Transaksi Dimonitor Real Time
A
A
A
Total ada 11 TPE atau parking meter di sepanjang Jalan Sabang, Jakarta. Setiap alat memiliki jangkauan terhadap 20 mobil dan sepeda motor di sekitarnya.
Mesin-mesin ini bermerek Caledari Swedia. CEO PT Mata Biru M Wahyu B Ramadhan mengungkapkan, operasional TPE tidak bergantung suplai listrik karena menggunakan solar sel. Baterai di setiap parking meter mampu menyimpan energi dari tenaga surya. ”Tanpa sinar matahari, mesin berbobot 100 kilogram ini masih bisa menyala hingga lima hari lantaran konsumsi energinya cukup irit,” jelas Wahyu.
Wahyu menambahkan, TPE memiliki SIM card sebagai media agar back officedapat memantau setiap transaksi secara real time. Sejatinya, alat ini beroperasi 24 jam sehari. Namun, operator hanya menempatkan petugas atau juru parkir mulai pukul 06.00 WIB hingga pukul 01.00 WIB yang terbagi dalam dua shift. ”Kami tidak memungut retribusi pada dini hari karena kendaraan yang parkir relatif sedikit,” terang Wahyu.
Untuk memantau kinerja petugas dan mengantisipasi gangguan keamanan, operator memasang beberapa kamera pengintai alias CCTV di sepanjang Jalan Sabang. Hadirnya mesin parkir elektronik, lanjut dia, merupakan ”angin segar” dalam pengelolaan parkir on streetdi Indonesia. ”Kita coba mematahkan stigma keangkeran dalam pengelolaan parkir yang katanya sarat persaingan, rimba kekerasan, dan premanisme. Kita hadirkan teknologi, modernitas, efisiensi, efektivitas,” katanya.
Wahyu mengaku, dengan berbagai kelebihan mesin ini, dia berani menggelontorkan dana investasi Rp200 juta untuk per unitnya. Pada 2013, dia gotong mesin tersebut ke ruang kerja Ahok yang saat itu masih menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarta kemudian melakukan presentasi dan demo.
Dalam perjalanannya, Pemprov DKI pun memutuskan menggandeng PT Mata Biru sebagai operator sekaligus investor. Sistem kerjasamanya adalah bagi hasil, 70% untuk operator dan 30% untuk Pemprov DKI. Setoran ke kas Pemprov masih jauh lebih tinggi dibanding sebelum penggunaan parking meter. Sekarang, nilai transaksi parkir di Jalan Sabang pukul 06.00-01.00 WIB mencapai Rp9-10 juta.
Setoran yang diterima Unit Pengelola Perparkiran DKI Jakarta kini rata-rata Rp90 juta per bulan sedangkan dulu rata-rata hanya Rp15 juta atau Rp500.000 per hari. Minimnya pemasukan kas daerah dari pelayanan parkir di Jalan Sabang sebelum era parking meter ditengarai karena petugas parkir harus menyetor sebagian penerimaannya kepada pihak-pihak tertentu yang memiliki ”kuasa di lapangan”.
Kepala UP Perparkiran Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Sunardi Sinaga, mengatakan, kehadiran parking meter sedikit banyak semakin meramahkan wajah pengelolaan parkir di Ibu Kota. Pengguna kendaraan pun teredukasi untuk sadar membayar parkir tanpa harus ditagih. Meningkatnya penerimaan dari retribusi parkir dapat berimplikasi langsung pada kemajuan pembangunan.
Sinaga mengungkapkan, pihaknya menunggu perusahaan lain yang berani berinvestasi dalam pengelolaan perparkiran on street untuk ruas jalan lain di DKI. Saat ini saja sedang berlangsung proses pemasangan 94 TPE di Jalan Boulevard Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dalam waktu dekat, TPE juga akan dipasang di Falatehan, Blok M, Jakarta Selatan. Menurut Abdi Helmi, seorang petugas parkir, dengan sistem sekarang, parkir di Jalan Sabang menjadi lebih teratur.
Tarif sesuai waktu penggunaan satuan ruang parkir (SRP). Dia mengaku setiap hari ada saja pengguna kendaraan yang meminta bantuannya untuk memandu menggunakan parking meter. ”Tapi ya tidak apaapa. Namanya saja sistem baru. Banyak orang belum tahu,” katanya.
Ilham safutra/ robi ardianto
Mesin-mesin ini bermerek Caledari Swedia. CEO PT Mata Biru M Wahyu B Ramadhan mengungkapkan, operasional TPE tidak bergantung suplai listrik karena menggunakan solar sel. Baterai di setiap parking meter mampu menyimpan energi dari tenaga surya. ”Tanpa sinar matahari, mesin berbobot 100 kilogram ini masih bisa menyala hingga lima hari lantaran konsumsi energinya cukup irit,” jelas Wahyu.
Wahyu menambahkan, TPE memiliki SIM card sebagai media agar back officedapat memantau setiap transaksi secara real time. Sejatinya, alat ini beroperasi 24 jam sehari. Namun, operator hanya menempatkan petugas atau juru parkir mulai pukul 06.00 WIB hingga pukul 01.00 WIB yang terbagi dalam dua shift. ”Kami tidak memungut retribusi pada dini hari karena kendaraan yang parkir relatif sedikit,” terang Wahyu.
Untuk memantau kinerja petugas dan mengantisipasi gangguan keamanan, operator memasang beberapa kamera pengintai alias CCTV di sepanjang Jalan Sabang. Hadirnya mesin parkir elektronik, lanjut dia, merupakan ”angin segar” dalam pengelolaan parkir on streetdi Indonesia. ”Kita coba mematahkan stigma keangkeran dalam pengelolaan parkir yang katanya sarat persaingan, rimba kekerasan, dan premanisme. Kita hadirkan teknologi, modernitas, efisiensi, efektivitas,” katanya.
Wahyu mengaku, dengan berbagai kelebihan mesin ini, dia berani menggelontorkan dana investasi Rp200 juta untuk per unitnya. Pada 2013, dia gotong mesin tersebut ke ruang kerja Ahok yang saat itu masih menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarta kemudian melakukan presentasi dan demo.
Dalam perjalanannya, Pemprov DKI pun memutuskan menggandeng PT Mata Biru sebagai operator sekaligus investor. Sistem kerjasamanya adalah bagi hasil, 70% untuk operator dan 30% untuk Pemprov DKI. Setoran ke kas Pemprov masih jauh lebih tinggi dibanding sebelum penggunaan parking meter. Sekarang, nilai transaksi parkir di Jalan Sabang pukul 06.00-01.00 WIB mencapai Rp9-10 juta.
Setoran yang diterima Unit Pengelola Perparkiran DKI Jakarta kini rata-rata Rp90 juta per bulan sedangkan dulu rata-rata hanya Rp15 juta atau Rp500.000 per hari. Minimnya pemasukan kas daerah dari pelayanan parkir di Jalan Sabang sebelum era parking meter ditengarai karena petugas parkir harus menyetor sebagian penerimaannya kepada pihak-pihak tertentu yang memiliki ”kuasa di lapangan”.
Kepala UP Perparkiran Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Sunardi Sinaga, mengatakan, kehadiran parking meter sedikit banyak semakin meramahkan wajah pengelolaan parkir di Ibu Kota. Pengguna kendaraan pun teredukasi untuk sadar membayar parkir tanpa harus ditagih. Meningkatnya penerimaan dari retribusi parkir dapat berimplikasi langsung pada kemajuan pembangunan.
Sinaga mengungkapkan, pihaknya menunggu perusahaan lain yang berani berinvestasi dalam pengelolaan perparkiran on street untuk ruas jalan lain di DKI. Saat ini saja sedang berlangsung proses pemasangan 94 TPE di Jalan Boulevard Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dalam waktu dekat, TPE juga akan dipasang di Falatehan, Blok M, Jakarta Selatan. Menurut Abdi Helmi, seorang petugas parkir, dengan sistem sekarang, parkir di Jalan Sabang menjadi lebih teratur.
Tarif sesuai waktu penggunaan satuan ruang parkir (SRP). Dia mengaku setiap hari ada saja pengguna kendaraan yang meminta bantuannya untuk memandu menggunakan parking meter. ”Tapi ya tidak apaapa. Namanya saja sistem baru. Banyak orang belum tahu,” katanya.
Ilham safutra/ robi ardianto
(ars)