Iuran Jaminan Pensiun Ditetapkan 8%
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah menetapkan iuran jaminan pensiun sebesar 8%. Iuran ini akan mulai berlaku Juli, bersamaan dengan beroperasinya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri mengatakan, pemberi kerja membayar iuran 5% dan pekerja hanya 3%. Menurut dia, persentase ini sudah dibahas dan ditetapkan pemerintah, pengusaha, dan pekerja melalui Tripartit Nasional dan berlaku mulai Juli.
”Kami sepakat dengan besaran iuran jaminan pensiun sebesar 8% dan sepakat dilaksanakan Juli nanti,” katanya seusai rapat koordinasi tentang Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun, di Kantor Kemenaker kemarin.
Politikus PKB ini menjelaskan, rancangan PP-nya sendiri sudah tahap finalisasi dan harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Menurut dia, sebelum Juli, RPP tersebut akan disahkan Kemenkumham dan diimplementasikan. RPP ini telah melewati pembahasan panjang yang melibatkan unsur pemerintah, pengusaha, dan pekerja.
Hadir dalam rakor adalah Sekjen Kemenaker Abdul Wahab Bangkona, Dirjen PHI dan Jamsos Kemenaker R Irianto Simbolon, Plt Dirjen PPK Kemenaker Muji Handaya, Direktur Harmonisasi Ditjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Nasrudin, Ketua DJSN Chazali H Situmorang, dan Dirut BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G Masassya.
Hanif mengatakan, pembahasan bukan hanya di Tripartit Nasional, melainkan juga antarkementerian/lembaga terkait, yaitu Kemenaker, Kemenkumham, Kemenkeu, DJSN, OJK, dan BPSJ Ketenagakerjaan.
Dalam substansi akhir RPP itu dijelaskan, peserta program jaminan pensiun adalah pekerja yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara negara. Sementara bagi pekerja yang bekerja pada pemberi kerja penyelenggara negara akan diintegrasikan ke BPJS Ketenagakerjaan selambat- lambatnya tahun 2029.
”Berdasarkan RPP jaminan pensiun tersebut, masa iuran minimal untuk mendapatkan manfaat program jaminan pensiun SJSN adalah 15 tahun dan ditetapkan pertama kali usia pekerja 56 tahun, ” tuturnya.
Dalam RRP dijelaskan pula manfaat program jaminan pensiun adalah berupa sejumlah uang tunai yang diterima setiap bulan oleh peserta yang telah memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Manfaat program jaminan pensiun SJSN berupa pensiun hari tua, pensiun cacat, pensiun janda atau duda, pensiun anak, dan pensiun orang tua.
Hanif mengingatkan, perusahaan wajib mengikutsertakan karyawannya dalam BPJS Ketenagakerjaan karena ada amanah undang-undang. ”Dengan diterbitkannya UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, menjadi penegas bahwa seluruh masyarakat termasuk tenaga kerja berhak atas jaminan sosial,” tegas Hanif.
Hanif menjelaskan, keikutsertaan dalam program BPJS Ketenagakerjaan akan menjamin para pekerja dari risiko kerja. Maka diharapkan terjadi peningkatan produktivitas kerja yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan bagi negara.
Menurut dia, saat ini Indonesia dihadapkan dalam situasi di mana perlindungan atas risiko sosial melalui berbagai perusahaan asuransi komersial, baru menjangkau sebagian kecil masyarakat, sementara sebagian besar rakyat masih belum memperoleh perlindungan jaminan sosial yang memadai.
Diketahui, saat ini jumlah penduduk yang mendapatkan perlindungan melalui jaminan sosial, yang merupakan peserta Jamsostek, PNS dan TNI/Polri sebanyak 17.540.545 orang. Sementara itu, angkatan kerja tahun 2013 mencapai sekitar 122,5 juta orang, yang seluruhnya harus mendapat perlindungan jaminan sosial (universal coverage ).
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar berpendapat, memang banyak pekerja yang masih menolak besaran iuran 8% tersebut karena manfaat yang didapat setelah 15 tahun bekerja hanya 24% dari upah rata-rata terakhir. Sementara pengusaha juga keberatan karena dinilai iuran yang ditanggung pemberi kerja terlalu tinggi.
Namun, dia meminta besaran yang ditetapkan 8% itu diterima saja dulu oleh pihak masing-masing, karena besarannya dapat dievaluasi kembali setelah dua tahun. Timboel menjelaskan, Menaker memang sudah mengimbau seluruh pekerja untuk masuk menjadi peserta BPJS.
Namun demikian, imbauan saja tidak cukup. Menurut dia, belajar dari program Jamsostek yang diamanatkan UU No 3/1992 ternyata PT Jamsostek dan Kementerian Tenaga Kerja gagal untuk menjadikan seluruh pekerja Indonesia menjadi peserta waktu itu. Kegagalan ini disebabkan Kemenaker dan direksi Jamsostek saat itu hanya mampu mengimbau dan mengajak.
Kegagalan ini seharusnya bisa dihindari bila saja penegakan hukum digalakkan, UU No 3 tentang Jamsostek mengatur soal pidana dan denda.
Neneng zubaidah
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri mengatakan, pemberi kerja membayar iuran 5% dan pekerja hanya 3%. Menurut dia, persentase ini sudah dibahas dan ditetapkan pemerintah, pengusaha, dan pekerja melalui Tripartit Nasional dan berlaku mulai Juli.
”Kami sepakat dengan besaran iuran jaminan pensiun sebesar 8% dan sepakat dilaksanakan Juli nanti,” katanya seusai rapat koordinasi tentang Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun, di Kantor Kemenaker kemarin.
Politikus PKB ini menjelaskan, rancangan PP-nya sendiri sudah tahap finalisasi dan harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Menurut dia, sebelum Juli, RPP tersebut akan disahkan Kemenkumham dan diimplementasikan. RPP ini telah melewati pembahasan panjang yang melibatkan unsur pemerintah, pengusaha, dan pekerja.
Hadir dalam rakor adalah Sekjen Kemenaker Abdul Wahab Bangkona, Dirjen PHI dan Jamsos Kemenaker R Irianto Simbolon, Plt Dirjen PPK Kemenaker Muji Handaya, Direktur Harmonisasi Ditjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Nasrudin, Ketua DJSN Chazali H Situmorang, dan Dirut BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G Masassya.
Hanif mengatakan, pembahasan bukan hanya di Tripartit Nasional, melainkan juga antarkementerian/lembaga terkait, yaitu Kemenaker, Kemenkumham, Kemenkeu, DJSN, OJK, dan BPSJ Ketenagakerjaan.
Dalam substansi akhir RPP itu dijelaskan, peserta program jaminan pensiun adalah pekerja yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara negara. Sementara bagi pekerja yang bekerja pada pemberi kerja penyelenggara negara akan diintegrasikan ke BPJS Ketenagakerjaan selambat- lambatnya tahun 2029.
”Berdasarkan RPP jaminan pensiun tersebut, masa iuran minimal untuk mendapatkan manfaat program jaminan pensiun SJSN adalah 15 tahun dan ditetapkan pertama kali usia pekerja 56 tahun, ” tuturnya.
Dalam RRP dijelaskan pula manfaat program jaminan pensiun adalah berupa sejumlah uang tunai yang diterima setiap bulan oleh peserta yang telah memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Manfaat program jaminan pensiun SJSN berupa pensiun hari tua, pensiun cacat, pensiun janda atau duda, pensiun anak, dan pensiun orang tua.
Hanif mengingatkan, perusahaan wajib mengikutsertakan karyawannya dalam BPJS Ketenagakerjaan karena ada amanah undang-undang. ”Dengan diterbitkannya UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, menjadi penegas bahwa seluruh masyarakat termasuk tenaga kerja berhak atas jaminan sosial,” tegas Hanif.
Hanif menjelaskan, keikutsertaan dalam program BPJS Ketenagakerjaan akan menjamin para pekerja dari risiko kerja. Maka diharapkan terjadi peningkatan produktivitas kerja yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan bagi negara.
Menurut dia, saat ini Indonesia dihadapkan dalam situasi di mana perlindungan atas risiko sosial melalui berbagai perusahaan asuransi komersial, baru menjangkau sebagian kecil masyarakat, sementara sebagian besar rakyat masih belum memperoleh perlindungan jaminan sosial yang memadai.
Diketahui, saat ini jumlah penduduk yang mendapatkan perlindungan melalui jaminan sosial, yang merupakan peserta Jamsostek, PNS dan TNI/Polri sebanyak 17.540.545 orang. Sementara itu, angkatan kerja tahun 2013 mencapai sekitar 122,5 juta orang, yang seluruhnya harus mendapat perlindungan jaminan sosial (universal coverage ).
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar berpendapat, memang banyak pekerja yang masih menolak besaran iuran 8% tersebut karena manfaat yang didapat setelah 15 tahun bekerja hanya 24% dari upah rata-rata terakhir. Sementara pengusaha juga keberatan karena dinilai iuran yang ditanggung pemberi kerja terlalu tinggi.
Namun, dia meminta besaran yang ditetapkan 8% itu diterima saja dulu oleh pihak masing-masing, karena besarannya dapat dievaluasi kembali setelah dua tahun. Timboel menjelaskan, Menaker memang sudah mengimbau seluruh pekerja untuk masuk menjadi peserta BPJS.
Namun demikian, imbauan saja tidak cukup. Menurut dia, belajar dari program Jamsostek yang diamanatkan UU No 3/1992 ternyata PT Jamsostek dan Kementerian Tenaga Kerja gagal untuk menjadikan seluruh pekerja Indonesia menjadi peserta waktu itu. Kegagalan ini disebabkan Kemenaker dan direksi Jamsostek saat itu hanya mampu mengimbau dan mengajak.
Kegagalan ini seharusnya bisa dihindari bila saja penegakan hukum digalakkan, UU No 3 tentang Jamsostek mengatur soal pidana dan denda.
Neneng zubaidah
(ftr)