DPR Dorong Revisi UU Penyiaran untuk Perkuat KPI
A
A
A
JAKARTA - DPR mendorong dilakukannya revisi Undang-undang Penyiaran guna memperkuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga yang dipercaya mengawasi penyiaran di Indonesia. Pasalnya, KPI selama ini kurang memiliki power sebagai satu-satunya lembaga pengawas penyiaran dan UU Penyiaran pun sudah mulai usang karena sudah 13 tahun tak direvisi.
"KPI sebagai yang ditugaskan negara mengawasi siaran-siaran lembaga penyiaran harus betul-betul memiliki power yang kuat sehingga sanksi atau palanggaran atas dilakukan pelanggaran bisa mendapatkan sanksi yang kuat," kata Anggota Komisi I DPR Ahmad Muzani kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin.
Muzani mengatakan, KPI perlu diperkuat kewenangannya dalam revisi UU Penyiaran ini, sehingga tidak seperti sekarang ini dimana, KPI tidak memiliki power yang mengakibatkan seakan lumpuh dari fungsinya sebagai lembaga pengawas penyiaran.
"Akibatnya, lembaga penyiaran tidak bisa diapa-apain ketika melakukan kesalahan-kesalahan," jelas Ketua Fraksi Partai Gerindra itu.
Selain itu, lanjut Muzani, UU Penyiaran ini adalah UU produk lama yakni dibuat pada tahun 2002 dan sekarang sudah tahun 2015. Sudah 13 tahun UU Penyiaran ini dijadikan sebagai landasan bagi penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Sementara itu, dunia penyiaran berjalan dan bergerak begitu cepat mengiringi kemajuan teknologi.
"Masih sangat banyak hal-hal yang belum dipayungi kegiatan-kegiatan penyiaran sehingga revisi UU Penyiaran menjadi sebuah kebutuhan dan keharusan yang mendesak," tegasnya.
Oleh karena itu, kata Muzani, Fraksi Gerindra mendorong adanya perubahan UU Penyiaran ini sebagai sebuah prioritas bagi kinerja DPR dalam persidangan tahun ini. Karena, beberapa kegiatan penyiaran yang sekarang ini yang perlu mendapatkan perhatian seperti misalnya tentang digitalisasi.
Menurutnya, apakah digitalisasi itu sebagai sesuatu yang perlu atau tidak, itu semua harus dipikirkan. Jangan sampai semangat UU Penyiaran nantinya tidak bisa dilaksanakan tapi dipaksakan.
"Misalnya, tentang diharuskannya televisi swasta nasional untuk membangun jaringan sampai ke daerah-daerah dan ternyata tidak bisa jalan karena suatu dan lain hal," terangnya.
Sehingga, Muzani menambahkan, pihaknya ingin agar proses digitalisasi ini dihitung betul, apakah ini merupakan sesuatu yang rasional atau tidak. Sebab sampai sekarang, pemerintah sudah mengeluarkan izin 103 Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) bagi televisi swasta digital di seluruh Indonesia.
Namun, faktanya 103 pemegang IPP belum bisa menyelenggarakan siaran karena stasiun mog belum melakukan kegiatan apapun.
"Ini harus dipikirkan supaya hal-hal seperti ini tidak terjadi, supaya ada kepastian dan alasan hukum yang kuat bagi para pemangku kepentingan sehingga menimbulkan kepastian dalam bidang investasi penyiaran dan calon investor bisa memandang sebagai suatu kesempatan dalam penyiaran," tandasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR Elnino Mohi mengatakan, Revisi UU Penyiaran dan UU RTRI menjadi prioritas prolegnas tahun 2015 di Komisi I DPR. Sehingga, sudah sepatutnya RUU Penyiaran disegerakan revisinya. Saat ini Komisi I masih sedang mengkaji draf rancangan dari DPR periode sebelumnya.
Menurutnya, dalam hal ini tentunya kewenangan KPI harus lebih besar karena KPI merupakan bentuk representasi masyarakat di bidang penyiaran. Dan pengawas dari keberagaman konten dan visi dari media-media yang ada.
"UU ini harus pro berkembangnya media elektronik di daerah. Dan lebih pro digitalisasi," jelas Elnino.
Menurut Elnino, selama ini belum ada ketentuannya mengenai pemuatan konten lokal di televisi daerah, dimana kreatifitas anak daerah yang mestinya ditonjolkan. Untuk TVRI dan RRI yang lebih kuat baik dari segi pendanaan serta pro terhadap masyarakat di stasiun daerah masing-masing harus bisa lebih menonjol fungsinya.
"Jangan TVRI dan RRI jadi sekadar corong politisi lokal saja," pungkasnya.
"KPI sebagai yang ditugaskan negara mengawasi siaran-siaran lembaga penyiaran harus betul-betul memiliki power yang kuat sehingga sanksi atau palanggaran atas dilakukan pelanggaran bisa mendapatkan sanksi yang kuat," kata Anggota Komisi I DPR Ahmad Muzani kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin.
Muzani mengatakan, KPI perlu diperkuat kewenangannya dalam revisi UU Penyiaran ini, sehingga tidak seperti sekarang ini dimana, KPI tidak memiliki power yang mengakibatkan seakan lumpuh dari fungsinya sebagai lembaga pengawas penyiaran.
"Akibatnya, lembaga penyiaran tidak bisa diapa-apain ketika melakukan kesalahan-kesalahan," jelas Ketua Fraksi Partai Gerindra itu.
Selain itu, lanjut Muzani, UU Penyiaran ini adalah UU produk lama yakni dibuat pada tahun 2002 dan sekarang sudah tahun 2015. Sudah 13 tahun UU Penyiaran ini dijadikan sebagai landasan bagi penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Sementara itu, dunia penyiaran berjalan dan bergerak begitu cepat mengiringi kemajuan teknologi.
"Masih sangat banyak hal-hal yang belum dipayungi kegiatan-kegiatan penyiaran sehingga revisi UU Penyiaran menjadi sebuah kebutuhan dan keharusan yang mendesak," tegasnya.
Oleh karena itu, kata Muzani, Fraksi Gerindra mendorong adanya perubahan UU Penyiaran ini sebagai sebuah prioritas bagi kinerja DPR dalam persidangan tahun ini. Karena, beberapa kegiatan penyiaran yang sekarang ini yang perlu mendapatkan perhatian seperti misalnya tentang digitalisasi.
Menurutnya, apakah digitalisasi itu sebagai sesuatu yang perlu atau tidak, itu semua harus dipikirkan. Jangan sampai semangat UU Penyiaran nantinya tidak bisa dilaksanakan tapi dipaksakan.
"Misalnya, tentang diharuskannya televisi swasta nasional untuk membangun jaringan sampai ke daerah-daerah dan ternyata tidak bisa jalan karena suatu dan lain hal," terangnya.
Sehingga, Muzani menambahkan, pihaknya ingin agar proses digitalisasi ini dihitung betul, apakah ini merupakan sesuatu yang rasional atau tidak. Sebab sampai sekarang, pemerintah sudah mengeluarkan izin 103 Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) bagi televisi swasta digital di seluruh Indonesia.
Namun, faktanya 103 pemegang IPP belum bisa menyelenggarakan siaran karena stasiun mog belum melakukan kegiatan apapun.
"Ini harus dipikirkan supaya hal-hal seperti ini tidak terjadi, supaya ada kepastian dan alasan hukum yang kuat bagi para pemangku kepentingan sehingga menimbulkan kepastian dalam bidang investasi penyiaran dan calon investor bisa memandang sebagai suatu kesempatan dalam penyiaran," tandasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR Elnino Mohi mengatakan, Revisi UU Penyiaran dan UU RTRI menjadi prioritas prolegnas tahun 2015 di Komisi I DPR. Sehingga, sudah sepatutnya RUU Penyiaran disegerakan revisinya. Saat ini Komisi I masih sedang mengkaji draf rancangan dari DPR periode sebelumnya.
Menurutnya, dalam hal ini tentunya kewenangan KPI harus lebih besar karena KPI merupakan bentuk representasi masyarakat di bidang penyiaran. Dan pengawas dari keberagaman konten dan visi dari media-media yang ada.
"UU ini harus pro berkembangnya media elektronik di daerah. Dan lebih pro digitalisasi," jelas Elnino.
Menurut Elnino, selama ini belum ada ketentuannya mengenai pemuatan konten lokal di televisi daerah, dimana kreatifitas anak daerah yang mestinya ditonjolkan. Untuk TVRI dan RRI yang lebih kuat baik dari segi pendanaan serta pro terhadap masyarakat di stasiun daerah masing-masing harus bisa lebih menonjol fungsinya.
"Jangan TVRI dan RRI jadi sekadar corong politisi lokal saja," pungkasnya.
(kri)