Mengubah Pola Hidup dari Bantaran Kali ke Rusun
A
A
A
Penertiban hunian ilegal di bantaran sungai maupun waduk masif dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Tujuannya mengembalikan fungsi sungai sebagai saluran makro dan waduk sebagai penampungan air.
Warga yang tinggal di lokasi terlarang bagi hunian ini pun direlokasi ke sejumlah rumah susun (rusun). Data Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah DKI Jakarta menyebutkan, setidaknya sudah ada 5.000 warga bantaran kali yang direlokasi ke 135 blok rusun.
Dengan perpindahan tempat tinggal ini, mau tidak mau “memaksa” warga yang direlokasi mengubah cara hidup sebelumnya. Jika sebelumnya hunian warga bersentuhan dengan tanah, saat ini mereka tinggal di ketinggian. Berbagai kendala menjadi masalah, namun seiring waktu, mayoritas penghuni rusun bisa menyesuaikan diri.
Chotib Lubis, 47, seorang penghuni Rusun Komarudin, Cakung, Jakarta Timur mengatakan, sebelumnya dia tinggal di bantaran Kali Ciliwung. Chotib mengaku awalnya perlu adaptasi. Jika sebelumnya ketika masuk rumah, tinggal membuka pintu, saat ini harus naik tangga terlebih dahulu karena dia mendapatkan unit rusun di lantai tiga.
Selain perubahan tersebut, tetangga yang ada di sekitarnya juga berbeda. Meskipun ada juga penghuni rusun yang sebelumnya tinggal di bantaran kali, namun secara umum penghuni Rusun Komarudin lebih beragam. “Satu bulan pertama memang perlu adaptasi, namun setelahnya menjadi biasa,” ujarnya pekan lalu.
Baidanur, penghuni lain Rusun Komarudin, malah harus lebih keras lagi menyesuaikan diri. Dia dulunya tinggal di bantaran kali kawasan Pela Mampang. Sebelum pindah ke Rusun Komarudin, dia berjualan di kawasan Kemang. Namun setelah direlokasi, dia sempat frustrasi karena dengan pindah ke rusun otomatis harus menutup usahanya. Namun dia tidak menyerah.
Dia harus lebih awal mempersiapkan semua jualannya. Bahan makanan di masak di rumah dan dibawa dengan sepeda motor. Yang menjadi masalah memang jarak. Jika dia bolak balik Jakarta Timur-Jakarta Selatan, waktu akan habis di jalan. Suami Baidanur pun memodifikasi sepeda motornya agar bisa menampung lebih banyak barang.
Baidanur berharap pemerintah ikut memperhatikan kondisi sosial warga yang direlokasi. Sebab tidak semua warga yang direlokasi adalah pegawai, ada juga yang pedagang seperti dia. Jika harus terus menerus seperti itu, tentu menjadi beban. “Untuk sementara ya saya lakoni saja, memang keadaannya demikian. Ke depan saya berharap pemerintah jangan asal merelokasi, tapi juga mencarikan solusi, khususnya bagi warga yang berdagang seperti saya,” harapnya.
Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah DKI Jakarta Ika Lestari Aji mengatakan, saat ini pihaknya mengelola 135 blok rusunawa. Ke-135 blok tersebut menampung 13.500 kepala keluarga, 5.000 di antaranya warga yang direlokasi dari bantaran kali.
Tahun ini pihaknya akan kembali membangun 2.443 unit rusun untuk warga yang direlokasi dari bantaran kali dan sejenisnya. Pemprov DKI Jakarta pun menggandeng swasta untuk sharing pengetahuan dalam pengelolaan rusun. Hal ini dilakukan Pemprov karena SDM untuk pengelolaan rusun masih kurang.
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna mengatakan, yang harus diperhatikan Pemprov DKI Jakarta adalah bagaimana merangsang penghuni rusun untuk mengikuti dan mengubah pola hidupnya. Jika tidak diarahkan, akan menjadi kendala. Yayat menyadari, rusun merupakan solusi yang tepat untuk Ibu Kota yang lahannya kian sempit.
Hunian vertikal merupakan jawaban bagi kebutuhan perumahan. Pengadaan rusun bagi masyarakat berpenghasilan rendah memang sangat penting, tetapi pengelolaan dan perawatan jauh lebih penting. Warga yang tinggal harus bisa merasakan kenyamanan dan keamanan.
Dengan demikian, akan lahir kesadaran antarpenghuni untuk saling menjaga. “Intinya, ketika akan merelokasi, harus juga dipikirkan efek sosial dan ekonomi dari warga tersebut,” katanya.
Ridwansyah Jakarta
Warga yang tinggal di lokasi terlarang bagi hunian ini pun direlokasi ke sejumlah rumah susun (rusun). Data Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah DKI Jakarta menyebutkan, setidaknya sudah ada 5.000 warga bantaran kali yang direlokasi ke 135 blok rusun.
Dengan perpindahan tempat tinggal ini, mau tidak mau “memaksa” warga yang direlokasi mengubah cara hidup sebelumnya. Jika sebelumnya hunian warga bersentuhan dengan tanah, saat ini mereka tinggal di ketinggian. Berbagai kendala menjadi masalah, namun seiring waktu, mayoritas penghuni rusun bisa menyesuaikan diri.
Chotib Lubis, 47, seorang penghuni Rusun Komarudin, Cakung, Jakarta Timur mengatakan, sebelumnya dia tinggal di bantaran Kali Ciliwung. Chotib mengaku awalnya perlu adaptasi. Jika sebelumnya ketika masuk rumah, tinggal membuka pintu, saat ini harus naik tangga terlebih dahulu karena dia mendapatkan unit rusun di lantai tiga.
Selain perubahan tersebut, tetangga yang ada di sekitarnya juga berbeda. Meskipun ada juga penghuni rusun yang sebelumnya tinggal di bantaran kali, namun secara umum penghuni Rusun Komarudin lebih beragam. “Satu bulan pertama memang perlu adaptasi, namun setelahnya menjadi biasa,” ujarnya pekan lalu.
Baidanur, penghuni lain Rusun Komarudin, malah harus lebih keras lagi menyesuaikan diri. Dia dulunya tinggal di bantaran kali kawasan Pela Mampang. Sebelum pindah ke Rusun Komarudin, dia berjualan di kawasan Kemang. Namun setelah direlokasi, dia sempat frustrasi karena dengan pindah ke rusun otomatis harus menutup usahanya. Namun dia tidak menyerah.
Dia harus lebih awal mempersiapkan semua jualannya. Bahan makanan di masak di rumah dan dibawa dengan sepeda motor. Yang menjadi masalah memang jarak. Jika dia bolak balik Jakarta Timur-Jakarta Selatan, waktu akan habis di jalan. Suami Baidanur pun memodifikasi sepeda motornya agar bisa menampung lebih banyak barang.
Baidanur berharap pemerintah ikut memperhatikan kondisi sosial warga yang direlokasi. Sebab tidak semua warga yang direlokasi adalah pegawai, ada juga yang pedagang seperti dia. Jika harus terus menerus seperti itu, tentu menjadi beban. “Untuk sementara ya saya lakoni saja, memang keadaannya demikian. Ke depan saya berharap pemerintah jangan asal merelokasi, tapi juga mencarikan solusi, khususnya bagi warga yang berdagang seperti saya,” harapnya.
Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah DKI Jakarta Ika Lestari Aji mengatakan, saat ini pihaknya mengelola 135 blok rusunawa. Ke-135 blok tersebut menampung 13.500 kepala keluarga, 5.000 di antaranya warga yang direlokasi dari bantaran kali.
Tahun ini pihaknya akan kembali membangun 2.443 unit rusun untuk warga yang direlokasi dari bantaran kali dan sejenisnya. Pemprov DKI Jakarta pun menggandeng swasta untuk sharing pengetahuan dalam pengelolaan rusun. Hal ini dilakukan Pemprov karena SDM untuk pengelolaan rusun masih kurang.
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna mengatakan, yang harus diperhatikan Pemprov DKI Jakarta adalah bagaimana merangsang penghuni rusun untuk mengikuti dan mengubah pola hidupnya. Jika tidak diarahkan, akan menjadi kendala. Yayat menyadari, rusun merupakan solusi yang tepat untuk Ibu Kota yang lahannya kian sempit.
Hunian vertikal merupakan jawaban bagi kebutuhan perumahan. Pengadaan rusun bagi masyarakat berpenghasilan rendah memang sangat penting, tetapi pengelolaan dan perawatan jauh lebih penting. Warga yang tinggal harus bisa merasakan kenyamanan dan keamanan.
Dengan demikian, akan lahir kesadaran antarpenghuni untuk saling menjaga. “Intinya, ketika akan merelokasi, harus juga dipikirkan efek sosial dan ekonomi dari warga tersebut,” katanya.
Ridwansyah Jakarta
(ftr)