Kasus Mario Dandy Pertaruhan Bagi Bendahara Negara

Sabtu, 25 Februari 2023 - 16:45 WIB
Kasus penganiayaan David oleh anak pejabat Ditjen Pajak harus diutus tuntas. FOTO/WAWAN BASTIAN
Anak polah bopo kepradah! Peribahasa Jawa ini sangat tepat menggambarkan kondisi yang dialami Rafael Alun Trisambodo (RAT). Akibat ulah sang anak, Mario Dandy Satrio (MDS), yang menganiaya anak pimpinan GP Ansor Jonathan Latumahina, David, hingga mengalami koma, nama pejabat Ditjen Pajak Eselon III Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu terseret.

Bukan hanya tercoreng karena kelakuan sang anak, jabatannya pun dipertaruhkan. Jumat (24/02) lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencopot jabatan RAT, dari Kepala Bagian Umum Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu Kantor Wilayah Jakarta Selatan II.

Ibarat rumah kartu yang runtuh satu persatu, dampak yang harus ditanggung RAT bisa berujung pada nasib hidup dan kehidupannya ke depan. Dia dipastikan akan menjalani pemeriksaan internal Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkeu terkait integritas dan gaya hidup mewah keluarganya. RAT pun merespons kasus ini dengan langsung mengundurkan diri sebagai Apatur Sipil Negara (ASN) beberapa jam setelah dicopot jabatannya oleh Sri Mulyani.



Kelakuan MDS pun membuka kotak pandora kejanggalan dalam hal kekayaan yang dimiliki RAT. Tidak berhenti pada sisi gaya hidup anaknya – hobi petentang-petenteng dengan tunggangan Harley Davidson dan Jeep Rubicon-- yang tidak mencerminkan standar kehidupan abdi negara negara.

Lebih jauh lagi, integritasnya sebagai seorang pegawai pajak juga dipertanyakan. Ini setelah diketahui yang bersangkutan tidak melaporkan secara utuh harta kekayaannya. Mobil dan motor gede yang digunakan MDS tidak dicantumkan dalam Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Apalagi kemudian terungkap nilai harta kekayaan pejabat eselon III tersebut yang sangat fantastis, Rp56,1 miliar per 31 Desember 2021. Jumlah ini hampir empat kali lipat kekayaan Dirjen Pajak Suryo Utomo yang berjumlah Rp14,4 miliar.

Melihat realita RAT yang menyembunyikan harta kekayaannya, wajar bila publik bertanya dari mana sumber kekayaan itu. Ingatan publik pun serta-merta kembali pada kasus Gayus Tambunan, seorang PNS golongan III/A berusia 31 tahun, yang terungkap memiliki harta puluhan miliar -Rp74 M di antaranya berhasil disita- karena terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang.

Karena itulah, Sri Mulyani sebagai nakhoda bendahara negara harus menekankan kepada Irjen Kemenkeu untuk bisa menelusuri dan membongkar muasal harta kekayaan RAT. Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turun tangan menyelidiki bagaimana RAT bisa mengumpulkan harta kekayaan sebesar itu merupakan langkah tepat dan ditunggu hasilnya. Apalagi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan bahwa pihaknya menemukan adanya transaksi keuangan janggal pada rekening RAT.

Keseriusan Itjen Kemenkeu dan KPK menelusuri sumber harta kekayaan RAT merupakan isu sensitif. Betapa tidak, RAT adalah bendahara negara yang bertugas memungut pajak dari masyarakat demi keberlangsungan pembangunan negara. Masyarakat pun pantas khawatir, jangan-jangan duit yang diamanatkan melalui petugas pajak ternyata diselewengkan untuk memperkaya para pegawai dan pejabat pajak. Bagaimana masyarakat akan rela menyetor pajak bila fakta yang terjadi demikian?

Apa yang akan dilakukan Itjen Kemenkeu dan KPK membongkar sumber kekayaan RAT menjadi titik penting mengembalikan kepercayaan masyarakat. Kasus MDS pun diharapkan bukan hanya mempertaruhkan hidup dan kehidupan RAT, tapi juga Ditjen Pajak dan Kemenkeu. Dalam hal ini, apakah bendahara negara pantas dipercaya memegang amanah?

Terlepas dari itu, langkah Sri Mulyani mencopot jabatan RAT dan memerintahkan Itjen Kemenkeui melakukan pemeriksaan terhadap integritas bersangkutan patut diapresiasi. Namun, masih ada pekerjaan rumah yang tak kalah berat dan ditunggu masyarakat. Apa itu? Menjaga dan memastikan seluruh jajarannya memegang erat integritas!

Dalam jumpa pers kemarin, Sri Mulyani menyebut ada tiga layer di Kemenkeu untuk mengidentifikasi integritas jajarannya, yakni mulai dari manajemen pimpinan unit, kepatuhan internal di masing-masing unit Eselon I, hingga peranan Itjen Kemenkeu. Namun, fakta yang disuguhkan RAT menunjukkan bahwa filter integritas itu masih bolong sehingga dengan mudah bisa dimanipulasi.

Karena itulah, perlu evaluasi bagaimana kondisi tersebut bisa terjadi dan kemudian lebih memperketat pengawasan internal. Di sisi lain, partisipasi aktif dari masyarakat luas untuk turut melakukan pengawasan sangat dibutuhkan.
(ynt)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More