Terdakwa Penyuap Fuad Amin Divonis Dua Tahun Penjara
A
A
A
JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan hukuman dua tahun penjara dan denda Rp100 juta subsidair dua bulan kurungan terhadap Direktur HRD PT Media Karya Sentosa (MKS) Antonius Bambang Djatmiko.
Amar putusan dibacakan secara bergantian oleh Majelis Hakim yang terdiri atas ketua Prim Hariyadi dan anggota Casmaya, Much Muhlis, Anwar, dan Ugo di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (20/4/2015).
Majelis meyakini, Antonius Bambang Djatmiko terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi berupa pemberian suap secara bersama-sama dan belanjut kepada Fuad Amin Imron saat menjabat menjabat Bupati Bangkalan masa jabatan 2003-2008 dan masa jabatan 2008-2013 dan Ketua DPRD Bangkalan, Jawa Timur.
Majelis menemukan suap yang diberikan Antonius kepada Fuad bukan total sebesar Rp18,05 miliar tapi Rp15,05 miliar.
"Memutuskan menjatuhkan pidana oleh karenanya kepada terdakwa Antonius Bambang Djatmiko dengan pidana penjara selama dua tahuan. Dan, denda Rp100 juta subsidair dua bulan kurungan," kata Ketua Majelis Hakim Prim Hariyadi.
Majelis memastikan suap diberikan kepada Fuad untuk memuluskan dan mengarahkan tercapainya Perjanjian Konsorsium dan Perjanjian Kerja sama antara PT MKS dan PD Sumber Daya (BUMD Bangkalan), dan memberikan dukungan untuk PT MKS kepada Kodeco Energy Co Ltd terkait permintaan penyaluran gas alam ke Gili Timur.
Perbuatan ini bertentangan dengan kewajiban Fuad Amin selaku penyelenggara negara. Perbuatan pidana Antonius dilakukan bersama-sama Presiden Direktur PT MKS Sardjono, Managing Director PT MKS Sunaryo Suhadi, Direktur Teknik PT MKS Achmad Harijanto, dan General Manajer Unit Pengolahan PT MKS Pribadi Wardojo. Perbuatan pidana tersebut dilakukan secara berlanjut dari kurun 2006 hingga Desember 2014.
"Sehingga PT MKS memperoleh alokasi gas alam Blok Poleng dari PT Pertamina EP yang dioperasikan oleh Kodeco Energi Co Ltd," papar Prim.
Dalam menyusun amar, majelis mempertimbangkan ihwal memberatkan dan meringankan. Yang memberatkan, perbuatan Antonius tidak menudukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Adapun pertimbangan yang meringakan bagi Antonius yakni berlaku sopan selama menjalani persidangan dan mengakui serta menyesali perbuatannya.
Antonius terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. "Sebagaimana dalam dakwaan primer," tegas Prim.
Antonius sebelumnya dituntut dengan pidana penjara selama tiga tahun dan denda Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan. JPU menilai Antonius memberikan suap Rp18,05 miliar.
Usai pembacaan amar, hakim memberikan kesempatan kepada Antoniusdan JPU untuk menyatakan banding atau menerima putusan itu. "Saya menerima," ujar Antonius.
Pernyataan tersebut disambung penasehat hukum Antonius, Luhut Pangaribuan. "Kalau untuk pidana yang sudah terbukti salahnya, lebih baik tidak usah diajukan banding," kata Luhut.
Sementara JPU KPK akan menggunakan waktunya selama tujuh hari untuk menentukan apakah akan mengajukan banding atau tidak. "Kami pikir-pikir," ujar jaksa Amir Nurdianto.
Amar putusan dibacakan secara bergantian oleh Majelis Hakim yang terdiri atas ketua Prim Hariyadi dan anggota Casmaya, Much Muhlis, Anwar, dan Ugo di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (20/4/2015).
Majelis meyakini, Antonius Bambang Djatmiko terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi berupa pemberian suap secara bersama-sama dan belanjut kepada Fuad Amin Imron saat menjabat menjabat Bupati Bangkalan masa jabatan 2003-2008 dan masa jabatan 2008-2013 dan Ketua DPRD Bangkalan, Jawa Timur.
Majelis menemukan suap yang diberikan Antonius kepada Fuad bukan total sebesar Rp18,05 miliar tapi Rp15,05 miliar.
"Memutuskan menjatuhkan pidana oleh karenanya kepada terdakwa Antonius Bambang Djatmiko dengan pidana penjara selama dua tahuan. Dan, denda Rp100 juta subsidair dua bulan kurungan," kata Ketua Majelis Hakim Prim Hariyadi.
Majelis memastikan suap diberikan kepada Fuad untuk memuluskan dan mengarahkan tercapainya Perjanjian Konsorsium dan Perjanjian Kerja sama antara PT MKS dan PD Sumber Daya (BUMD Bangkalan), dan memberikan dukungan untuk PT MKS kepada Kodeco Energy Co Ltd terkait permintaan penyaluran gas alam ke Gili Timur.
Perbuatan ini bertentangan dengan kewajiban Fuad Amin selaku penyelenggara negara. Perbuatan pidana Antonius dilakukan bersama-sama Presiden Direktur PT MKS Sardjono, Managing Director PT MKS Sunaryo Suhadi, Direktur Teknik PT MKS Achmad Harijanto, dan General Manajer Unit Pengolahan PT MKS Pribadi Wardojo. Perbuatan pidana tersebut dilakukan secara berlanjut dari kurun 2006 hingga Desember 2014.
"Sehingga PT MKS memperoleh alokasi gas alam Blok Poleng dari PT Pertamina EP yang dioperasikan oleh Kodeco Energi Co Ltd," papar Prim.
Dalam menyusun amar, majelis mempertimbangkan ihwal memberatkan dan meringankan. Yang memberatkan, perbuatan Antonius tidak menudukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Adapun pertimbangan yang meringakan bagi Antonius yakni berlaku sopan selama menjalani persidangan dan mengakui serta menyesali perbuatannya.
Antonius terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. "Sebagaimana dalam dakwaan primer," tegas Prim.
Antonius sebelumnya dituntut dengan pidana penjara selama tiga tahun dan denda Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan. JPU menilai Antonius memberikan suap Rp18,05 miliar.
Usai pembacaan amar, hakim memberikan kesempatan kepada Antoniusdan JPU untuk menyatakan banding atau menerima putusan itu. "Saya menerima," ujar Antonius.
Pernyataan tersebut disambung penasehat hukum Antonius, Luhut Pangaribuan. "Kalau untuk pidana yang sudah terbukti salahnya, lebih baik tidak usah diajukan banding," kata Luhut.
Sementara JPU KPK akan menggunakan waktunya selama tujuh hari untuk menentukan apakah akan mengajukan banding atau tidak. "Kami pikir-pikir," ujar jaksa Amir Nurdianto.
(dam)