MA Didesak Percepat Proses Hukum Terpidana Mati
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) didesak mempercepat proses hukum yang tengah diajukan sejumlah terpidana mati.
Percepatan itu diperlukan agar Kejaksaan Agung (Kejagung) bisa segera melaksanakan eksekusi mati 10 terpidana yang sudah ditolak grasinya oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkir mengatakan, hakim MA atau PTUN harus cepat mengambil keputusan supaya eksekusi bisa cepat dilaksanakan. “Tidak apa-apa mereka mengajukan PK (peninjauan kembali), tetapi hakim harus cepat, ini layak diperiksa atau tidak,” tandas Mudzakkir kepada KORAN SINDO kemarin.
Mudzakkir mengatakan, jika terpidana hanya ingin mengulur- ulur waktu eksekusi, sedangkan materinya tidak layak diperiksa dalam PK, hakim bisa langsung menolaknya. Jangan sampai upaya hukum itu hanya untuk mengulur-ulur waktu saja dan membuat ketidakpastian. “Pengadilan harus merespons. Kalau memang tidak signifikan untuk diperiksa, ya ditolak saja,” ujarnya.
Meski demikian, Mudzakkir dapat memaklumi upaya hukum yang diajukan terpidana mati yang hanya untuk mengulur- ulur waktu saja. Menurut dia, sah-sah saja mencari celah-celah supaya terhindar dari pidana mati. “Kita harus menghargai juga hak mereka sejauh hak yang digunakan itu diatur oleh hukum,” tandasnya.
Namun Mudzakkir sepakat dengan langkah Kejagung yang akan melaksanakan eksekusi mati secara serentak. Sebab, menurutnya, biaya eksekusi sangat besar karena harus melibatkan aparat penegak hukum, termasuk TNI jika terpidana matinya adalah warga negara asing.
“Kemudian mengerahkan kapal-kapal perang untuk melindungi eksekusi, apalagi gembong narkoba yang jaringannya sangat luas di dunia internasional. Saya kira tidak menjadi masalah karena biayanya lebih efektif, lebih hemat kalau berbarengan. Kalau satusatu, biayanya terlalu besar,” paparnya.
Adapun pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Achyar Salmi menilai eksekusi tidak harus dilaksanakan secara berbarengan. Sebab tidak ada undang-undang atau peraturan yang mengatakan itu. “Kalau ada yang mengajukan PK, biarkan saja. Nanti saja, nah yang tidak PK itu saja dulu. Lagian tidak ada undangundang yang mengatur,” ungkapnya.
Achyar justru menyayangkan tidak adanya aturan hukum yang jelas mengenai aturan pengajuan PK, terutama bagi terpidana yang sudah mengajukan grasi ke presiden. “Seharusnya ada peraturan terpidana yang sudah mengajukan grasi tidak boleh lagi PK, seyogianya menurut saya itu diatur,” tandasnya.
Dia pun sepakat jika negara tetap harus menghargai upaya hukum yang diajukan terpidana. Hanya saja, diterima atau tidaknya tetap menjadi kewenangan pengadilan untuk menentukan. “Namanya memohonkan boleh saja, cuma diterima atau tidak?” ujarnya.
Diketahui, Kejagung sudah memindahkan sejumlah terpidana mati ke sel isolasi khusus di Lapas Nusakambangan, Jawa Tengah. Jaksa Agung HM Prasetyo sebelumnya menandaskan bahwa pihaknya tetap akan melaksanakan eksekusi mati para terpidana mati tersebut.
Namun hingga kini pelaksanaannya masih tertunda akibat beberapa orang terpidana mati mengajukan upaya hukum lanjutan, yakni PK dan gugatan ke PTUN.
Hasyim ashari
Percepatan itu diperlukan agar Kejaksaan Agung (Kejagung) bisa segera melaksanakan eksekusi mati 10 terpidana yang sudah ditolak grasinya oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkir mengatakan, hakim MA atau PTUN harus cepat mengambil keputusan supaya eksekusi bisa cepat dilaksanakan. “Tidak apa-apa mereka mengajukan PK (peninjauan kembali), tetapi hakim harus cepat, ini layak diperiksa atau tidak,” tandas Mudzakkir kepada KORAN SINDO kemarin.
Mudzakkir mengatakan, jika terpidana hanya ingin mengulur- ulur waktu eksekusi, sedangkan materinya tidak layak diperiksa dalam PK, hakim bisa langsung menolaknya. Jangan sampai upaya hukum itu hanya untuk mengulur-ulur waktu saja dan membuat ketidakpastian. “Pengadilan harus merespons. Kalau memang tidak signifikan untuk diperiksa, ya ditolak saja,” ujarnya.
Meski demikian, Mudzakkir dapat memaklumi upaya hukum yang diajukan terpidana mati yang hanya untuk mengulur- ulur waktu saja. Menurut dia, sah-sah saja mencari celah-celah supaya terhindar dari pidana mati. “Kita harus menghargai juga hak mereka sejauh hak yang digunakan itu diatur oleh hukum,” tandasnya.
Namun Mudzakkir sepakat dengan langkah Kejagung yang akan melaksanakan eksekusi mati secara serentak. Sebab, menurutnya, biaya eksekusi sangat besar karena harus melibatkan aparat penegak hukum, termasuk TNI jika terpidana matinya adalah warga negara asing.
“Kemudian mengerahkan kapal-kapal perang untuk melindungi eksekusi, apalagi gembong narkoba yang jaringannya sangat luas di dunia internasional. Saya kira tidak menjadi masalah karena biayanya lebih efektif, lebih hemat kalau berbarengan. Kalau satusatu, biayanya terlalu besar,” paparnya.
Adapun pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Achyar Salmi menilai eksekusi tidak harus dilaksanakan secara berbarengan. Sebab tidak ada undang-undang atau peraturan yang mengatakan itu. “Kalau ada yang mengajukan PK, biarkan saja. Nanti saja, nah yang tidak PK itu saja dulu. Lagian tidak ada undangundang yang mengatur,” ungkapnya.
Achyar justru menyayangkan tidak adanya aturan hukum yang jelas mengenai aturan pengajuan PK, terutama bagi terpidana yang sudah mengajukan grasi ke presiden. “Seharusnya ada peraturan terpidana yang sudah mengajukan grasi tidak boleh lagi PK, seyogianya menurut saya itu diatur,” tandasnya.
Dia pun sepakat jika negara tetap harus menghargai upaya hukum yang diajukan terpidana. Hanya saja, diterima atau tidaknya tetap menjadi kewenangan pengadilan untuk menentukan. “Namanya memohonkan boleh saja, cuma diterima atau tidak?” ujarnya.
Diketahui, Kejagung sudah memindahkan sejumlah terpidana mati ke sel isolasi khusus di Lapas Nusakambangan, Jawa Tengah. Jaksa Agung HM Prasetyo sebelumnya menandaskan bahwa pihaknya tetap akan melaksanakan eksekusi mati para terpidana mati tersebut.
Namun hingga kini pelaksanaannya masih tertunda akibat beberapa orang terpidana mati mengajukan upaya hukum lanjutan, yakni PK dan gugatan ke PTUN.
Hasyim ashari
(ftr)