Menimbang Pengganti RUU HIP

Rabu, 15 Juli 2020 - 06:54 WIB
Ketiga, pembentukan peraturan perundang-undangan memenuhi asas pembentukan perundang-undangan yang baik antara lain asas keterbukaan (Pasal 5 (g) UU Nomor 12/2011). Asas ini meniscayakan partisipasi publik dan transparansi mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan hingga pengundangan. Pemenuhan ketentuan dalam penyusunan RUU adalah sebuah keniscayaan. Sebagai lembaga legislatif, DPR hendaknya menjadi teladan dalam melaksanakan UU dan membangun tradisi ketatanegaraan yang baik.

Menimbang RUU BPIP atau PIP

Bagi bangsa Indonesia, dasar negara Pancasila sebagaimana disebutkan di dalam Pembukaan UUD 1945 adalah final. Pancasila adalah dasar negara yang Islami (PP Muhammadiyah, 2015). Usaha-usaha untuk memunculkan perumusan individual atau dokumen lain yang berbeda dengan Pancasila 18 Agustus 1945 sudah waktunya diakhiri. Akan tetapi di kalangan masyarakat dan partai politik terdapat pandangan yang berbeda mengenai RUU BPIP atau PIP. Kelompok yang setuju dengan RUU BPIP atau PIP mengemukakan empat argumen. Pertama, sejak Reformasi 1998 Pancasila sebagai dasar negara seperti diabaikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Sentimen anti-Soeharto melahirkan Pancasila-phobia dimana Pancasila dianggap momok politik. Kedua, Pancasila tidak menjadi kurikulum wajib dalam pendidikan sehingga generasi muda tidak memahami, menghayati, dan mengamalkan Pancasila. Akibatnya, menurut beberapa penelitian, berkembang ideologi anti-Pancasila dan aspirasi mendirikan negara berbasis agama. Ketiga, tidak ada lembaga yang secara khusus menangani pembinaan Pancasila. BPIP yang dibentuk berdasarkan Perpres Nomor 7/2018 dinilai belum cukup kuat karena sangat bergantung pada komitmen presiden. Keempat, mengatur BPIP atau PIP tidaklah berlebihan karena beberapa lembaga negara diatur secara khusus dengan undang-undang seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Ada lima alasan kelompok yang tidak setuju penggantian RUU HIP dengan RUU BPIP atau PIP. Pertama, kedudukan dan kelembagaan BPIP sudah sangat kuat. Kelembagaan BPIP yang merupakan penguatan dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (Perpres Nomor 54/2017) merupakan lembaga setingkat menteri. Kedua, RUU BPIP atau PIP dikhawatirkan dapat mengarah kepada tafsir tunggal Pancasila dan lembaga yang dapat menjadi alat kekuasaan untuk "menghakimi" mereka yang kritis kepada pemerintah. Ketiga, pembinaan Pancasila sudah diatur dalam berbagai perundang-undangan, antara lain Perpres Nomor 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, Permendagri Nomor 29/2011 tentang Pedoman Pemerintah Daerah dalam rangka Revitalisasi dan Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila, dan perundang-undangan lainnya. Keempat, tidak mudah bagi DPR atau pemerintah yang mengusulkan RUU BPIP atau PIP untuk memenuhi persyaratan dan prosedur sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12/2011. Publik akan mempertanyakan urgensi RUU BPIP atau PIP. Terakhir, mengganti RUU HIP dengan RUU BPIP atau PIP akan menimbulkan penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat. Aksi-aksi massa tidak akan terbendung. Memaksakan penggantian RUU HIP dengan RUU BPIP atau PIP dikhawatirkan menimbulkan pandemi politik.

Pro-kontra adalah hal yang biasa dan pertanda kehidupan demokrasi yang sehat. Peneguhan Pancasila sebagai dasar negara sangat penting, tetapi mengamalkan Pancasila jauh lebih penting. DPR memiliki kewenangan memutuskan apakah RUU HIP akan dicoret dari Prolegnas 2020 atau diganti dengan RUU BPIP atau PIP. Akan tetapi sesuai dengan sila keempat Pancasila, dalam mengambil keputusan DPR hendaknya mengamalkan nilai "hikmat/kebijaksanaan" dan mementingkan keselamatan rakyat serta persatuan bangsa dan negara. DPR perlu menimbang dengan bijaksana dengan "tidak menggaruk bagian tubuh yang tidak gatal".
(ras)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More