RUU Cipta Kerja Disinyalir Ancam Kelompok Minoritas Agama Keyakinan
Rabu, 15 Juli 2020 - 13:38 WIB
JAKARTA - Gelombang penolakan terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) terus berdatangan. Salah satu persoalannya, beleid sapu jagat itu disinyalir berpotensi mengancam kelompok minoritas agama maupun keyakinan.
Sejumlah lembaga meminta pembahasan beleid sapu jagat itu dihentikan. Mereka antara lain Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), AKUR SUNDA Wiwitan, CHRM2 Universitas Jember, ELSAM, HRWG, ILRC, Imparsial, Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia, Yayasan Pemberdayaan Komunitas ELSA, The Wahid Foundation, dan YLBHI.
"Kami meminta Presiden Jokowi dan DPR menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja. Menarik kembali RUU Cipta Kerja yang telah diserahkan kepada DPR. Presiden Jokowi harus berusaha keras untuk membentuk kebijakan dan sarana yang tepat dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara sejahtera, adil dan makmur yang merefleksikan pelaksanaan UUD 1945," kata Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Muhammad Hafiz, dalam keterangannya kepada SINDOnews, Rabu (15/7/2020).( )
Dalam RUU tersebut, Hafiz menyoroti Pasal 82 mengenai perubahan Ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168). Setelah diubah, aturan itu isinya menyangkut Pasal 15 (1) d yakni, 'Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Makna 'aliran' itu adalah semua aliran atau paham yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar Negara Republik Indonesia.
"Ketentuan tersebut berpotensi disalahgunakan dan membatasi hak-hak masyarakat, khususnya kelompok minoritas yang seringkali dianggap sebagai 'aliran sesat' sekaligus melanggengkan stigma, penyingkiran, diskriminasi dan pelanggaran HAM yang terjadi berpuluh-puluh tahun kepada kelompok minoritas agama atau keyakinan," katanya.
Regulasi yang diusung pemerintah dan DPR itu dinilai malah menimbulkan kontroversi dan berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Menurutnya, undang-undang atau produk perundang-undangan yang dibentuk tidak merepresentasikan keinginan-keinginan masyarakat.( )
"Tidak ditujukan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik material maupun spiritual, melainkan hanya memfasilitasi keinginan-keinginan Pemerintah dan atau bisnis semata," katanya.
Sejumlah lembaga meminta pembahasan beleid sapu jagat itu dihentikan. Mereka antara lain Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), AKUR SUNDA Wiwitan, CHRM2 Universitas Jember, ELSAM, HRWG, ILRC, Imparsial, Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia, Yayasan Pemberdayaan Komunitas ELSA, The Wahid Foundation, dan YLBHI.
"Kami meminta Presiden Jokowi dan DPR menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja. Menarik kembali RUU Cipta Kerja yang telah diserahkan kepada DPR. Presiden Jokowi harus berusaha keras untuk membentuk kebijakan dan sarana yang tepat dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara sejahtera, adil dan makmur yang merefleksikan pelaksanaan UUD 1945," kata Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Muhammad Hafiz, dalam keterangannya kepada SINDOnews, Rabu (15/7/2020).( )
Dalam RUU tersebut, Hafiz menyoroti Pasal 82 mengenai perubahan Ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168). Setelah diubah, aturan itu isinya menyangkut Pasal 15 (1) d yakni, 'Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Makna 'aliran' itu adalah semua aliran atau paham yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar Negara Republik Indonesia.
"Ketentuan tersebut berpotensi disalahgunakan dan membatasi hak-hak masyarakat, khususnya kelompok minoritas yang seringkali dianggap sebagai 'aliran sesat' sekaligus melanggengkan stigma, penyingkiran, diskriminasi dan pelanggaran HAM yang terjadi berpuluh-puluh tahun kepada kelompok minoritas agama atau keyakinan," katanya.
Regulasi yang diusung pemerintah dan DPR itu dinilai malah menimbulkan kontroversi dan berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Menurutnya, undang-undang atau produk perundang-undangan yang dibentuk tidak merepresentasikan keinginan-keinginan masyarakat.( )
"Tidak ditujukan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik material maupun spiritual, melainkan hanya memfasilitasi keinginan-keinginan Pemerintah dan atau bisnis semata," katanya.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda