Bukan Singa yang Mengembik

Minggu, 05 April 2015 - 10:04 WIB
Bukan Singa yang Mengembik
Bukan Singa yang Mengembik
A A A
Sebagaimana tagline Renald Kasali, sebagai pen-diri rumah perubahan. Maka dalam buku terbarunya berjudul Agility ini penulis meneruskan pembahasannya tentang sikapsikap seorang pembaharu yang elegan.

Kalau dalam buku sebelumnya berjudul Self Driving (2014) Renald banyak membahas tentang bagaimana seseorang yang bermental sebagai passanger-passanger atau driverdriver ditentukan oleh sejauh mana ia berani melangkah dan mengambil risiko. Di mana, perbedaan seorang yang bermental passanger dengan yang bermental driver yang paling mengena adalah seorang passanger boleh tertidur sepanjang perjalanan, sementara seorang driver, jangankan tertidur, mengantuk saja tidak boleh.

Maka dalam bukuini, agility adalahsebuahkapabilitas yang dibangun secara terus-menerus agar suatu organisasi mampu merespons perubahan dengan tangkas, efektif, tepat waktu, dan berkelanjutan. Agility menjadi penting karena ia bukan sekadar software IT yang mudah dibeli, melainkan karena di dalamnya terkandung unsur manusia dengan mentalitas pemenang.

Agility masih terkoneksi dengan buku Renald sebelumnya, yakni Myelin (2010), yang berarti memori-memori otot yang gesit dan kuat (halaman 6). Dalam pembukaannya, Renald mengutip ungkapan bahwa seratus kambing yang dipimpin oleh seekor singa akan jauh lebih berbahaya ketimbang seratus singa yang dipimpin seekor kambing. Ungkapan ini berarti sangat urgen di abad ini, ketika Indonesia tengah berada pada kawasan perubahan yang disebut sebagai the edge of chaos.

Tak ayal, menjadi pemenang di abad keterbukaan ini diperlukan mental baja dan gerak tangkas, cepat, dan cermat. Karakter singa yang fokus dan gesit dalam menentukan tujuan saat memangsa, adalah tipikal seorang pemimpin bermental agility . Maka, tak heran kalau ada sejumlah pemimpin yang dijuluki singa (halaman 9). Karakteristik tulisan Renald di samping renyah, juga diolah dari studi kasus, sehingga memudahkan pembaca memahami gagasan yang dilontarkan.

Renald mencontohkan di, antara pemimpin berkarakter singa ini adalah Sheik Zayed, penerus Emir Abu Dhabi, dan Sheik Rashid, penerus takhta Dubai. Pada 18 Februari 1968 mereka sepakat membentuk negara federasi yang kita kenal sekarang bernama Uni Emirat Arab (UEA) dengan menunjuk Sheik Zayed sebagai presidennya. Langkah awal ini lantas diikuti empat emir lainnya yang berasal dari Sharjah, Ajman, Fujariah, dan Umm Al-Qawain.

Sejak itu, masing-masing terbuka, saling bantu, dan membuka jalan, untuk bersamasama menyiapkan masa depan baru bagi negaranya. Mereka juga sepakat menunjuk Sheik Rashid sebagai perdana menteri. Ada alasan geopolitik yang mendasari para emir itu membuat imperium, mereka tahu bahwa kerajaan mulai kehilangan marwah dan pengaruh. Kalau mereka sebagai pemimpin tidak cerdas, otomatiskerajaanmereka tinggal sebagai simbol sejarah (halaman 11).

Dalam roda pembangunan UEA, para emir berpikir simpel, mereka konsisten mengedepankan ekonomi ketimbang politik. Dengan alasan, untuk berpolitik secara beradab, masyarakatnya harus sejahtera terlebih dahulu. Alhasil, seperempat abad, setelah kesepakatan para emir, kita lihat, UEA menjadi salah satu negara paling sejahtera di kawasan Timur Tengah.

Ketika kawasan itu diterjang gelombang Arab Spring, UEA tetap tenang karena rakyatnya sejahtera, sehingga menghasilkan karya monumentalsepertiBurj Khalifa dan kini sedang menyelesaikan Mall of The World yang luasnya mencapai 4,4 juta meter persegi. Maskapai penerbangan Emirate Airlines dinobatkan sebagai The WorldThe Worlds Best Airlines.

Dengan kata lain, UEA berhasil mentransformasikan bisnis negaranya yang semula mengandalkan minyak dan gas menjadi lebih mengedepankan bisnis jasa. Mereka adalah contoh nyata, dari sekumpulan kambing jinak, kinimenjelmasekumpulankambing gesit yang dipimpin singa yang kuat (halaman 15). Ciri lain dari tulisan Renald adalah aura positif dan optimisme yang ditebarkan di mana saja.

Sejatinya Indonesia punya modal kepemimpinan agility yang banyak, Renald mengambil contoh dari Angkasa Pura (AP) II. Contoh nyata, tatkala bencana gempa bumi dan tsunami yang menerjang Aceh 26 Desember 2004, AP II dengan sisa karyawan belasan orang, mereka bahu-membahu menghidupkan kembali Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM). Tak ayal, dibutuhkan operational agility yang tangguh untuk menjadikan bandara SIM menjadi satu-satunya pintu masuk bantuan saat seluruh provinsi porak-poranda.

Bagaimana bisa mereka dalam keadaan duka mendalam, mampu melayani penerbangan yang jumlahnya mencapai ratusan per hari, termasuk menangani urusan bongkar muat logistik bantuan untuk korban tsunami. Padahal, dalam kondisi normal dengan kru lengkap, setiap hari bandara SIM hanya melayani tak sampai delapan penerbangan per hari (halaman 21). Artinya, di tengah kondisi krisis dan bencana seperti itu, DNA myelin dan agility karyawan AP II, betul-betul diuji dan nyatanya bisa bekerja sangat gesit, baik, dan spartan.

Selanjutnya, Renald juga memformulasikan konsep agility dalam tiga kategori. Pertama, strategic agility , di mana setiap organisasi dituntut memilih pilihan yang tepat. Apakah terus bertahan dalam game lama yang sama dari tahun ke tahun, atau mengambil langkah berani berubah haluan. Kedua, portofolio agility, yakni ketangkasan dalam menggeser resource (apakah talent, cash, peralatan, dan perhatian manajemen) dari unit-unit yang kurang produktif kepada salah satu unit-unit yang lebih menarik di kemudian hari.

Dan ketiga , operational agility , yakni ketangkasan yang dihadapi sehari-hari dalam merespons setiap kejadian operasional, baik itu yang terjadi secara tiba-tiba maupun rutin dalam jangka waktu tertentu (halaman 24). Bagi saya buku ini sangat meng-gugah dan inspiratif. Buku ini juga menampilkan lebih banyak lagi studi kasus yang diangkat dari kisah-kisah nyata dari mereka yang memiliki DNA agility yang kuat di sekitar kita. Selamat membaca.

Muhammad Bagus Irawan
Alumnus UIN Walisongo
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1151 seconds (0.1#10.140)