sudah ada 23 LNS yang ditutup. Dimulai sejak dua bulan setelah menjabat, Jokowi rutin membubarkan lembaga-lembaga yang dinilai tak lagi dibutuhkan itu setiap tahun hingga 2017. Rinciannya, 10 lembaga pada 2014, dua lembaga pada 2015, sembilan lembaga pada 2016, dan 2 lembaga pada 2017. Dari penghapusan ini, pemerintah mengklaim bisa menghemat APBN hingga Rp23,5 triliun.
Tahun ini rencananya ada 18 lembaga yang dikabarkan akan dibubarkan. Di antaranya Komisi Nasional Lanjut Usia, Badan Restorasi Gambut (BRG), Badan Promosi Pariwisata Indonesia, dan Badan Standardisasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan (BSANK).
Di tengah rencana ini, pemerintah diminta berhati-hati. Perampingan tidak dilakukan dengan hanya ingin menghemat anggaran di saat pandemi Covid-19 ini, namun menjadi kebutuhan utama menciptakan kinerja pemerintahan yang efektif. Untuk mengetahuinya, audit terhadap lembaga-lembaga tersebut secara komprehensif adalah sebuah keharusan. (Baca: Perampingan Lembaga Dinilai Efektif Agar Anggaran Negara Tak Mubazir)
Pemerintah, melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) juga bisa menggandeng perguruan tinggi untuk melakukan kajian atau penilaian terhadap kinerja lembaga tersebut. Selain itu, kebijakan ini juga harus dibarengi komitmen kuat pemerintah untuk semakin menciptakan pemerintah yang lebih efektif, bukan justru di kemudian hari membentuk lembaga-lembaga baru.
Perampingan lembaga ini, dalam pandangan pengamat politik Universitas Brawijaya Wawan Sobari, adalah sebuah keharusan. Menurut Wawan, langkah itu memiliki risiko politik lebih kecil dibanding reshuffle menteri. Namun, dia mewanti-wanti agar pembubaran itu harus berbasis objektivitas lantaran lembaga itu tak lagi banyak berfungsi. Untuk mengukur objektivitas itulah Wawan sepakat perlunya ada audit lembaga.
Pakar administrasi publik dari Universitas Indonesia (UI), Lina Miftahul Jannah, berharap perampingan lembaga ini benar-benar memberikan dampak positif terhadap penghematan anggaran negara. Penghematan bisa dilakukan karena tidak akan ada lagi belanja rutin di LNS tersebut. (Baca juga: 10 Kuburan Massal Ini Jadi saksi Tragedi Kemanusiaan)
Terkait rencana baru tentang pembubaran 18 LNS, Lina belum dapat memastikan apakah akan ada penghematan besar atau tidak. “Ini perlu dilihat lembaganya seperti apa dan bagaimana posisinya, tapi mungkin kecil, karena misalnya komisi-komisi itu orangnya juga sedikit,” ungkapnya.
Lina juga mengingatkan agar jangan sampai setelah sebuah lembaga dibubarkan pemerintah malah menggantinya dengan lembaga baru. Jika ini terjadi, maka pembubaran lembaga tidak ada artinya.
Masih Digodok
Kapan pemangkasan sejumlah LNS ini, hingga kemarin Presiden Jokowi belum memberi kepastian. Pekan lalu Jokowi hanya memberi penegasan bahwa pemangkasan patut dilakukan demi menghemat anggaran. Selanjutnya, anggaran dari LNS itu bisa dikembalikan ke lembaga struktural yang ada. Begitu pun tugasnya, dikembalikan ke kementerian terkait. "Kalaupun bisa kembalikan ke kementerian, ke dirjen, direktorat, direktur, kenapa kita harus pakai badan-badan itu lagi, ke komisi-komisi itu lagi,” ucapnya.
Dengan organisasi yang lebih ramping, Jokowi meyakini pemerintahannya akan bergerak lebih cepat. “Bolak-balik saya sampaikan, negara cepat bisa mengalahkan negara yang lambat. Bukan negara gedhe mengalahkan negara yang kecil, enggak. Kita yakini,” katanya. (Baca juga: Stimulus Pemerintah Tidak Cukup Tahan Angka Kemiskinan)
Untuk mematangkan pemangkasan ini, Menpan-RB Tjahjo Kumolo juga mengaku sudah mengevaluasi 96 lembaga pemerintah, baik yang dibentuk berdasarkan keppres, peraturan pemerintah (PP) maupun undang-undang (UU). Tjahjo pun membantah perampingan lembaga ini karena adanya teguran keras dari Jokowi. Bahkan dia menyatakan kajian ini sudah dilakukan sebelum muncul wabah Covid-19.
Setali tiga uang, Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko juga menjelaskan, pemangkasan dilakukan untuk menciptakan birokrasi yang lebih luwes dengan kebutuhan zaman. Bahkan dia menilai ada beberapa lembaga yang berpotensi untuk digabungkan dengan lembaga struktural. Mantan Panglima TNI ini mencontohkan, Komisi Nasional Lanjut Usia bisa dilebur dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). “Tapi, nanti juga akan dilihat. BRG (Badan Restorasi Gambut) itu dari sisi kebakaran, apakah cukup (kebakaran) ditangani BNPB, dari sisi optimalisasi gambut untuk pertanian apakah cukup oleh Kementerian Pertanian? Itu kira-kira yang sedang dikaji Kemenpan-RB,” ujarnya.
Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Paryono mengungkapkan bahwa PNS yang terdampak perampingan akan disalurkan ke instansi lain. Namun, hal tersebut tidak dilakukan secara asal-asalan. Jika ada PNS terdampak perampingan tidak bisa tersalurkan ke instansi lain, maka hal ini dikembalikan ke Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11/2017 tentang Manajemen PNS. “Ketika tidak ada instansi yang membutuhkan pegawai, kompetensi tidak dibutuhkan, dan ternyata kelebihan pegawai, kalau sudah masuk batas usia pensiun bisa dipensiunkan,” katanya kemarin. (Baca juga: Berpetualang Rasa dengan Sanpatan ala Brazilian)
Sejumlah kalangan dan akademisi juga banyak yang mendukung rencana kebijakan pemerintah ini. Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menyatakan, lembaga apa pun yang tidak efektif dan sedikit saja berkontribusi terhadap pembangunan memang harus dibubarkan. "Bahkan, tidak hanya lembaga, kementerian sekalipun mestinya ikut disasar untuk dibubarkan jika keberadaannya tidak signifikan dalam pembangunan," ujarnya.
Pakar hukum tata negara Bayu Dwi Anggono meyakini pembubaran lembaga-lembaga akan melahirkan efisiensi yang luar biasa besar. Apalagi tugas dan fungsi lembaga yang menjadi sasaran pembubaran itu overlap dengan kementerian. Bahkan programnya kadang tidak berkontribusi terhadap layanan publik sebagaimana yang diinginkan Presiden.
Hilangnya lembaga-lembaga itu juga akan memotong rantai layanan dan duplikasi birokrasi. Dia mencontohkan tugas BRG dan Badan Promosi Pariwisata Indonesia bisa dijalankan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (Lihat videonya: Seorang Nenek Renta di Banyuasin, Digugat Anak Sendiri Perihal Warisan)
Dosen Universitas Negeri Jember itu mengungkapkan, banyaknya lembaga ad hoc itu karena euforia era reformasi sebagai respons ketidakpercayaan terhadap birokrasi kementerian. Ternyata dalam praktiknya keberadaan lembaga serta tugas pokok dan fungsinya itu duplikatif dengan kementerian yang sudah ada sehingga tidak efektif.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengakui bahwa masih ada lembaga negara yang berkinerja lambat dan tidak berfungsi secara maksimal. (Dita Angga/FW Bachtiar/Kiswondari)
Jika pemangkasan ini benar dilakukan, berarti sejak menjabat pada 2014 lalu Presiden Jokowi tercatat telah lima kali membubarkan LNS. Dalam empat kali kebijakan tersebut, total sudah ada 23 LNS yang ditutup. Dimulai sejak dua bulan setelah menjabat, Jokowi rutin membubarkan lembaga-lembaga yang dinilai tak lagi dibutuhkan itu setiap tahun hingga 2017. Rinciannya, 10 lembaga pada 2014, dua lembaga pada 2015, sembilan lembaga pada 2016, dan 2 lembaga pada 2017. Dari penghapusan ini, pemerintah mengklaim bisa menghemat APBN hingga Rp23,5 triliun.
Tahun ini rencananya ada 18 lembaga yang dikabarkan akan dibubarkan. Di antaranya Komisi Nasional Lanjut Usia, Badan Restorasi Gambut (BRG), Badan Promosi Pariwisata Indonesia, dan Badan Standardisasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan (BSANK).
Di tengah rencana ini, pemerintah diminta berhati-hati. Perampingan tidak dilakukan dengan hanya ingin menghemat anggaran di saat pandemi Covid-19 ini, namun menjadi kebutuhan utama menciptakan kinerja pemerintahan yang efektif. Untuk mengetahuinya, audit terhadap lembaga-lembaga tersebut secara komprehensif adalah sebuah keharusan. (Baca: Perampingan Lembaga Dinilai Efektif Agar Anggaran Negara Tak Mubazir)
Pemerintah, melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) juga bisa menggandeng perguruan tinggi untuk melakukan kajian atau penilaian terhadap kinerja lembaga tersebut. Selain itu, kebijakan ini juga harus dibarengi komitmen kuat pemerintah untuk semakin menciptakan pemerintah yang lebih efektif, bukan justru di kemudian hari membentuk lembaga-lembaga baru.
Perampingan lembaga ini, dalam pandangan pengamat politik Universitas Brawijaya Wawan Sobari, adalah sebuah keharusan. Menurut Wawan, langkah itu memiliki risiko politik lebih kecil dibanding reshuffle menteri. Namun, dia mewanti-wanti agar pembubaran itu harus berbasis objektivitas lantaran lembaga itu tak lagi banyak berfungsi. Untuk mengukur objektivitas itulah Wawan sepakat perlunya ada audit lembaga.
Pakar administrasi publik dari Universitas Indonesia (UI), Lina Miftahul Jannah, berharap perampingan lembaga ini benar-benar memberikan dampak positif terhadap penghematan anggaran negara. Penghematan bisa dilakukan karena tidak akan ada lagi belanja rutin di LNS tersebut. (Baca juga: 10 Kuburan Massal Ini Jadi saksi Tragedi Kemanusiaan)
Terkait rencana baru tentang pembubaran 18 LNS, Lina belum dapat memastikan apakah akan ada penghematan besar atau tidak. “Ini perlu dilihat lembaganya seperti apa dan bagaimana posisinya, tapi mungkin kecil, karena misalnya komisi-komisi itu orangnya juga sedikit,” ungkapnya.
Lina juga mengingatkan agar jangan sampai setelah sebuah lembaga dibubarkan pemerintah malah menggantinya dengan lembaga baru. Jika ini terjadi, maka pembubaran lembaga tidak ada artinya.
Masih Digodok
Kapan pemangkasan sejumlah LNS ini, hingga kemarin Presiden Jokowi belum memberi kepastian. Pekan lalu Jokowi hanya memberi penegasan bahwa pemangkasan patut dilakukan demi menghemat anggaran. Selanjutnya, anggaran dari LNS itu bisa dikembalikan ke lembaga struktural yang ada. Begitu pun tugasnya, dikembalikan ke kementerian terkait. "Kalaupun bisa kembalikan ke kementerian, ke dirjen, direktorat, direktur, kenapa kita harus pakai badan-badan itu lagi, ke komisi-komisi itu lagi,” ucapnya.
Dengan organisasi yang lebih ramping, Jokowi meyakini pemerintahannya akan bergerak lebih cepat. “Bolak-balik saya sampaikan, negara cepat bisa mengalahkan negara yang lambat. Bukan negara gedhe mengalahkan negara yang kecil, enggak. Kita yakini,” katanya. (Baca juga: Stimulus Pemerintah Tidak Cukup Tahan Angka Kemiskinan)
Untuk mematangkan pemangkasan ini, Menpan-RB Tjahjo Kumolo juga mengaku sudah mengevaluasi 96 lembaga pemerintah, baik yang dibentuk berdasarkan keppres, peraturan pemerintah (PP) maupun undang-undang (UU). Tjahjo pun membantah perampingan lembaga ini karena adanya teguran keras dari Jokowi. Bahkan dia menyatakan kajian ini sudah dilakukan sebelum muncul wabah Covid-19.
Setali tiga uang, Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko juga menjelaskan, pemangkasan dilakukan untuk menciptakan birokrasi yang lebih luwes dengan kebutuhan zaman. Bahkan dia menilai ada beberapa lembaga yang berpotensi untuk digabungkan dengan lembaga struktural. Mantan Panglima TNI ini mencontohkan, Komisi Nasional Lanjut Usia bisa dilebur dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). “Tapi, nanti juga akan dilihat. BRG (Badan Restorasi Gambut) itu dari sisi kebakaran, apakah cukup (kebakaran) ditangani BNPB, dari sisi optimalisasi gambut untuk pertanian apakah cukup oleh Kementerian Pertanian? Itu kira-kira yang sedang dikaji Kemenpan-RB,” ujarnya.
Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Paryono mengungkapkan bahwa PNS yang terdampak perampingan akan disalurkan ke instansi lain. Namun, hal tersebut tidak dilakukan secara asal-asalan. Jika ada PNS terdampak perampingan tidak bisa tersalurkan ke instansi lain, maka hal ini dikembalikan ke Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11/2017 tentang Manajemen PNS. “Ketika tidak ada instansi yang membutuhkan pegawai, kompetensi tidak dibutuhkan, dan ternyata kelebihan pegawai, kalau sudah masuk batas usia pensiun bisa dipensiunkan,” katanya kemarin. (Baca juga: Berpetualang Rasa dengan Sanpatan ala Brazilian)
Sejumlah kalangan dan akademisi juga banyak yang mendukung rencana kebijakan pemerintah ini. Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menyatakan, lembaga apa pun yang tidak efektif dan sedikit saja berkontribusi terhadap pembangunan memang harus dibubarkan. "Bahkan, tidak hanya lembaga, kementerian sekalipun mestinya ikut disasar untuk dibubarkan jika keberadaannya tidak signifikan dalam pembangunan," ujarnya.
Pakar hukum tata negara Bayu Dwi Anggono meyakini pembubaran lembaga-lembaga akan melahirkan efisiensi yang luar biasa besar. Apalagi tugas dan fungsi lembaga yang menjadi sasaran pembubaran itu overlap dengan kementerian. Bahkan programnya kadang tidak berkontribusi terhadap layanan publik sebagaimana yang diinginkan Presiden.
Hilangnya lembaga-lembaga itu juga akan memotong rantai layanan dan duplikasi birokrasi. Dia mencontohkan tugas BRG dan Badan Promosi Pariwisata Indonesia bisa dijalankan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (Lihat videonya: Seorang Nenek Renta di Banyuasin, Digugat Anak Sendiri Perihal Warisan)
Dosen Universitas Negeri Jember itu mengungkapkan, banyaknya lembaga ad hoc itu karena euforia era reformasi sebagai respons ketidakpercayaan terhadap birokrasi kementerian. Ternyata dalam praktiknya keberadaan lembaga serta tugas pokok dan fungsinya itu duplikatif dengan kementerian yang sudah ada sehingga tidak efektif.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengakui bahwa masih ada lembaga negara yang berkinerja lambat dan tidak berfungsi secara maksimal. (Dita Angga/FW Bachtiar/Kiswondari)
(ysw)