Pendidikan Alternatif bagi Kaum Marginal

Senin, 04 Mei 2015 - 12:21 WIB
Pendidikan Alternatif bagi Kaum Marginal
Pendidikan Alternatif bagi Kaum Marginal
A A A
Keberadaan lembaga swadaya masyarakat (LSM), yayasan, ataupun komunitas yang bergerak di bidang pendidikan memberi secercah harapan baru. Melalui mereka, sejumlah orang yang tak mampu mengenyam pendidikan di sekolah formal tetap bisa menimba ilmu, bahkan mendapatkan ijazah.

Mengentaskan kebodohan dan menjadikan orang-orang kurang beruntung itu lebih bermanfaat adalah goal para pendiri sekolah nonformal tersebut. Di Indonesia, ada banyak lembaga yang bergerak di bidang ini. Sebut saja Yayasan Pemimpin Anak Bangsa (YPAB), Save Street Child (SSC), Terminal Hujan, dan Sekolah Master.

YPAB adalah yayasan nonprofit yang peduli terhadap pendidikan kaum marginal dan masyarakat putus sekolah. Sekolah ini tidak berbeda dengan sekolah formal, hanya jam belajarnya bisa dibuat lebih fleksibel. ”Kami di sini juga mengajarkan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah formal. Hanya, jam belajar lebih fleksibel dan sedikit dibandingkan jam sekolah di sekolah formal,” ucap Andri Rizky Putra, pendiri YPAB, yang akrab dipanggil Kiki.

Menurut Kiki, kurikulum yang diajarkan YPAB tetap mengacu pada materi (silabus) yang diberikan oleh Kemendikbud. Hanya, ada sedikit modifikasi yang dilakukan oleh tutor sesuai dengan kebutuhan anak. YPAB juga menyelenggarakan pendidikan kesetaraan berupa program Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP), dan Paket C (setara SMA).

Di luar jam belajar tatap muka, juga ada take home testuntuk mengukur progress dari pelajaran yang diajarkan kepada para murid. Jika ada mata pelajaran yang kurang dimengerti, para siswa bisa menanyakannya kepada tutor. Ini dilakukan agar siswa bisa belajar secara mandiri.

”Kami juga mengadakan evaluasi berkala agar mereka siap mengikuti ujian nasional. Sebelum mengikuti ujian nasional, mereka akan dites terlebih dahulu. Itu bertujuan untuk melihat kemampuan mereka, apakah sudah siap atau belum mengikuti ujian nasional,” kata Kiki. Di sini anak didik mendapatkan masa didik per jenjang minimal selama dua tahun.

Anak didik di YPAB berasal dari kalangan yang memiliki masalah keuangan seperti pembantu rumah tangga, pengamen, pemulung, dan lain-lain. ”Semuanya diberikan gratis kepada anak didik. Kami tidak menetapkan syarat untuk menjadi peserta didik di sini. Hanya satu syaratnya yaitu mereka memiliki komitmen untuk belajar,” kata pria yang pernah putus sekolah tersebut.

Kejujuran serta etika paling penting diajarkan YPAB kepada anak didik. ”Itu menjadi kunci utama yang diajarkan oleh kami. Kami ajarkan kepada mereka bahwa kami tidak membutuhkan pintar, tapi kami lebih menginginkan kejujuran dan menjadi pribadi yang baik,” ungkap Kiki, yang memilih program Paket C untuk melanjutkan kuliah di UI.

Kelulusan anak didik di YPAB didasari oleh nilai yang didapatkan saat UN kesetaraan. Selain itu, ada beberapa aspek lain yang dilihat seperti kehadiran, evaluasi, etika, dan perilaku. Relawan di YPAB sebagian besar berasaldari kalanganprofesionaldengan jenjang pendidikan strata 1 dan 2.

Sementara itu, founder Save Street Child (SSC) Shei Latifah mengatakan, tugas manusia terdidik adalah mendidik manusia lain. Itu sebabnya, Shei melalui SSC tergerak untuk mengelola kelas- kelas belajar gratis, dibantu oleh tim pengajar yang berdedikasi serta memiliki kepekaan dan cinta dalam mendidik anak-anak marginal.

”Tim pengajar telah dibekali pelatihan sederhana tentang karakteristik adik-adik dan cara mengajar yang berasaskan pertemanan, bukan hegemoni sehingga adik-adik peserta belajar nyaman dan dapat berekspresi sesuai bakat mereka,” urai wanita kelahiran Jombang, 5 September 1989 itu.

Tiap kelas belajar SSC dikelola oleh pengajar yang berdomisili tak jauh dari kelas belajar tersebut sehingga tidak memberatkan. Ihwal yang diajarkan kepada peserta didik adalah baca, tulis, hitung, hingga keterampilan atau keahlian khusus. SSC menilai, pembentukan akhlak menjadi pelajaran yang paling penting dilakukan, apalagi terhadap peserta didik yang biasa berada di jalan.

Hal serupa dilakukan Nur Rohim pada 2000, pendiri sekolah Masjid Terminal (Master), yang juga ketua Yayasan Bina Insan Mandiri yang berlokasi di Depok, Jawa Barat. Berawal dari kegelisahannya melihat banyak anak yang seharusnya berada di sekolah pada pagi hari justru malah bermain di jalan ataupun stasiun.

”Ketika saya pelajari, ternyata mereka bukan tidak ingin sekolah, tapi karena keterbatasan ekonomi terpaksa berhenti sekolah. Kemudian saya ajak teman-teman relawan untuk bergabung di Master untuk memberikan pendidikan alternatif bagi masyarakat marjinal,” katanya.

Nur Rohim menambahkan, selain menjadi akses pendidikan alternatif untuk masyarakat marjinal, Master juga menjadi wadah pengabdian masyarakat karena lokasi sekolah dikelilingi kampus-kampus terbaik. Sejatinya memberi pendidikan adalah tugas kita semua, bukan hanya pemerintah. Pendidikan karakter lagi-lagi ditekankan oleh Sekolah Master terhadap peserta didiknya.

Selain itu, diajarkan pula materi yang berbasis enterpreneur. ”Metode pendekatan yang dilakukan oleh Master adalah para relawan menjadi teman dan kakak asuh sehingga anakanak memiliki kedekatan emosional terhadap kakak relawan. Dengan begitu, mereka mau menceritakan masalah yang dihadapi, yang kemudian akan kami carikan solusinya,” beber Nur Rohim.

Saat ini Master telah menampung lebih dari 5.000 siswa, jenjangnya mulai taman kanak-kanak hingga SMA. Para siswa juga berasal dari berbagai macam latar belakang seperti anak jalanan, anak telantar, anak berkebutuhan khusus, anak-anak yang berhadapan hukum, dan anak-anak cacat dari keluarga miskin.

”Anak-anak didik di sini sebagian besar berasal dari keluarga yang tidak memiliki tanah-air. Air beli, tanah ngontrak. Jadi, mereka menjadi orang asing di negeri sendiri, sering berpindah-pindah tempat tinggal sehingga mengorbankan anak-anak,” ucap Nur Rohim.

Kurikulum yang diterapkan oleh Master berbasis pada kebutuhan. Selain mata pelajaran seperti yang diberikan di sekolah formal, di sini juga diajarkan berbagai macam keterampilan sehingga anak-anak kelak akan memiliki daya saing. Kegiatan belajar-mengajar yang diadakan Sekolah Master berlangsung Senin–Minggu, dibagi menjadi dua hari akademis, dua hari magang, dua hari praktik, dan satu hari untuk olahraga.

”Tapi, tidak dipaksakan kepada anak didik bisanya berapa hari. Mereka yang memilih jadwal sendiri. Pada malam hari biasanya diikuti pembantu rumah tangga, pelayan toko, pedagang asongan, tukang sapu, dan lain-lain,” tegas pria yang juga mendirikan sekolah untuk kaum marginal ini.

Saat ini Master sudah memiliki lebih dari 20 mitra dan sedang mengembangkan unit bisnis ataupun jasa demi membantu finansial internal mereka. Dengan begitu, yayasan bisa lebih mandiri. Lembaga lain yang menyelenggarakan model pendidikan ini adalah Komunitas Terminal Hujan, yang didirikan oleh Anggun Pesona Intan.

Komunitas independen yang bergerak di bidang pendidikan dan ekonomi ini mengajar anak-anak di sekitar pinggiran Kali Ciliwung untuk membaca, menulis, berhitung, sekaligus membantu mereka mengikuti pelajaran di sekolah formal. Lokasi belajarnya ada di belakang Terminal Baranangsiang, Bogor.

”Saat ini anak didik yang dituju oleh Terminal Hujan adalah adik-adik yang tinggal di kampung-kampung belakang Terminal Baranangsiang, dari usia preschoolsampai SMP,” ucap Anggun.

Kegiatan belajar-mengajar di Terminal Hujan dilangsungkan pada Minggu dengan memberikan materi sesuai dengan sekolah formal, plus peningkatan softskill yang bertujuan untuk meningkatkan budi pekerti para siswa, kejujuran, disiplin, saling menghargai, dan membimbing mereka agar tetap berkeinginan untuk sekolah. ”Kami coba membuat metode belajar yang kreatif seperti dengan mengadakan outbound sehingga anak didik tetap semangat bersekolah,” kata Anggun.

Bisa mengabdikan diri untuk mendidik anak-anak tersebut, Anggun merasa sangat bersyukur. ”Pekerjaan ini menjadikan saya pribadi yang selalu mau melakukan refleksi lebih dalam dan bersyukur atas apa yang saya miliki. Bertemu dengan anak-anak yang punya semangat belajar, bertemu ibu-ibu dan orang tua yang mendukung kegiatan ini, juga melihat perkembangan anak-anak dari yang tidak bisa hingga bisa.

Saya juga senang bisa bertemu banyak anak muda yang punya semangat menolong di selasela kesibukan mereka,” bebernya.

Robi ardianto
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5492 seconds (0.1#10.140)