Ditegur Merokok, Mantan Petinju Pukul Jatuh Satpam Stasiun
A
A
A
JAKARTA - Perbuatan mantan petinju ini tidak layak ditiru. Fajar Arif yang tidak terima ditegur saat merokok di Stasiun Pondok Jati, Jakarta Timur, langsung menganiaya satpam stasiun bernama Muhammad Iqbal.
Seketika itu juga korban terkapar dengan posisi kepala membentur beton peron. Peristiwa itu berawal pada Senin (20/4) sore ketika Iqbal melihat seorang penumpang sedang merokok di peron. Korban pun berinisiatif menghampiri dan menegur penumpang itu karena stasiun termasuk kawasan dilarang merokok.
Namun, bukan mematikan sebatang rokok yang dipegangnya, pelaku malah marah dan langsung memukul jatuh korban. ”Sudah jelas kalau kawasan tersebut tidak diperbolehkan merokok,” kata Manajer Humas PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) Eva Chairunisa kemarin. Akibat pemukulan itu, korban mengalami luka parah di bagian kepala dan harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Pihak PT KCJ juga sudah melaporkan kasus ini ke kepolisian.
Selang beberapa waktu, polisi menangkap Fajar Arif dan kini ditahan di Polsek Matraman, Jakarta Timur. Eva mengimbau para pengguna jasa KRL Commuter Line untuk mengikuti tata tertib yang berlaku di semua stasiun dan rangkaian kereta. Semua pelanggaran tata tertib seperti vandalisme dan tindakan anarkistis akan diproses sesuai hukum berlaku.
Menurut Kapolsek Matraman Kompol UA Triyanto, pelaku yang kini bekerja sebagai kuli panggul itu tahu benar menjatuhkan korban karena pernah menggeluti dunia tinju. ”Jadi, dia tahu posisi yang mematikan di mana sehingga langsung dipukul rahang sebelah kiri,” ujarnya. Pelaku diketahui pernah empat tahun latihan tinju sewaktu SMA dan pernah juga naik ring.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, pelaku akan dijerat Pasal 351 tentang Penganiayaan dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Kasus pemukulan juga pernah menimpa petugas pemeriksa tiket commuter line pada Juni 2013. Saat itu Fathmah Ikha Haryati, 27, sedang memeriksa tiket pada lima penumpang di atas KRL Commuter Line, namun hanya ada satu orang yang memilikinya.
Itu pun tiket ekonomi. Kemudian Fathmah meminta penumpang tak bertiket turun di stasiun berikutnya, namun penumpang itu malah marah-marah. Saat tiba di Stasiun Pasar Minggu, para penumpang itu turun, tapi mereka sempat melayangkan satu pukulan keras ke arah mata kiri korban hingga sempat pingsan.
Tak seperti kasus pemukulan Iqbal yang pelakunya dapat ditangkap. Pelaku pemukulan Fathmah hingga kini tidak terungkap. Psikolog Universitas Pancasila Aully Grashinta mengatakan, tidak mudah memberikan pemahaman kepada masyarakat pengguna commuter line agar tidak merokok di peron. Bertahun-tahun lamanya masyarakat sudah terbiasa melakukan itu.
Ketika ada larangan, belum seluruh pengguna KRL bisa memahaminya. ”Diperlukan pembangunan sistem dan ini memakan waktu lama. Sedangkan larangan kawasan tanpa rokok (KTR) di Jakarta baru diratifikasi,” ungkap Shinta. Menurut dia, sikap agresif yang timbul bisa jadi si penumpang dalam kondisi emosional yang tidak stabil sehingga ketika ditegur justru dia marah.
”Kita juga tidak tahu bagaimana cara satpam itu melakukan teguran hingga membuat penumpang marah. Namun, teguran itu dilakukan dalam rangka membangun sistem. Seharusnya sudah dipahami bahwa kawasan itu termasuk KTR,” katanya. Arogansi yang muncul juga bisa dipicu lemahnya penegakan hukum.
Misalnya, penumpang merasa tidak akan ditindak tegas jika merokok di KTR dengan denda Rp50 juta. Tidak ada efek jera ini yang membuat penumpang merasa masih bisa melanggar. ”Sampai sekarang tidak ada kan yang dihukum sebesar Rp50 juta. Jadi memang tidak ada efek jera yang membuat masyarakat takut,” kata Shinta.
Helmi syarif/ r ratna purnama/ sindonews
Seketika itu juga korban terkapar dengan posisi kepala membentur beton peron. Peristiwa itu berawal pada Senin (20/4) sore ketika Iqbal melihat seorang penumpang sedang merokok di peron. Korban pun berinisiatif menghampiri dan menegur penumpang itu karena stasiun termasuk kawasan dilarang merokok.
Namun, bukan mematikan sebatang rokok yang dipegangnya, pelaku malah marah dan langsung memukul jatuh korban. ”Sudah jelas kalau kawasan tersebut tidak diperbolehkan merokok,” kata Manajer Humas PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) Eva Chairunisa kemarin. Akibat pemukulan itu, korban mengalami luka parah di bagian kepala dan harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Pihak PT KCJ juga sudah melaporkan kasus ini ke kepolisian.
Selang beberapa waktu, polisi menangkap Fajar Arif dan kini ditahan di Polsek Matraman, Jakarta Timur. Eva mengimbau para pengguna jasa KRL Commuter Line untuk mengikuti tata tertib yang berlaku di semua stasiun dan rangkaian kereta. Semua pelanggaran tata tertib seperti vandalisme dan tindakan anarkistis akan diproses sesuai hukum berlaku.
Menurut Kapolsek Matraman Kompol UA Triyanto, pelaku yang kini bekerja sebagai kuli panggul itu tahu benar menjatuhkan korban karena pernah menggeluti dunia tinju. ”Jadi, dia tahu posisi yang mematikan di mana sehingga langsung dipukul rahang sebelah kiri,” ujarnya. Pelaku diketahui pernah empat tahun latihan tinju sewaktu SMA dan pernah juga naik ring.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, pelaku akan dijerat Pasal 351 tentang Penganiayaan dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Kasus pemukulan juga pernah menimpa petugas pemeriksa tiket commuter line pada Juni 2013. Saat itu Fathmah Ikha Haryati, 27, sedang memeriksa tiket pada lima penumpang di atas KRL Commuter Line, namun hanya ada satu orang yang memilikinya.
Itu pun tiket ekonomi. Kemudian Fathmah meminta penumpang tak bertiket turun di stasiun berikutnya, namun penumpang itu malah marah-marah. Saat tiba di Stasiun Pasar Minggu, para penumpang itu turun, tapi mereka sempat melayangkan satu pukulan keras ke arah mata kiri korban hingga sempat pingsan.
Tak seperti kasus pemukulan Iqbal yang pelakunya dapat ditangkap. Pelaku pemukulan Fathmah hingga kini tidak terungkap. Psikolog Universitas Pancasila Aully Grashinta mengatakan, tidak mudah memberikan pemahaman kepada masyarakat pengguna commuter line agar tidak merokok di peron. Bertahun-tahun lamanya masyarakat sudah terbiasa melakukan itu.
Ketika ada larangan, belum seluruh pengguna KRL bisa memahaminya. ”Diperlukan pembangunan sistem dan ini memakan waktu lama. Sedangkan larangan kawasan tanpa rokok (KTR) di Jakarta baru diratifikasi,” ungkap Shinta. Menurut dia, sikap agresif yang timbul bisa jadi si penumpang dalam kondisi emosional yang tidak stabil sehingga ketika ditegur justru dia marah.
”Kita juga tidak tahu bagaimana cara satpam itu melakukan teguran hingga membuat penumpang marah. Namun, teguran itu dilakukan dalam rangka membangun sistem. Seharusnya sudah dipahami bahwa kawasan itu termasuk KTR,” katanya. Arogansi yang muncul juga bisa dipicu lemahnya penegakan hukum.
Misalnya, penumpang merasa tidak akan ditindak tegas jika merokok di KTR dengan denda Rp50 juta. Tidak ada efek jera ini yang membuat penumpang merasa masih bisa melanggar. ”Sampai sekarang tidak ada kan yang dihukum sebesar Rp50 juta. Jadi memang tidak ada efek jera yang membuat masyarakat takut,” kata Shinta.
Helmi syarif/ r ratna purnama/ sindonews
(bbg)