Politik dan Kesejahteraan Rakyat
A
A
A
Ringga Arif Widiharto
Mahasiswa Jurusan Sosiologi. Universitas Gadjah Mada
Sejatinya negara ini didirikan untuk melindungi segenap bangsadan memajukan kesejahteraan bersama.
Negara bukan hanya untuk kepentingan kelompok dan golongan tertentu, melainkan untuk semua rakyat Indonesia yang berhak untuk memperoleh kese jahte raan. Belakangan ini merebak kisruh politik di kalangan elite yang belum kunjung juga padam. Tentu saja konflik di tataran elite akan berdampak pada akar rumput.
Dalam kasus RAPBD Jakarta yang belum kunjung disahkan, setelah mengalami kebuntuan pembahasan antara eksekutif dan legislatif, pembangunan daerah juga menjadi terhambat. Bukankah dalam Pemilu 2014, rakyat telah menitipkan amanah kepada para caleg yang saat ini menjadi anggota Dewan untuk memperjuangkan nasibnya. Apalagi sistem e-budgeting yang digagas pihak eksekutif sebagai wujud transparansi anggaran untuk menghilangkan praktik percaloan dan kongkalikong anggaran.
Sebelumnya sistem semacam ini telah diterapkan di Kota Surabaya yang dipimpin Wali Kota Tri Rismaharini. Partai politik juga banyak yang dilanda konflik, bukan hanya Golkar, PPP juga terjadi perpecahan internal. Kubu yang saling bersebarangan saat ini mengajukan gugatan ke pengadilan, bahkan publik disuguhi konflik yang begitu gamblang. Jika elite politik hanya mengedepankan ego dan k e p e n t i n g a n masing-masing, lantas siapa yang akan memperhatikan nasib rakyat banyak?
Bukankah parpol sebagai pilar demokrasi yang menjadi jembatan penghubung antara negara dan rakyat? Jangan hanya ketika pemilu memberikan banyak janji, dan ketika parpol berhasil memperoleh suara rakyat lantas melupakannya begitu saja. Sudah barang tentu, ini berakibat pada kualitas penyelenggaraan negara. Fakta memang mengungkapkan banyak elite politik dan birokrat pemerintahan yang tersangkut kasus korupsi. APBN dan APBD menjadi bahan bancakan dengan modal kekuasaan.
Sesungguhnya mereka harus prihatin, target penerimaan negara maupun daerah saja belum sepenuhnya dapat terealisasi, masih banyak rakyat yang dilanda kemiskinan, dan negara yang masih terseok-seok menghadapi gempuran global, namun justru dengan tega hati malah dikorupsi secara besar-besaran. Ironi memang, belakangan ada wacana pemerintah yang akan merevisi peraturan pemerintah tentang remisi, dan memberikan remisi bagi para koruptor.
Di aras bawah, kebijakan pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan belum kunjung tercapai. Petani masih kesulitan mendapatkan pupuk, alat pertanian, serta jaringan irigasi banyak yang rusak. Tatkala panen, harga gabah dan beras dari petani bahkan masih rendah. Negara mengabaikannya pula saat petani mengalami gagal panen.
Begitu pula dengan nasib nelayan, yang masih menggunakan alat tangkap sederhana. Mereka kalah dengan pengusaha besar ataupun kapal-kapal asing yang mencuri kekayaan sumber daya laut. Padahal, ada tiga persoalan utama dalam sektor kelautan dan perikanan yakni sumber daya manusia, penegakan hukum, dan manajemen (Widjaja, 2011). Kaum buruh juga masih ditindas oleh penguasa industri.
Mereka membayar tenaga kerja buruh dengan harga murah. Keberpihakan politik sungguh sangat diperlukan, mengingat dengan kebijakan politik yang prorakyat dapat menciptakan kesejahteraan bagi semua. Bukan dengan konflik politik yang berkepanjangan.
Mahasiswa Jurusan Sosiologi. Universitas Gadjah Mada
Sejatinya negara ini didirikan untuk melindungi segenap bangsadan memajukan kesejahteraan bersama.
Negara bukan hanya untuk kepentingan kelompok dan golongan tertentu, melainkan untuk semua rakyat Indonesia yang berhak untuk memperoleh kese jahte raan. Belakangan ini merebak kisruh politik di kalangan elite yang belum kunjung juga padam. Tentu saja konflik di tataran elite akan berdampak pada akar rumput.
Dalam kasus RAPBD Jakarta yang belum kunjung disahkan, setelah mengalami kebuntuan pembahasan antara eksekutif dan legislatif, pembangunan daerah juga menjadi terhambat. Bukankah dalam Pemilu 2014, rakyat telah menitipkan amanah kepada para caleg yang saat ini menjadi anggota Dewan untuk memperjuangkan nasibnya. Apalagi sistem e-budgeting yang digagas pihak eksekutif sebagai wujud transparansi anggaran untuk menghilangkan praktik percaloan dan kongkalikong anggaran.
Sebelumnya sistem semacam ini telah diterapkan di Kota Surabaya yang dipimpin Wali Kota Tri Rismaharini. Partai politik juga banyak yang dilanda konflik, bukan hanya Golkar, PPP juga terjadi perpecahan internal. Kubu yang saling bersebarangan saat ini mengajukan gugatan ke pengadilan, bahkan publik disuguhi konflik yang begitu gamblang. Jika elite politik hanya mengedepankan ego dan k e p e n t i n g a n masing-masing, lantas siapa yang akan memperhatikan nasib rakyat banyak?
Bukankah parpol sebagai pilar demokrasi yang menjadi jembatan penghubung antara negara dan rakyat? Jangan hanya ketika pemilu memberikan banyak janji, dan ketika parpol berhasil memperoleh suara rakyat lantas melupakannya begitu saja. Sudah barang tentu, ini berakibat pada kualitas penyelenggaraan negara. Fakta memang mengungkapkan banyak elite politik dan birokrat pemerintahan yang tersangkut kasus korupsi. APBN dan APBD menjadi bahan bancakan dengan modal kekuasaan.
Sesungguhnya mereka harus prihatin, target penerimaan negara maupun daerah saja belum sepenuhnya dapat terealisasi, masih banyak rakyat yang dilanda kemiskinan, dan negara yang masih terseok-seok menghadapi gempuran global, namun justru dengan tega hati malah dikorupsi secara besar-besaran. Ironi memang, belakangan ada wacana pemerintah yang akan merevisi peraturan pemerintah tentang remisi, dan memberikan remisi bagi para koruptor.
Di aras bawah, kebijakan pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan belum kunjung tercapai. Petani masih kesulitan mendapatkan pupuk, alat pertanian, serta jaringan irigasi banyak yang rusak. Tatkala panen, harga gabah dan beras dari petani bahkan masih rendah. Negara mengabaikannya pula saat petani mengalami gagal panen.
Begitu pula dengan nasib nelayan, yang masih menggunakan alat tangkap sederhana. Mereka kalah dengan pengusaha besar ataupun kapal-kapal asing yang mencuri kekayaan sumber daya laut. Padahal, ada tiga persoalan utama dalam sektor kelautan dan perikanan yakni sumber daya manusia, penegakan hukum, dan manajemen (Widjaja, 2011). Kaum buruh juga masih ditindas oleh penguasa industri.
Mereka membayar tenaga kerja buruh dengan harga murah. Keberpihakan politik sungguh sangat diperlukan, mengingat dengan kebijakan politik yang prorakyat dapat menciptakan kesejahteraan bagi semua. Bukan dengan konflik politik yang berkepanjangan.
(ars)