Cegah Pemborosan dan Kerusakan
A
A
A
Persoalan lingkungan hidup ternyata semakin sering dibahas dan diungkapkan. Apalagi, sejumlah pihak merasa berkepentingan dengan lingkungan hidup, karena menyangkut kebutuhan primer.
Mungkin itulah sebabnya, sejak beberapa tahun terakhir hadir konsep green campus di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina Mohammad Abduhzen mengatakan, penerapan konsep green campus di Indonesia saat ini sangat perlu dan urgen.
Civitas akademika pun dapat mencegah pemborosan energi dan kerusakan lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungan kampus secara efektif dan efisien. ”Misalnya dalam pemanfaatan kertas, alat tulis menulis, penggunaan listrik, air, lahan, pengelolaan sampah dan lain-lain,” paparnya.
Selain itu, green campus dimaksudkan untuk menciptakan keindahan lingkungan sehingga kampus menjadi tempat yang nyaman. Efek lainnya adalah membangun kesadaran dan proses pembiasaan warga kampus untuk berperilaku ramah lingkungan. Kendati begitu, dia mengakui, saat ini sosialisasi pentingnya penerapan green campus belum terlalu marak.
Akibatnya, banyak kampus yang belum memahami substansi dan belum menganggap terlampau penting. Justru perguruan tinggi di Indonesia masih berkutat pada masalah primer seperti kuantitas dan kualitas akademik pada umumnya. Sedangkan, hal terkait dengan isu lingkungan dan isu global lainnya belum menarik perhatian secara luas.
Menurut dia, ada beberapa kendala yang menyebabkan belum banyak perguruan tinggi menerapkan konsep ramah lingkungan itu. Di antaranya adalah banyaknya bangunan dan lingkungan kampus yang belum atau tidak memadai.
Seperti sempitnya lahan dan bangunan yang kumuh, kurangnya tenaga yang menjalankan dan mengontrol seperti dosen serta keterbatasan anggaran. ”Juga belum tumbuhnya kesadaran dan rendahnya kemauan. Ini jadi kendala yang serius,” ungkapnya.
Sementara, dosen pascasarjana Institut Sains & Teknologi Nasional (ISTN) Arif Zulkifli Nasution menyebutkan, pada dasarnya penerapan program lingkungan seperti green campus bersifat sukarela (volunteer) dan merupakan program stimulus. ”Tidak ada unsur paksaan maupun regulasi dari pemerintah,” ujar dia.
Program tersebut, lanjut Arif, merupakan kesadaran dan kepedulian warga kampus dalam memelihara kelestarian lingkungan. Kampus sebagai tempat berkumpulnya para intelektual dan tempat dilahirkannya generasi penerus bangsa diharapkan dapat menjadi model atau contoh bagi institusi lain dalam pengelolaan lingkungan yang baik.
Namun dibalik semua itu, penerapannya terutama di wilayah perguruan tinggi cukup penting. Mengingat, posisi kampus sebagai salah satu leader dalam pengembangan konsep lingkungan yang baik dan dalam upaya mitigasi dan adaptasi pemanasan global. Itulah sebabnya, dia menegaskan, program ini urgen diterapkan karena tingkat perubahan iklim dan pemanasan global yang semakin tinggi.
Apalagi, Indonesia menempati peringkat enam penyumbang emisi karbon dunia. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sektor transportasi merupakan sumber pencemar udara dan gas rumah kaca yang terbesar di perkotaan.
Dia mengungkapkan, beberapa perguruan tinggi besar di Indonesia ratarata berada di perkotaan dan orang yang kuliah memiliki kendaraan pribadi. Itulah sebabnya, penerapan green campus diharapkan dapat mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan juga penggunaan alat elektronik yang membutuhkan listrik yang berasal dari sumber energi fosil.
Untuk menuju kampus hijau, diperlukan tiga hal yaitu green building, green place dan green behaviour. ”Bangunannya memenuhi standar hijau, hemat penggunaan energi, menggunakan sumber energi terbarukan, desain bangunan yang membuat sirkulasi udara baik sehingga sejuk dan dapat mengurangi penggunaan AC,” katanya.
Sedangkan green place, berarti kampus memiliki ruang terbuka hijau yang memadai. Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum menyatakan, luas ruang terbuka hijau (RTH) yang dibutuhkan untuk satu orang adalah 1,8 m2. Jadi, ruang terbuka hijau walaupun hanya sempit atau dalam bentuk tanaman dalam pot tetap harus ada di sekitar individu.
”Selain RTH, perguruan tinggi sebaiknya memiliki fasilitas yang memungkinkan civitas akademika mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, misalnya dengan menyediakan bis kota, sepeda, dan sebagainya,” ujar dia.
Sedangkan, green behaviour artinya warga kampus diberikan pengetahuan tentang pentingnya menjaga lingkungan, mengurangi penggunaan energi, dan mengolah sendiri sampah yang dihasilkan. Dengan menerapkan konsep green campus, maka perguruan tinggi akan menjadi asri, sekaligus memberi kenyamanan dan kesehatan bagi civitas akademika.
Gren campus juga dapat menjadi salah satu daya tarik calon mahasiswa untuk mendaftar di perguruan tinggi tersebut, memberikan kebanggaan bagi warga kampus, di samping menjadi salah satu paru-paru kota. ”Serta ikut berkontribusi mengurangi pemanasan global,” ucap dia.
Hermansah
Mungkin itulah sebabnya, sejak beberapa tahun terakhir hadir konsep green campus di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina Mohammad Abduhzen mengatakan, penerapan konsep green campus di Indonesia saat ini sangat perlu dan urgen.
Civitas akademika pun dapat mencegah pemborosan energi dan kerusakan lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungan kampus secara efektif dan efisien. ”Misalnya dalam pemanfaatan kertas, alat tulis menulis, penggunaan listrik, air, lahan, pengelolaan sampah dan lain-lain,” paparnya.
Selain itu, green campus dimaksudkan untuk menciptakan keindahan lingkungan sehingga kampus menjadi tempat yang nyaman. Efek lainnya adalah membangun kesadaran dan proses pembiasaan warga kampus untuk berperilaku ramah lingkungan. Kendati begitu, dia mengakui, saat ini sosialisasi pentingnya penerapan green campus belum terlalu marak.
Akibatnya, banyak kampus yang belum memahami substansi dan belum menganggap terlampau penting. Justru perguruan tinggi di Indonesia masih berkutat pada masalah primer seperti kuantitas dan kualitas akademik pada umumnya. Sedangkan, hal terkait dengan isu lingkungan dan isu global lainnya belum menarik perhatian secara luas.
Menurut dia, ada beberapa kendala yang menyebabkan belum banyak perguruan tinggi menerapkan konsep ramah lingkungan itu. Di antaranya adalah banyaknya bangunan dan lingkungan kampus yang belum atau tidak memadai.
Seperti sempitnya lahan dan bangunan yang kumuh, kurangnya tenaga yang menjalankan dan mengontrol seperti dosen serta keterbatasan anggaran. ”Juga belum tumbuhnya kesadaran dan rendahnya kemauan. Ini jadi kendala yang serius,” ungkapnya.
Sementara, dosen pascasarjana Institut Sains & Teknologi Nasional (ISTN) Arif Zulkifli Nasution menyebutkan, pada dasarnya penerapan program lingkungan seperti green campus bersifat sukarela (volunteer) dan merupakan program stimulus. ”Tidak ada unsur paksaan maupun regulasi dari pemerintah,” ujar dia.
Program tersebut, lanjut Arif, merupakan kesadaran dan kepedulian warga kampus dalam memelihara kelestarian lingkungan. Kampus sebagai tempat berkumpulnya para intelektual dan tempat dilahirkannya generasi penerus bangsa diharapkan dapat menjadi model atau contoh bagi institusi lain dalam pengelolaan lingkungan yang baik.
Namun dibalik semua itu, penerapannya terutama di wilayah perguruan tinggi cukup penting. Mengingat, posisi kampus sebagai salah satu leader dalam pengembangan konsep lingkungan yang baik dan dalam upaya mitigasi dan adaptasi pemanasan global. Itulah sebabnya, dia menegaskan, program ini urgen diterapkan karena tingkat perubahan iklim dan pemanasan global yang semakin tinggi.
Apalagi, Indonesia menempati peringkat enam penyumbang emisi karbon dunia. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sektor transportasi merupakan sumber pencemar udara dan gas rumah kaca yang terbesar di perkotaan.
Dia mengungkapkan, beberapa perguruan tinggi besar di Indonesia ratarata berada di perkotaan dan orang yang kuliah memiliki kendaraan pribadi. Itulah sebabnya, penerapan green campus diharapkan dapat mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan juga penggunaan alat elektronik yang membutuhkan listrik yang berasal dari sumber energi fosil.
Untuk menuju kampus hijau, diperlukan tiga hal yaitu green building, green place dan green behaviour. ”Bangunannya memenuhi standar hijau, hemat penggunaan energi, menggunakan sumber energi terbarukan, desain bangunan yang membuat sirkulasi udara baik sehingga sejuk dan dapat mengurangi penggunaan AC,” katanya.
Sedangkan green place, berarti kampus memiliki ruang terbuka hijau yang memadai. Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum menyatakan, luas ruang terbuka hijau (RTH) yang dibutuhkan untuk satu orang adalah 1,8 m2. Jadi, ruang terbuka hijau walaupun hanya sempit atau dalam bentuk tanaman dalam pot tetap harus ada di sekitar individu.
”Selain RTH, perguruan tinggi sebaiknya memiliki fasilitas yang memungkinkan civitas akademika mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, misalnya dengan menyediakan bis kota, sepeda, dan sebagainya,” ujar dia.
Sedangkan, green behaviour artinya warga kampus diberikan pengetahuan tentang pentingnya menjaga lingkungan, mengurangi penggunaan energi, dan mengolah sendiri sampah yang dihasilkan. Dengan menerapkan konsep green campus, maka perguruan tinggi akan menjadi asri, sekaligus memberi kenyamanan dan kesehatan bagi civitas akademika.
Gren campus juga dapat menjadi salah satu daya tarik calon mahasiswa untuk mendaftar di perguruan tinggi tersebut, memberikan kebanggaan bagi warga kampus, di samping menjadi salah satu paru-paru kota. ”Serta ikut berkontribusi mengurangi pemanasan global,” ucap dia.
Hermansah
(ftr)