Revisi UU Pilkada Terancam Batal
A
A
A
JAKARTA - Keinginan Komisi II DPR merevisi Undang-undang (UU) no 8/2015 tentang pemilihan kepala daerah (pilkada) terancam menemui jalan buntu. Pasalnya pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah tegas menolak wacana tersebut karena dianggap bukan waktu yang tepat untuk dilaksanakan dalam waktu dekat.
“Kalau salah satunya menolak artinya pembahasan tidak bisa dilanjutkan,” ujar peneliti senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus saat berbincang dengan Sindo, Kamis 7 Mei 2015.
Dengan ketidaksetujuan pihak eksekutif, maka DPR menurut Lucius memang tidak dapat membahas poin-poin yang akan diajukan untuk revisi tersebut, padahal di dalam UU sendiri pembahasan harus melibatkan kedua belah pihak. “Enggak bisa. Karena prosedur pembahasan RUU harus selalu melibatkan dua belah pihak, pemerintah dan DPR,” lanjutnya.
Lucius pun menyayangkan sikap DPR yang begitu semangat mengejar revisi UU Pilkada hanya untuk menyukseskan kepentingan kelompoknya. Situasi yang berbanding terbalik dengan pencapaian mereka ketika ditugaskan menyelesaikan fungsi legislasinya, yang hingga masa reses kedua belum memenuhi target prolegnas 2015. “Semangat yang menggebu-gebu DPR untuk merevisi UU Pilkada ini justru tidak muncul dalam tugas utama mereka menyelesaikan target prolegnas 2015,” sesal Lucius.
Lucius pun berharap wacana revisi UU ini bisa segera dihentikan, bukan hanya karena substansi revisi yang berpotensi bermasalah, tetapi juga potensi DPR merusak tatanan kehidupan bernegara yang ada di Indonesia. “Jadi sudah prinsipnya ini ditolak. Bukan hanya karena substansi yang ingin direvisi bermasalah, tapi juga karena banyak hal, rencana DPR itu dapat merusak upaya kita memperkuat sistem demokrasi melalui pilkada," lugasnya.
“Kalau salah satunya menolak artinya pembahasan tidak bisa dilanjutkan,” ujar peneliti senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus saat berbincang dengan Sindo, Kamis 7 Mei 2015.
Dengan ketidaksetujuan pihak eksekutif, maka DPR menurut Lucius memang tidak dapat membahas poin-poin yang akan diajukan untuk revisi tersebut, padahal di dalam UU sendiri pembahasan harus melibatkan kedua belah pihak. “Enggak bisa. Karena prosedur pembahasan RUU harus selalu melibatkan dua belah pihak, pemerintah dan DPR,” lanjutnya.
Lucius pun menyayangkan sikap DPR yang begitu semangat mengejar revisi UU Pilkada hanya untuk menyukseskan kepentingan kelompoknya. Situasi yang berbanding terbalik dengan pencapaian mereka ketika ditugaskan menyelesaikan fungsi legislasinya, yang hingga masa reses kedua belum memenuhi target prolegnas 2015. “Semangat yang menggebu-gebu DPR untuk merevisi UU Pilkada ini justru tidak muncul dalam tugas utama mereka menyelesaikan target prolegnas 2015,” sesal Lucius.
Lucius pun berharap wacana revisi UU ini bisa segera dihentikan, bukan hanya karena substansi revisi yang berpotensi bermasalah, tetapi juga potensi DPR merusak tatanan kehidupan bernegara yang ada di Indonesia. “Jadi sudah prinsipnya ini ditolak. Bukan hanya karena substansi yang ingin direvisi bermasalah, tapi juga karena banyak hal, rencana DPR itu dapat merusak upaya kita memperkuat sistem demokrasi melalui pilkada," lugasnya.
(hyk)