Keterlibatan Tentara Anak dalam Perang Yaman
A
A
A
Kelompok pemberontak Syiah Houthi memaksimalkan seluruh sumber daya manusia (SDM) yang ada di Sana’a, Yaman, untuk turut berperan melawan pemerintah.
Tak terkecuali anak-anak. Di banyak pos penjagaan, tentara remaja berusia antara 14-16 tahun terlihat mondar-mandir menjaga pos mereka sambil menenteng senjata laras panjang dan pistol. Semua tentara muda itu direkrut dari berbagai wilayah di Yaman. Mereka diiming- imingi uang, makna perang yang bisa mereka cerna, dan tentunya dicekoki ideologi komunitas.
Seorang aktivis Yaman menyebutkan, mereka dibayar USD2 (sekitar Rp26.000) per hari dan diberi makanan sebagai bentuk balas jasa. ”Anda bisa menemukan mereka di setiap pos pemeriksaan di Sana’a, dekat parlemen, dan dekat gedung kabinet. Kami tidak pernah melihat lelaki remaja sebelum Januari ketika Houthi mengambil istana kepresidenan,” ujar Nasim al- Moulki, Koordinator Inisiatif Perlindungan Anak, lembaga yang hampir berafiliasi dengan pemerintah, seperti dilansir Al Jazeera .
Perekrutan anak-anak menjadi tentara oleh kelompok bersenjata bukan kabar baru. Pada beberapakasus, merekabahkan pernah direkrut langsung untuk pertahanan negara. Pada 2011, anak-anak direkrut Tentara Nasional Yaman dan pejuang propemerintah saat mereka ingin melawan Houthi di wilayah utara selama era Presiden Ali Abdullah Saleh.
”Perekrutan anak-anak muda tumbuh sejak awal perang di Saada, Yaman, pada 2004. Anakanak mulai didaftarkan oleh Tentara Nasional dan kelompok bersenjata. Pada 2011, perekrutan ini semakin jelas dilakukan semua pihak, khususnya oleh pihak militer,” kata Omklthom Mohammed Alshami, aktivis HAM anak Yaman.
Namun organisasi HAM atau kemanusiaan di Yaman kesulitan memastikan jumlah anak yang terlibat militer. Sebab, selain rendahnya akses, tingkat keamanan juga tidak terjamin. Mereka bisa saja tertembak atau ditembak mengingat anak-anak tersebut masih warga lokal. Jadi, sampai saat ini, mereka kesulitan mencari atau memverifikasi data.
”Jumlah tentara Houthi yang mendekati realistis adalah sekitar 20.000 sampai 30.000 orang. Sebanyak 30-40% di antaranya masih berusia di bawah 18 tahun dan 15-25% di bawah 16 tahun. Itu masih gambaran kasar,” tutur analis Hisham al-Omeisy.
Anak berusia di bawah 10 tahun juga pernah dilaporkan direkrut Houthi. Pada tahun lalu, Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) menyatakan lebih dari 100 anak masuk ke dalam daftar dan terlibat militer. Beberapa bahkan masih berusia enam tahun. Hampir separuh dari jumlah tentara muda itu diajak bergabung di masjid dan pasar oleh para Salafi untuk berjuang melawan kelompok pemberontak Houthi.
”Anda melihat anak-anak membawa senjata ketika Anda mengendarai mobil di sekitar negara bagian atau di Kota Sana’a. Mereka terlihat sangat muda. Hal itu tidak dapat dibenarkan. Anak-anak seharusnya pergi ke sekolah,” kata Julien Harneis, perwakilan Badan PBB untuk Anak (UNICEF) Yaman.
Dewan Keamanan (DK) PBB juga pernah melaporkan keterlibatan anak-anak dalam dunia militer, terutama dalam konflik di Yaman pada 2013. Laporan DK PBB mengatakan beberapa anak muda direkrut Ansar al-Sharia untuk dijadikan budak seks. Mereka juga disuntik obat bius dan dipaksa berperang. Namun semua itu tidak dapat diverifikasi.
Kenyataannya, faktor utama yang mendorong anak-anak mengikuti dunia militer ialah kemiskinan dan prospek masa depan. Tugas yang mereka pikul juga bukan harus berjuang di garis depan. Meski demikian, tugas mereka tetap ada yang berbahaya. Faktanya, mereka sering dijadikan mata-mata karena penyamaran mereka sulit diterka. Yaman merupakan negara termiskin di Timur Tengah.
Sebanyak 45% dari jumlah populasi penduduk Yaman kelaparan setiap hari. Selain ekonomi lemah, pendidikan di Yaman juga kurang perhatian. Pada 2014, PBB berupaya untuk melepaskan anak-anak dari tugas militer dengan melakukan dialog terbuka.
Leila Zerrougui, perwakilan khusus PBB untuk anak-anak dan konflik bersenjata, mengatakan jumlah anak yang terlibat militer di Yaman meningkat dari 2013. ”Sepanjang 2014, PBB terus terlibat. Namun Houthi tidak memberikan umpan balik. Saya meminta mereka untuk melindungi anak-anak dari dampak konflik apa pun,” ujarnya.
Namun aktivis politik yang pro- Houthi mengatakan, anak-anak merupakan bagian dari komite populer yang dibentuk warga lokal. Keluarga, sesuai dengan tradisi orang Yaman, mengirimkan anak mereka dengan sukarela. Dia membantah membayar anak-anak dan menegaskan hanya tentara terlatih yang diterjunkan ke medan perang.
”Lembaga internasional itu menceritakan kebohongan. Itu merupakan bagian dari propaganda Amerika. Sebagian besar lembaga berasal dari Barat dan didukung negara Teluk. Mereka berkata sesuai dengan kepentingan. Kami mempertimbangkan anak laki-laki yang berusia 15-16 tahun sebagai orang dewasa (baligh ),” kata Bukhaiti.
Muh shamil
Tak terkecuali anak-anak. Di banyak pos penjagaan, tentara remaja berusia antara 14-16 tahun terlihat mondar-mandir menjaga pos mereka sambil menenteng senjata laras panjang dan pistol. Semua tentara muda itu direkrut dari berbagai wilayah di Yaman. Mereka diiming- imingi uang, makna perang yang bisa mereka cerna, dan tentunya dicekoki ideologi komunitas.
Seorang aktivis Yaman menyebutkan, mereka dibayar USD2 (sekitar Rp26.000) per hari dan diberi makanan sebagai bentuk balas jasa. ”Anda bisa menemukan mereka di setiap pos pemeriksaan di Sana’a, dekat parlemen, dan dekat gedung kabinet. Kami tidak pernah melihat lelaki remaja sebelum Januari ketika Houthi mengambil istana kepresidenan,” ujar Nasim al- Moulki, Koordinator Inisiatif Perlindungan Anak, lembaga yang hampir berafiliasi dengan pemerintah, seperti dilansir Al Jazeera .
Perekrutan anak-anak menjadi tentara oleh kelompok bersenjata bukan kabar baru. Pada beberapakasus, merekabahkan pernah direkrut langsung untuk pertahanan negara. Pada 2011, anak-anak direkrut Tentara Nasional Yaman dan pejuang propemerintah saat mereka ingin melawan Houthi di wilayah utara selama era Presiden Ali Abdullah Saleh.
”Perekrutan anak-anak muda tumbuh sejak awal perang di Saada, Yaman, pada 2004. Anakanak mulai didaftarkan oleh Tentara Nasional dan kelompok bersenjata. Pada 2011, perekrutan ini semakin jelas dilakukan semua pihak, khususnya oleh pihak militer,” kata Omklthom Mohammed Alshami, aktivis HAM anak Yaman.
Namun organisasi HAM atau kemanusiaan di Yaman kesulitan memastikan jumlah anak yang terlibat militer. Sebab, selain rendahnya akses, tingkat keamanan juga tidak terjamin. Mereka bisa saja tertembak atau ditembak mengingat anak-anak tersebut masih warga lokal. Jadi, sampai saat ini, mereka kesulitan mencari atau memverifikasi data.
”Jumlah tentara Houthi yang mendekati realistis adalah sekitar 20.000 sampai 30.000 orang. Sebanyak 30-40% di antaranya masih berusia di bawah 18 tahun dan 15-25% di bawah 16 tahun. Itu masih gambaran kasar,” tutur analis Hisham al-Omeisy.
Anak berusia di bawah 10 tahun juga pernah dilaporkan direkrut Houthi. Pada tahun lalu, Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) menyatakan lebih dari 100 anak masuk ke dalam daftar dan terlibat militer. Beberapa bahkan masih berusia enam tahun. Hampir separuh dari jumlah tentara muda itu diajak bergabung di masjid dan pasar oleh para Salafi untuk berjuang melawan kelompok pemberontak Houthi.
”Anda melihat anak-anak membawa senjata ketika Anda mengendarai mobil di sekitar negara bagian atau di Kota Sana’a. Mereka terlihat sangat muda. Hal itu tidak dapat dibenarkan. Anak-anak seharusnya pergi ke sekolah,” kata Julien Harneis, perwakilan Badan PBB untuk Anak (UNICEF) Yaman.
Dewan Keamanan (DK) PBB juga pernah melaporkan keterlibatan anak-anak dalam dunia militer, terutama dalam konflik di Yaman pada 2013. Laporan DK PBB mengatakan beberapa anak muda direkrut Ansar al-Sharia untuk dijadikan budak seks. Mereka juga disuntik obat bius dan dipaksa berperang. Namun semua itu tidak dapat diverifikasi.
Kenyataannya, faktor utama yang mendorong anak-anak mengikuti dunia militer ialah kemiskinan dan prospek masa depan. Tugas yang mereka pikul juga bukan harus berjuang di garis depan. Meski demikian, tugas mereka tetap ada yang berbahaya. Faktanya, mereka sering dijadikan mata-mata karena penyamaran mereka sulit diterka. Yaman merupakan negara termiskin di Timur Tengah.
Sebanyak 45% dari jumlah populasi penduduk Yaman kelaparan setiap hari. Selain ekonomi lemah, pendidikan di Yaman juga kurang perhatian. Pada 2014, PBB berupaya untuk melepaskan anak-anak dari tugas militer dengan melakukan dialog terbuka.
Leila Zerrougui, perwakilan khusus PBB untuk anak-anak dan konflik bersenjata, mengatakan jumlah anak yang terlibat militer di Yaman meningkat dari 2013. ”Sepanjang 2014, PBB terus terlibat. Namun Houthi tidak memberikan umpan balik. Saya meminta mereka untuk melindungi anak-anak dari dampak konflik apa pun,” ujarnya.
Namun aktivis politik yang pro- Houthi mengatakan, anak-anak merupakan bagian dari komite populer yang dibentuk warga lokal. Keluarga, sesuai dengan tradisi orang Yaman, mengirimkan anak mereka dengan sukarela. Dia membantah membayar anak-anak dan menegaskan hanya tentara terlatih yang diterjunkan ke medan perang.
”Lembaga internasional itu menceritakan kebohongan. Itu merupakan bagian dari propaganda Amerika. Sebagian besar lembaga berasal dari Barat dan didukung negara Teluk. Mereka berkata sesuai dengan kepentingan. Kami mempertimbangkan anak laki-laki yang berusia 15-16 tahun sebagai orang dewasa (baligh ),” kata Bukhaiti.
Muh shamil
(ftr)