Momentum Konferensi Asia Afrika 2015
A
A
A
GHOFFAR ALBAB MAARIF
Mahasiswa Teknik Industri ITS,
Kepala Departemen PSDI MSI Ulul Ilmi Teknik Industri ITS,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pernah dijuluki sebagai ”Macan Asia” ketika masa kerajaan Sriwijaya, Majapahit hingga kepemimpinan Presiden Soekarno.
Pada masamasa itu, bangsa Indonesia menjadi yang terkuat dan terdepan di segala bidang. Macan Asia seakan menjadi mitos globalisasi bagi negara yang berkuasa atas sektor ekonomi serta pertahanan keamanan negara. Oleh karena itu, pada peringatan ke- 60 Konferensi Asia-Afrika (KAA), April 2015 di Jakarta-Bandung, dapat dijadikan momentum bagi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) untuk memperkuat peran dan keberadaan Indonesia di kawasan internasional.
KAA adalah sebuah gerakan untuk membangun dunia yang lebih adil dan sejahtera. Bangsa Indonesia harus kembali menjadi yang terkuat dan terdepan di segala bidang. Sudah saatnya ”Macan Asia” bangun dari tidur panjangnya. Semangat KAA yang berawal pada 1955, yakni membebaskan bangsa Asia dan Afrika dari penjajahan kolonialisme.
Kini semangat itu harus tetap dikedepankan, namun dengan konteks yang berbeda. Bukan lagi semangat bebas dari penjajahan, tapi semangat untuk membangun dunia yang lebih baik lagi, yaitu dunia yang aman, tenteram, jauh dari konflik, dan sejahtera. Selain itu, perayaan 60 tahun KAA yang turut mengundang 109 negara Asia-Afrika serta 17 negara pengamat dan 20 organisasi internasional untuk berpartisipasi harus benar-benar bermanfaat bagi negara-negara peserta, tak hanya bersifat seremonial.
Forum itu harus menghasilkan solusi bagi permasalahan negara masing-masing maupun kawasan Asia dan Afrika. Salah satunya adalah permasalahan Palestina. Forum KAA harus menghasilkan solusi bagi perang abadi antara Israel dengan Palestina. Kalau perlu, forum KAA harus menjadi prakarsa kemerdekaan Palestina.
Menciptakan kedamaian abadi dan mengenyahkan segala bentuk penjajahan di muka bumi telah menjadi amanat konstitusi. Kemerdekaan Palestina harus diakui dunia dan Indonesia harus mendukung penuh. Selama periode 2008- 2013, Indonesia telah menyediakan 128 program dan modul pelatihan yang dimanfaatkan oleh 1.257 peserta dari Palestina, meliputi UKM,
pendidikan dan kebudayaan, pemberdayaan perempuan, ESDM, tata kelola pemerintahan yang baik, pertahanan, dan pengurangan kemiskinan. Meskipun dukungan pemerintah Indonesia selama ini sudah sangat signifikan, sudah waktunya ditingkatkan menjadi desakan untuk kemerdekaan Palestina. Terlebih Palestina merupakan negara pertama kali yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
Tidak kalah penting dari semua ini adalah pencitraan negara harus diutamakan, karena Indonesia akan didatangi oleh ribuan jurnalis dari berbagai negara-negara di dunia. Ada kemungkinan jurnalis akan mengangkat sisi menarik dari Indonesia, seperti masyarakat sosial, budaya, sejarah, hingga iklim politiknya. Oleh karena itu, semua lini harus menampilkan hal terbaiknya.
Mahasiswa Teknik Industri ITS,
Kepala Departemen PSDI MSI Ulul Ilmi Teknik Industri ITS,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pernah dijuluki sebagai ”Macan Asia” ketika masa kerajaan Sriwijaya, Majapahit hingga kepemimpinan Presiden Soekarno.
Pada masamasa itu, bangsa Indonesia menjadi yang terkuat dan terdepan di segala bidang. Macan Asia seakan menjadi mitos globalisasi bagi negara yang berkuasa atas sektor ekonomi serta pertahanan keamanan negara. Oleh karena itu, pada peringatan ke- 60 Konferensi Asia-Afrika (KAA), April 2015 di Jakarta-Bandung, dapat dijadikan momentum bagi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) untuk memperkuat peran dan keberadaan Indonesia di kawasan internasional.
KAA adalah sebuah gerakan untuk membangun dunia yang lebih adil dan sejahtera. Bangsa Indonesia harus kembali menjadi yang terkuat dan terdepan di segala bidang. Sudah saatnya ”Macan Asia” bangun dari tidur panjangnya. Semangat KAA yang berawal pada 1955, yakni membebaskan bangsa Asia dan Afrika dari penjajahan kolonialisme.
Kini semangat itu harus tetap dikedepankan, namun dengan konteks yang berbeda. Bukan lagi semangat bebas dari penjajahan, tapi semangat untuk membangun dunia yang lebih baik lagi, yaitu dunia yang aman, tenteram, jauh dari konflik, dan sejahtera. Selain itu, perayaan 60 tahun KAA yang turut mengundang 109 negara Asia-Afrika serta 17 negara pengamat dan 20 organisasi internasional untuk berpartisipasi harus benar-benar bermanfaat bagi negara-negara peserta, tak hanya bersifat seremonial.
Forum itu harus menghasilkan solusi bagi permasalahan negara masing-masing maupun kawasan Asia dan Afrika. Salah satunya adalah permasalahan Palestina. Forum KAA harus menghasilkan solusi bagi perang abadi antara Israel dengan Palestina. Kalau perlu, forum KAA harus menjadi prakarsa kemerdekaan Palestina.
Menciptakan kedamaian abadi dan mengenyahkan segala bentuk penjajahan di muka bumi telah menjadi amanat konstitusi. Kemerdekaan Palestina harus diakui dunia dan Indonesia harus mendukung penuh. Selama periode 2008- 2013, Indonesia telah menyediakan 128 program dan modul pelatihan yang dimanfaatkan oleh 1.257 peserta dari Palestina, meliputi UKM,
pendidikan dan kebudayaan, pemberdayaan perempuan, ESDM, tata kelola pemerintahan yang baik, pertahanan, dan pengurangan kemiskinan. Meskipun dukungan pemerintah Indonesia selama ini sudah sangat signifikan, sudah waktunya ditingkatkan menjadi desakan untuk kemerdekaan Palestina. Terlebih Palestina merupakan negara pertama kali yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
Tidak kalah penting dari semua ini adalah pencitraan negara harus diutamakan, karena Indonesia akan didatangi oleh ribuan jurnalis dari berbagai negara-negara di dunia. Ada kemungkinan jurnalis akan mengangkat sisi menarik dari Indonesia, seperti masyarakat sosial, budaya, sejarah, hingga iklim politiknya. Oleh karena itu, semua lini harus menampilkan hal terbaiknya.
(bbg)