Proyek Listrik Dimulai
A
A
A
Atas nama membayar utang kepada rakyat, pemerintah menggenjot proyek pembangunan pembangkit listrik.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pada peresmian dimulainya proyek listrik program 35.000 megawatt (MW) untuk lima tahun ke depan menyatakan ini bukanlah proyek infrastruktur yang ambisius, masih banyak daerah yang mengalami defisit listrik sehingga masyarakat tak bisa menikmati listrik. Pemerintah menyatakan keterbatasan listrik itu sebagai utang yang harus dilunasi.
Selain itu, pemerintah juga memprediksi apabila kapasitas tenaga listrik tidak ditambah segera, krisis listrik dalam dua tahun ke depan tak bisa dihindari lagi. Meski pemerintah menegaskan proyek listrik tersebut bukanlah proyek ambisius, sejumlah pihak tetap mengkritisi program 35.000 MW yang dijadwalkan tuntas dalam lima tahun ke depan itu.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, pemerintah memiliki berbagai keterbatasan yang sulit diatasi, mulai dari koordinasi di antara instansi pemerintah sendiri, ketersediaan lahan, dukungan pemerintah daerah yang tidak optimal, hingga calon investor yang terlalu banyak meminta kemudahan. Persoalan yang selalu mengganjal proyek infrastruktur selama ini relatif belum ada perubahan berarti hingga kini. Pemerintah mengungkapkan, peresmian dimulainya pembangunan proyek kelistrikan yang diperkirakan menelan investasi sebesar Rp1.100 triliun dipusatkan di Pantai Samas Bantul, Yogyakarta kemarin setelah melalui persiapan selama enam bulan.
Dukungan kebijakan dari pemerintah terhadap investor adalah kebebasan investor untuk melakukan negosiasi langsung kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) buat pembelian listrik. Pemerintah—dalam hal ini Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM)—tak akan campur tangan lagi. Kebijakan satu pintu berkaitan perizinan. Kebijakan itu diyakini bakal merangsang investor dalam menanamkan modal di sektor pembangkit listrik.
Memang tidak dapat disangkal bahwa kebutuhan listrik senantiasa harus terjamin sebagai salah satu motor pertumbuhan perekonomian, bukan sekadar utang terhadap masyarakat yang belum menikmati listrik. Apalagi, pemerintah telah mematok pertumbuhan perekonomian sebesar 7% dalam lima tahun ke depan, membutuhkan pasokan listrik baru sebanyak 7.000 MW setiap tahun.
Pemerintah mencanangkan program 35.000 MW itu membuka pintu selebar-lebarnya untuk pihak swasta (independent power producer/IPP) dengan porsi 25.000 MW selebihnya menjadi tanggung jawab perusahaan negara di bidang kelistrikan. Kabarnya, animo swasta terlibat pembangunan pembangkit listrik sangat menggembirakan. Selain itu, dampak dari proyek kelistrikan itu pun diperkirakan bisa membuka lapangan kerja hingga tiga juta orang dan memberi peluang penggunaan produk industri dalam negeri.
Kebutuhan komponen proyek tersebut sebagaimana dipublikasikan Kementerian ESDM meliputi 75.000 set tower transmisi, sebanyak 1.382 unit gardu induk, sekitar 391.500 kilometer konduktor aluminium, sebanyak 2.600 set trafo, serta akan menyerap 3,5 juta ton baja profil dan pipa luar pembangkit. Kebutuhan komponen itu luar biasa seandainya proyek tersebut berjalan sesuai rencana. Meski memberikan optimisme yang besar dari proyek kelistrikan itu, beberapa hal yang masih harus dikritisi yakni penyediaan bahan bakar pembangkit.
Selama ini subsidi pemerintah terhadap PLN selalu membengkak karena ketersediaan bahan bakar yang terbatas. Kebutuhan bahan bakar dipastikan membengkak. Tengok saja, dari program 35.000 MW itu, sebanyak 20.000 MW dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara, dan 15.000 MW dari Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG). Selama ini memang sungguh ironis negeri ini salah satu eksportir batu bara dan gas bumi terbesar di dunia, tetapi industri dalam negeri berteriak tak terkecuali PLN karena kebutuhan akan dua bahan bakar tersebut tidak terpenuhi.
Pengusaha batu bara dan gas bumi lebih memilih pasar ekspor karena harga lebih menjanjikan. Penyediaan bahan bakar untuk pembangkit listrik akan menjadi pekerjaan rumah tersendiri di balik program 35.000 MW, jangan sampai justru melahirkan subsidi baru.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pada peresmian dimulainya proyek listrik program 35.000 megawatt (MW) untuk lima tahun ke depan menyatakan ini bukanlah proyek infrastruktur yang ambisius, masih banyak daerah yang mengalami defisit listrik sehingga masyarakat tak bisa menikmati listrik. Pemerintah menyatakan keterbatasan listrik itu sebagai utang yang harus dilunasi.
Selain itu, pemerintah juga memprediksi apabila kapasitas tenaga listrik tidak ditambah segera, krisis listrik dalam dua tahun ke depan tak bisa dihindari lagi. Meski pemerintah menegaskan proyek listrik tersebut bukanlah proyek ambisius, sejumlah pihak tetap mengkritisi program 35.000 MW yang dijadwalkan tuntas dalam lima tahun ke depan itu.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, pemerintah memiliki berbagai keterbatasan yang sulit diatasi, mulai dari koordinasi di antara instansi pemerintah sendiri, ketersediaan lahan, dukungan pemerintah daerah yang tidak optimal, hingga calon investor yang terlalu banyak meminta kemudahan. Persoalan yang selalu mengganjal proyek infrastruktur selama ini relatif belum ada perubahan berarti hingga kini. Pemerintah mengungkapkan, peresmian dimulainya pembangunan proyek kelistrikan yang diperkirakan menelan investasi sebesar Rp1.100 triliun dipusatkan di Pantai Samas Bantul, Yogyakarta kemarin setelah melalui persiapan selama enam bulan.
Dukungan kebijakan dari pemerintah terhadap investor adalah kebebasan investor untuk melakukan negosiasi langsung kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) buat pembelian listrik. Pemerintah—dalam hal ini Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM)—tak akan campur tangan lagi. Kebijakan satu pintu berkaitan perizinan. Kebijakan itu diyakini bakal merangsang investor dalam menanamkan modal di sektor pembangkit listrik.
Memang tidak dapat disangkal bahwa kebutuhan listrik senantiasa harus terjamin sebagai salah satu motor pertumbuhan perekonomian, bukan sekadar utang terhadap masyarakat yang belum menikmati listrik. Apalagi, pemerintah telah mematok pertumbuhan perekonomian sebesar 7% dalam lima tahun ke depan, membutuhkan pasokan listrik baru sebanyak 7.000 MW setiap tahun.
Pemerintah mencanangkan program 35.000 MW itu membuka pintu selebar-lebarnya untuk pihak swasta (independent power producer/IPP) dengan porsi 25.000 MW selebihnya menjadi tanggung jawab perusahaan negara di bidang kelistrikan. Kabarnya, animo swasta terlibat pembangunan pembangkit listrik sangat menggembirakan. Selain itu, dampak dari proyek kelistrikan itu pun diperkirakan bisa membuka lapangan kerja hingga tiga juta orang dan memberi peluang penggunaan produk industri dalam negeri.
Kebutuhan komponen proyek tersebut sebagaimana dipublikasikan Kementerian ESDM meliputi 75.000 set tower transmisi, sebanyak 1.382 unit gardu induk, sekitar 391.500 kilometer konduktor aluminium, sebanyak 2.600 set trafo, serta akan menyerap 3,5 juta ton baja profil dan pipa luar pembangkit. Kebutuhan komponen itu luar biasa seandainya proyek tersebut berjalan sesuai rencana. Meski memberikan optimisme yang besar dari proyek kelistrikan itu, beberapa hal yang masih harus dikritisi yakni penyediaan bahan bakar pembangkit.
Selama ini subsidi pemerintah terhadap PLN selalu membengkak karena ketersediaan bahan bakar yang terbatas. Kebutuhan bahan bakar dipastikan membengkak. Tengok saja, dari program 35.000 MW itu, sebanyak 20.000 MW dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara, dan 15.000 MW dari Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG). Selama ini memang sungguh ironis negeri ini salah satu eksportir batu bara dan gas bumi terbesar di dunia, tetapi industri dalam negeri berteriak tak terkecuali PLN karena kebutuhan akan dua bahan bakar tersebut tidak terpenuhi.
Pengusaha batu bara dan gas bumi lebih memilih pasar ekspor karena harga lebih menjanjikan. Penyediaan bahan bakar untuk pembangkit listrik akan menjadi pekerjaan rumah tersendiri di balik program 35.000 MW, jangan sampai justru melahirkan subsidi baru.
(ars)