Menimbang Pengganti RUU HIP
Rabu, 15 Juli 2020 - 06:54 WIB
Abdul Mu’ti
Sekretaris Umum PP. Muhammadiyah, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
RANCANGAN Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) mendapat penolakan yang semakin masif. Tidak hanya ormas-ormas Islam, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Konferensi Wali gereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) bersepakat agar DPR tidak menyusun undang-undang yang melemahkan Pancasila 18 Agustus 1945. Setelah forum guru besar Universitas Pendidikan Indonesia dan forum guru besar Universitas Gadjah Mada menyampaikan agar DPR tidak mengesahkan RUU HIP menjadi Undang-undang (UU), penolakan juga dilakukan oleh purnawirawan TNI-AD, Pemuda Pancasila, dan elemen masyarakat sipil lainnya.
Penolakan RUU HIP yang sangat luas serta bersifat lintas agama dan organisasi menunjukkan kuatnya dukungan masyarakat terhadap Pancasila. Dengan adanya umat Islam yang keras menentang RUU HIP tidak berarti terjadi konfrontasi antara kelompok muslim dengan nasionalis walaupun penolakan mereka bersifat teologis-politis. Sebagian umat Islam menengarai RUU HIP secara sengaja dirancang oleh kelompok pro-partai komunis untuk menghidupkan komunisme, sekularisme, dan ateisme. Dua bukti yang dikemukakan adalah tidak dicantumkannya TAP MPRS XXV/MPRS/1966 tentang larangan Komunisme, Marxisme, dan Leninisme serta rumusan Pasal 7 yang menonjolkan gotong-royong dan ketuhanan yang berkebudayaan. Ormas lain, termasuk PP Muhammadiyah, berkeberatan terhadap pengesahan RUU HIP dengan alasan yuridis-konstitusional.
Pertama, secara hukum dan perundang-undangan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan sumber segala sumber hukum sudah sangat kuat. Pancasila sebagai dasar negara termaktub dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966, TAP MPR Nomor V/MPR/1973, TAP MPR Nomor IX/MPR/1978, TAP MPR Nomor III/MPR/2000, dan TAP MPR Nomor I/MPR/2003. Mengatur Pancasila dalam undang-undang berarti merendahkan kedudukan dan dasar hukum. Kedua, penyebutan "haluan ideologi" sebagai nama RUU dan materi muatan RUU HIP tidak memenuhi asas kesesuaian (Pasal 5 UU Nomor 12/2011) dan bertentangan dengan UUD 1945. Ketiga, RUU HIP berpotensi membuka kotak pandora perdebatan ideologi, memecah belah masyarakat, menimbulkan instabilitas politik, dan merusak persatuan bangsa.
Aspirasi yang menghendaki RUU HIP tidak disahkan menjadi UU semakin kuat. Meskipun menyatakan menunda, pemerintah belum mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR. Baik DPR maupun pemerintah sepertinya sedang mengulur waktu, buying time, melihat dinamika di masyarakat serta kemungkinan mengusulkan RUU pengganti RUU HIP. Sembari menunggu batas waktu 60 hari, muncul wacana dan lobi politik untuk mengganti RUU HIP dengan RUU BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) atau RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila). Hal demikian dimaksudkan untuk mencari solusi jalan tengah, win-win solution, agar tidak ada satu pun pihak yang merasa kalah serta mengembalikan RUU HIP kepada "khitah". Beredar kabar bahwa PDIP pada awalnya "hanya" mengusulkan RUU BPIP untuk memperkuat dasar hukum BPIP dari peraturan presiden (perpres) ke tingkat UU.
RUU Baru
Apakah DPR akan menghapus RUU HIP dari Prolegnas ataukah mengganti RUU HIP dengan RUU BPIP atau PIP? Keputusan sepenuhnya ada di tangan DPR. Sesuai dengan Pasal 20 UUD 1945, DPR memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Sesuai dengan kewenangannya, DPR dan pemerintah dapat mengusulkan RUU lain untuk menggantikan RUU HIP. Meski demikian, seandainya usulan itu dilakukan, RUU pengganti berkedudukan sebagai RUU baru. DPR harus memenuhi ketentuan dan mekanisme sebagaimana diatur di dalam UUD, UU Nomor 12/2011, dan perundang-undangan lainnya.
Pertama, RUU pengganti RUU HIP merupakan usulan baru. Sesuai dengan ketentuan Pasal 20 (2) UUD 1945 bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Lembaga mana pun yang mengusulkan, RUU baru harus masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kedua, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UU Nomor 12/2011 penyusunan daftar RUU didasarkan atas: (a) perintah UUD 1945; (b) perintah Ketetapan MPR; (c) perintah UU lainnya; (d) sistem perencanaan pembangunan nasional; (e) rencana pembangunan jangka panjang nasional; (f) rencana pembangunan jangka menengah; (g) rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; serta (h) aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.
Sekretaris Umum PP. Muhammadiyah, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
RANCANGAN Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) mendapat penolakan yang semakin masif. Tidak hanya ormas-ormas Islam, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Konferensi Wali gereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) bersepakat agar DPR tidak menyusun undang-undang yang melemahkan Pancasila 18 Agustus 1945. Setelah forum guru besar Universitas Pendidikan Indonesia dan forum guru besar Universitas Gadjah Mada menyampaikan agar DPR tidak mengesahkan RUU HIP menjadi Undang-undang (UU), penolakan juga dilakukan oleh purnawirawan TNI-AD, Pemuda Pancasila, dan elemen masyarakat sipil lainnya.
Penolakan RUU HIP yang sangat luas serta bersifat lintas agama dan organisasi menunjukkan kuatnya dukungan masyarakat terhadap Pancasila. Dengan adanya umat Islam yang keras menentang RUU HIP tidak berarti terjadi konfrontasi antara kelompok muslim dengan nasionalis walaupun penolakan mereka bersifat teologis-politis. Sebagian umat Islam menengarai RUU HIP secara sengaja dirancang oleh kelompok pro-partai komunis untuk menghidupkan komunisme, sekularisme, dan ateisme. Dua bukti yang dikemukakan adalah tidak dicantumkannya TAP MPRS XXV/MPRS/1966 tentang larangan Komunisme, Marxisme, dan Leninisme serta rumusan Pasal 7 yang menonjolkan gotong-royong dan ketuhanan yang berkebudayaan. Ormas lain, termasuk PP Muhammadiyah, berkeberatan terhadap pengesahan RUU HIP dengan alasan yuridis-konstitusional.
Pertama, secara hukum dan perundang-undangan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan sumber segala sumber hukum sudah sangat kuat. Pancasila sebagai dasar negara termaktub dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966, TAP MPR Nomor V/MPR/1973, TAP MPR Nomor IX/MPR/1978, TAP MPR Nomor III/MPR/2000, dan TAP MPR Nomor I/MPR/2003. Mengatur Pancasila dalam undang-undang berarti merendahkan kedudukan dan dasar hukum. Kedua, penyebutan "haluan ideologi" sebagai nama RUU dan materi muatan RUU HIP tidak memenuhi asas kesesuaian (Pasal 5 UU Nomor 12/2011) dan bertentangan dengan UUD 1945. Ketiga, RUU HIP berpotensi membuka kotak pandora perdebatan ideologi, memecah belah masyarakat, menimbulkan instabilitas politik, dan merusak persatuan bangsa.
Aspirasi yang menghendaki RUU HIP tidak disahkan menjadi UU semakin kuat. Meskipun menyatakan menunda, pemerintah belum mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR. Baik DPR maupun pemerintah sepertinya sedang mengulur waktu, buying time, melihat dinamika di masyarakat serta kemungkinan mengusulkan RUU pengganti RUU HIP. Sembari menunggu batas waktu 60 hari, muncul wacana dan lobi politik untuk mengganti RUU HIP dengan RUU BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) atau RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila). Hal demikian dimaksudkan untuk mencari solusi jalan tengah, win-win solution, agar tidak ada satu pun pihak yang merasa kalah serta mengembalikan RUU HIP kepada "khitah". Beredar kabar bahwa PDIP pada awalnya "hanya" mengusulkan RUU BPIP untuk memperkuat dasar hukum BPIP dari peraturan presiden (perpres) ke tingkat UU.
RUU Baru
Apakah DPR akan menghapus RUU HIP dari Prolegnas ataukah mengganti RUU HIP dengan RUU BPIP atau PIP? Keputusan sepenuhnya ada di tangan DPR. Sesuai dengan Pasal 20 UUD 1945, DPR memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Sesuai dengan kewenangannya, DPR dan pemerintah dapat mengusulkan RUU lain untuk menggantikan RUU HIP. Meski demikian, seandainya usulan itu dilakukan, RUU pengganti berkedudukan sebagai RUU baru. DPR harus memenuhi ketentuan dan mekanisme sebagaimana diatur di dalam UUD, UU Nomor 12/2011, dan perundang-undangan lainnya.
Pertama, RUU pengganti RUU HIP merupakan usulan baru. Sesuai dengan ketentuan Pasal 20 (2) UUD 1945 bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Lembaga mana pun yang mengusulkan, RUU baru harus masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kedua, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UU Nomor 12/2011 penyusunan daftar RUU didasarkan atas: (a) perintah UUD 1945; (b) perintah Ketetapan MPR; (c) perintah UU lainnya; (d) sistem perencanaan pembangunan nasional; (e) rencana pembangunan jangka panjang nasional; (f) rencana pembangunan jangka menengah; (g) rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; serta (h) aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.
tulis komentar anda