Menggeser Paradigma Ambang Batas Parlemen

Senin, 20 Juli 2020 - 06:43 WIB
Tiga aspek yang menentukan proporsionalitas pemilu seperti yang disebutkan tadi, sangatlah memiliki hubungan erat dengan ketentuan ambang batas parlemen. Dua hal yang paling utama tentu saja tentang perlakuan yang setara antara partai besar dan partai kecil, dan terkait suara pemilih yang terbuang sebagai akibat dari adanya ambang batas parlemen.

Ketentuan ambang batas parlemen bertujuan menyaring terlebih dahulu partai politik yang sudah mendapatkan suara dari pemilu untuk bisa diikutkan di dalam perhitungan kursi parlemen. Namun, tesis ini juga diimbangi dengan kewajiban bagi partai politik untuk serius menggalang dukungan pemilih, guna membuktikan partai tersebut dapat memenuhi ambang batas tertentu, sehingga layak mendapatkan kursi parlemen.

Untuk menengahi dua hal yang sama pentingnya ini, penentuan besaran ambang batas parlemen perlu dibuka secara transparan. Artinya, atas dasar apa pembentuk undang-undang mengusulkan ambang batas parlemen naik menjadi 7%? Formula hitung mana yang digunakan hingga besaran yang dipilih dapat mencapai dua tujuan tadi: menjaga proporsionalitas hasil pemilu, sekaligus menyeleksi partai-partai yang tidak memiliki dukungan signifikan untuk tidak diikutkan di dalam perhitungan kursi di parlemen.

Opsi Rumusan

Agar perdebatan ambang batas parlemen lebih fair, pembentuk undang-undang perlu terbuka membuka dasar penetapan besaran ambang batas parlemen. Ada beberapa variabel penting dari sebuah sistem pemilu yang bisa dijadikan basis perhitungan untuk mencari ambang batas parlemen yang dapat menjaga proporsionalitas pemilu. Ada tiga variabel utama di dalam menghitung ambang batas parlemen efektif. Pertama, rata-rata besaran daerah pemilihan. Kedua, jumlah kursi parlemen; dan ketiga, jumlah daerah pemilihan.

Di dalam menggambarkan hubungan ketiganya, Taagepera sebagaimana disampaikan oleh Gallagher (2004) membuat tiga alternatif rumusan untuk menentukan ambang batas parlemen efektif di sebuah negara. Pertama, 75% dibagi dengan rata-rata besaran daerah pemilihan, ditambah bilangan 1, kemudian dikali akar dari jumlah total daerah pemilihan di suatu negara. Alternatif kedua, 75% dibagi jumlah kursi parlemen, dibagi jumlah total daerah pemilihan di suatu negara, ditambah bilangan 1, kemudian dikalikan akar dari jumlah total daerah pemilihan dari suatu negara. Dan alternatif ketiga, 75% dibagi dengan jumlah kursi parlemen, ditambah jumlah daerah pemilihan, lalu dibagi dengan jumlah daerah pemilihan, kemudian dikalikan dengan akar dari total jumlah daerah pemilihan.

Sebagai opsi, pembentuk undang-undang dapat memilih dari rumusan-rumusan yang disebutkan tadi. Pilihan terhadap rumusan yang bisa diketahui dan diakses semua pihak, tentu akan membuat besaran ambang batas parlemen menjadi lebih rasional. Rasionalitas ini menjadi sangat penting, agar sesuai pula dengan amanat putusan MK, bahwa rasionalitas adalah salah satu syarat penting di dalam menentukan ambang batas parlemen. Dengan begitu, perdebatan penentuan ambang batas parlemen juga akan bergeser menjadi lebih produktif, dan sedapat mungkin mendapatkan dua tujuan utamanya: menyeleksi partai politik untuk diikutkan dalam perhitungan kursi parlemen, sekaligus juga menjaga proporsionalitas hasil pemilu.
(ras)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More