KPK Telusuri Peran Pejabat Kemenhub
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri dugaan keterlibatan pejabat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dalam kasus dugaan pengadaan dan pelaksanaan proyek pembangunan tahap III Balai Diklat Pelayaran Sorong, Papua, milik Kemenhub Tahun Anggaran 2011.
Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha mengatakan, penyidik memeriksa mantan General Manajer Divisi Gedung PT Hutama Karya (persero) Budi Rachmat Kurniawan sebagai saksi dalam kasus tersebut untuk tersangka mantan Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa di Pusat Pengembangan SDM Perhubungan Laut Kemenhub Irawan.
Menurut Priharsa, meski berstatus tersangka, Budi Rachmat diduga memiliki informasi atas tindak pidana yang dilakukan Irman. ”Budi Rachmat Kurniawan hadir diperiksa sebagai saksi untuk tersangka I. Nanti penyidik mendalami apa yang disampaikan yang bersangkutan,” kata Priharsa kepada KORAN SINDO kemarin.
Dia melanjutkan, dalam kasus ini total sudah ada tiga tersangka. Selain Irman dan Budi, yakni pejabat pembuat komitmen (PPK) satuan kerja di Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Perhubungan Laut Kemenhub Sugiarto. Priharsa memastikan pengembangan terhadap kasus ini masih terus dilakukan.
Meski begitu, Priharsa belum mau berspekulasi siapa lagi pejabat Kemenhub yang bakal menjadi tersangka. Dia juga belum mau berspekulasi apakah Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen) Kemenhub Bobby R Mamahit turut terlibat atau tidak. ”Belum, belum informasi. Intinya kasus ini masih dikembangkan penyidikannya,” tandasnya.
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenhub Julius Adravida Barata belum memberikan tanggapan atas pemeriksaan terhadap Budi Rachmat Kurniawan untuk Irwan dan pengembangan penyidikan perkara ini. Status ponselnya sedang dalam keadaan sibuk. BlackBerry Messenger (BBM) yang dikirim KORAN SINDO hanya dibaca dan tidak berbalas sampai berita ini diturunkan.
Sebelumnya, KPK sudah memeriksa sejumlah saksi. Mereka di antaranya Direktur Utama PT Dwijaya Selaras Wendy Oktavian, Direktur Utama PT Potensi Karunia Gemilang Sumiadji, Direktur Utama PT Andilo Najogi Achmad Reza Ardiansyah, Kepala Proyek PT Hutama Karya Sorong Tahap III Hari Purwoto, karyawan sekaligus Satuan Pengawas Intern (SPI) PT Hutama Karya Narwatri Kurniasih, Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) Kemenhub Bobby R Mamahit, dan Direktur Utama PT Indoutama Metal Works Santoso.
KPK juga sudah mencegah tujuh pihak untuk enam bulan ke depan sejak 30 September 2014. Mereka yakni Bobby R Mahamit, Budi Rachmat Kurniawan, mantan Kepala Pusat Diklat Perhubungan Laut pada Badan Diklat Kemenhub sekaligus mantan Direktur Pelabuhan dan Pengerukan Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub Djoko Pramono, Kepala Pusat Pengembangan SDM (PPSDM) Kemenhub Indra Priatna, PNS Ditjen Perhubungan Laut Sugiarto, PNS Ditjen Perhubungan Laut Irawan, dan Etik Kusmartini (swasta).
Atas perbuatan mereka, Budi Rachmat Kurniawan, Irawan, dan Sugiarto disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke- (1) KUHP.
Konsekuensi dari penerapan pasal-pasal ini adalah para tersangka melakukan penyalahgunaan kewenangan secara melawan hukum untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau sebuah korporasi. Akibatnya negara mengalami kerugian untuk sementara sekitar Rp24,2 miliar.
Sabir laluhu
Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha mengatakan, penyidik memeriksa mantan General Manajer Divisi Gedung PT Hutama Karya (persero) Budi Rachmat Kurniawan sebagai saksi dalam kasus tersebut untuk tersangka mantan Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa di Pusat Pengembangan SDM Perhubungan Laut Kemenhub Irawan.
Menurut Priharsa, meski berstatus tersangka, Budi Rachmat diduga memiliki informasi atas tindak pidana yang dilakukan Irman. ”Budi Rachmat Kurniawan hadir diperiksa sebagai saksi untuk tersangka I. Nanti penyidik mendalami apa yang disampaikan yang bersangkutan,” kata Priharsa kepada KORAN SINDO kemarin.
Dia melanjutkan, dalam kasus ini total sudah ada tiga tersangka. Selain Irman dan Budi, yakni pejabat pembuat komitmen (PPK) satuan kerja di Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Perhubungan Laut Kemenhub Sugiarto. Priharsa memastikan pengembangan terhadap kasus ini masih terus dilakukan.
Meski begitu, Priharsa belum mau berspekulasi siapa lagi pejabat Kemenhub yang bakal menjadi tersangka. Dia juga belum mau berspekulasi apakah Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen) Kemenhub Bobby R Mamahit turut terlibat atau tidak. ”Belum, belum informasi. Intinya kasus ini masih dikembangkan penyidikannya,” tandasnya.
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenhub Julius Adravida Barata belum memberikan tanggapan atas pemeriksaan terhadap Budi Rachmat Kurniawan untuk Irwan dan pengembangan penyidikan perkara ini. Status ponselnya sedang dalam keadaan sibuk. BlackBerry Messenger (BBM) yang dikirim KORAN SINDO hanya dibaca dan tidak berbalas sampai berita ini diturunkan.
Sebelumnya, KPK sudah memeriksa sejumlah saksi. Mereka di antaranya Direktur Utama PT Dwijaya Selaras Wendy Oktavian, Direktur Utama PT Potensi Karunia Gemilang Sumiadji, Direktur Utama PT Andilo Najogi Achmad Reza Ardiansyah, Kepala Proyek PT Hutama Karya Sorong Tahap III Hari Purwoto, karyawan sekaligus Satuan Pengawas Intern (SPI) PT Hutama Karya Narwatri Kurniasih, Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) Kemenhub Bobby R Mamahit, dan Direktur Utama PT Indoutama Metal Works Santoso.
KPK juga sudah mencegah tujuh pihak untuk enam bulan ke depan sejak 30 September 2014. Mereka yakni Bobby R Mahamit, Budi Rachmat Kurniawan, mantan Kepala Pusat Diklat Perhubungan Laut pada Badan Diklat Kemenhub sekaligus mantan Direktur Pelabuhan dan Pengerukan Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub Djoko Pramono, Kepala Pusat Pengembangan SDM (PPSDM) Kemenhub Indra Priatna, PNS Ditjen Perhubungan Laut Sugiarto, PNS Ditjen Perhubungan Laut Irawan, dan Etik Kusmartini (swasta).
Atas perbuatan mereka, Budi Rachmat Kurniawan, Irawan, dan Sugiarto disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke- (1) KUHP.
Konsekuensi dari penerapan pasal-pasal ini adalah para tersangka melakukan penyalahgunaan kewenangan secara melawan hukum untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau sebuah korporasi. Akibatnya negara mengalami kerugian untuk sementara sekitar Rp24,2 miliar.
Sabir laluhu
(ftr)