Meniti Jejak Leluhur
A
A
A
Layaknya buku, foto juga merupakan jendela dunia. Medium yang menghantarkan beragam hal baru dalam bentuk visual untuk khalayak ramai. Pembawa pesan dan penyimpan kenangan dari beragam peristiwa, tempat, benda hingga perjalanan hidup manusia.
Berangkat dari kepedulian akan budaya dan ajaran leluhur, fotografer KORAN SINDO Hasiholan Siahaan mendokumentasikan kehidupan masyarakat Batak.
Lokasi demi lokasi ditelusuri untuk mendapatkan gambaran utuh kehidupan masyarakat yang bermukim di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir ini. Rentetan peradaban mulai dari zaman leluhur, ritual kuno, pergeseran kepercayaan, hingga keseharian terkini warga di perkampungan direkamnya lewat foto. Tak terlewatkan olehnya untuk menangkap keindahan alam Danau Toba dari sejumlah lokasi yang masih belum banyak terekspos.
Bukan hal mudah untuk mengabadikan perjalanan satu suku bangsa, terlebih jika sedikit literatur dan tulisan yang bisa dijadikan referensi. Sembilan tahun waktu yang diperlukan Hasiholan untuk mendokumentasikan, dimulai dengan riset dari berbagai sumber untuk memahami secara utuh peradaban Batak, mendatangi banyak lokasi, hingga mengabadikannya lewat kamera.
”Perjalanan yang sangat melelahkan, naik turun gunung, menyusuri jalan setapak yang rusak tanpa penerangan di malam hari, kabut melingkupi dan jurang mengintai,” ujarnya. Namun, beratnya medan yang dihadapi membuatnya semakin termotivasi untuk melengkapi dokumentasi yang disusun serta menyampaikan pesan terutama untuk generasi terkini masyarakat Batak.
”Tujuan saya mendokumentasikan jejak peradaban dan budaya Batak adalah agar generasi muda tahu serta lebih peduli dengan ajaran yang ditinggalkan oleh leluhur dan tak larut dalam modernisasi gaya hidup ke-Barat-an sehingga lupa jati diri sebagai orang Timur yang menghargai ajaran leluhur,” ucap fotografer yang telah banyak meraih penghargaan dalam bidang fotografi tersebut. Rangkuman foto dari perjalanan menelusuri jejak leluhur Batak ini dapat disimak dalam pameran foto tunggal bertajuk Eksotisme Tano Toba yang digelar di TobaDream, Jakarta Selatan mulai Kamis (14/5) mendatang.
Frame demi frame yang ditampilkan dalam pameran memberikan banyak sekali informasi tentang identitas awal masyarakat Batak, misalnya, lokasi yang dipercaya sebagai tempat awal leluhur berasal yaitu Gunung Pusuk Buhit. Ada lagi makam batu kuno yang diyakini sebagai makam leluhur di Huta (kampung kecil) Sihotang, pemukiman kecil di pelosok Samosir bertembok batu peninggalan zaman megalitikum.
Selain peninggalan-peninggalan leluhur, sejumlah foto yang ditampilkan juga menyiratkan banyak ajaran mengenai kesederhanaan yang kini mulai dilupakan oleh sebagian masyarakat. Lihatlah foto ”Pangururan” yang memperlihatkan sepasang calon pengantin bersiap menuju lokasi pernikahan. Sakralnya pernikahan walaupun dilangsungkan secara sederhana terukir jelas dalam foto tersebut. Kearifan lokal yang menyiratkan sifat gotong-royong dalam kehidupan bermasyarakat juga tak luput ditampilkan.
Lihatlah foto Balige yang memperlihatkan barisan tetamu membawa tandok berisi beras dalam satu perhelatan, pesan akan tradisi saling membantu tersirat jelas lewat foto tersebut. Banyak hal lain yang ditampilkan lewat deretan foto-foto dalam pameran. Ritualritual tradisional, kegelisahan akan kondisi alam terkini Danau Toba, sulitnya perajin tradisional bertahan, hingga penanggalan dan aksara Batak, juga tak luput dari jepretan kamera Hasiholan.
Arie yudhistira
Berangkat dari kepedulian akan budaya dan ajaran leluhur, fotografer KORAN SINDO Hasiholan Siahaan mendokumentasikan kehidupan masyarakat Batak.
Lokasi demi lokasi ditelusuri untuk mendapatkan gambaran utuh kehidupan masyarakat yang bermukim di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir ini. Rentetan peradaban mulai dari zaman leluhur, ritual kuno, pergeseran kepercayaan, hingga keseharian terkini warga di perkampungan direkamnya lewat foto. Tak terlewatkan olehnya untuk menangkap keindahan alam Danau Toba dari sejumlah lokasi yang masih belum banyak terekspos.
Bukan hal mudah untuk mengabadikan perjalanan satu suku bangsa, terlebih jika sedikit literatur dan tulisan yang bisa dijadikan referensi. Sembilan tahun waktu yang diperlukan Hasiholan untuk mendokumentasikan, dimulai dengan riset dari berbagai sumber untuk memahami secara utuh peradaban Batak, mendatangi banyak lokasi, hingga mengabadikannya lewat kamera.
”Perjalanan yang sangat melelahkan, naik turun gunung, menyusuri jalan setapak yang rusak tanpa penerangan di malam hari, kabut melingkupi dan jurang mengintai,” ujarnya. Namun, beratnya medan yang dihadapi membuatnya semakin termotivasi untuk melengkapi dokumentasi yang disusun serta menyampaikan pesan terutama untuk generasi terkini masyarakat Batak.
”Tujuan saya mendokumentasikan jejak peradaban dan budaya Batak adalah agar generasi muda tahu serta lebih peduli dengan ajaran yang ditinggalkan oleh leluhur dan tak larut dalam modernisasi gaya hidup ke-Barat-an sehingga lupa jati diri sebagai orang Timur yang menghargai ajaran leluhur,” ucap fotografer yang telah banyak meraih penghargaan dalam bidang fotografi tersebut. Rangkuman foto dari perjalanan menelusuri jejak leluhur Batak ini dapat disimak dalam pameran foto tunggal bertajuk Eksotisme Tano Toba yang digelar di TobaDream, Jakarta Selatan mulai Kamis (14/5) mendatang.
Frame demi frame yang ditampilkan dalam pameran memberikan banyak sekali informasi tentang identitas awal masyarakat Batak, misalnya, lokasi yang dipercaya sebagai tempat awal leluhur berasal yaitu Gunung Pusuk Buhit. Ada lagi makam batu kuno yang diyakini sebagai makam leluhur di Huta (kampung kecil) Sihotang, pemukiman kecil di pelosok Samosir bertembok batu peninggalan zaman megalitikum.
Selain peninggalan-peninggalan leluhur, sejumlah foto yang ditampilkan juga menyiratkan banyak ajaran mengenai kesederhanaan yang kini mulai dilupakan oleh sebagian masyarakat. Lihatlah foto ”Pangururan” yang memperlihatkan sepasang calon pengantin bersiap menuju lokasi pernikahan. Sakralnya pernikahan walaupun dilangsungkan secara sederhana terukir jelas dalam foto tersebut. Kearifan lokal yang menyiratkan sifat gotong-royong dalam kehidupan bermasyarakat juga tak luput ditampilkan.
Lihatlah foto Balige yang memperlihatkan barisan tetamu membawa tandok berisi beras dalam satu perhelatan, pesan akan tradisi saling membantu tersirat jelas lewat foto tersebut. Banyak hal lain yang ditampilkan lewat deretan foto-foto dalam pameran. Ritualritual tradisional, kegelisahan akan kondisi alam terkini Danau Toba, sulitnya perajin tradisional bertahan, hingga penanggalan dan aksara Batak, juga tak luput dari jepretan kamera Hasiholan.
Arie yudhistira
(ars)