Hukum bagi Rakyat Kecil
A
A
A
Fenomena penegakan hukum yang menjadi pusat perhatian publik saat ini adalah proses peradilan Nenek Asyani di Situbondo, Jawa Timur, dan Kakek (Mbah) Harso Taruno di Pengadilan Negeri (PN) Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta.
Kedua peristiwa itu kian memperkuat realitas tentang hukum yang “tajam ke bawah, tumpul ke atas”. Istilah yang pertama kali diungkap Prof Moh Mahfud MD, mantan ketua Mahkamah Konstitusi bermakna, bahwa hukum hanya berlaku keras terhadap rakyat kecil tetapi tidak berdaya terhadap petinggi negara dan orang berduit.
Realitas itu tidak hanya didiskusikan di kalangan akademisi, bahkan telah menjadi pembicaraan di warung-warung kopi. Hampir semua kalangan merasa miris terhadap penegakan hukum yang memilahmilah orang, tetapi pada saat yang bersamaan menunjukkan sebaliknya.
Asas hukum bahwa “semua orang diperlakukan sama di depan hukum” yang dipatenkan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, justru tidak diindahkan oleh aparat penegak hukum. Fakta itu terurai secara telanjang, Nenek Asyani, 63, dijadikan pesakitan di pengadilan di PN Situbondo.
Asyani didakwa mencuri 38 papan kayu jati dari kawasan hutan produksi di Jatibanteng, Situbondo, Jawa Timur. Tetapi dalam sidang terungkap bahwa kayu jati itu miliknya sendiri, kemudian ditangguhkan penahanannya sejak 18 Maret 2015 oleh majelis hakim.
Hukum Kelas Gedongan
Yang ditemukan dalam kasus itu begitu cepatnya proses hukum berjalaan terhadap orangorang kecil. Boleh jadi karena tidak punya kekuatan finansial dan akses kekuasaan, sehingga yang bisa membantunya hanyalah pemberitaan media massa dan opini publik. Sangat berbeda jika penyelenggara negara dan aparat hukum yang terjerat korupsi, penanganannya sangat lamban.
Bukan hanya karena ada faktor kekuatan politis yang membentenginya, melainkan juga menciptakan penundaan proses hukum dengan segala celah pembalikan opini di ruang publik. Penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh institusi yang memiliki kewenangan besar dan dipercaya rakyat sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga bisa dibelokkan.
Caranya, memanfaatkan celah hukum acara (hukum formil) yang sebetulnya tidak boleh ditafsirkan melampaui (menyimpang) dari ketentuan yang sudah jelas dan tegas. Bagi yang bertahta di kelas hukum gedongan, sebetulnya KPK tidak pernah gentar. Publik melihat bagaimana KPK menjerat tiga menteri aktif pada masa pemerintahan lalu, dua ketua umum partai politik, serta puluhan anggota DPR dan kepala daerah.
Meski sudah dirintis KPK, ketajaman pedang keadilan hukum kembali tak mampu atau dibuat lumpuh sehingga gagal menembus bangunan rumah kelas gedongan. Ketegasan, keberanian, dan profesionalitas yang diukir dalam sejarah KPK, tentu tidak akan begitu gampang dilumpuhkan sekiranya yang bersoal orang-orang kecil.
Realitas hukum yang hanya tajam ke bawah di tengah era keterbukaan sangatlah memprihatinkan. Hendak dibawa ke mana penegakan hukum di tengah pengakuan bahwa demokrasi Indonesia mendapat pujian dunia internasional.
Sangat menarik analisis Prof Moh Mahfud MD di harian ini (14/3/2015) bahwa demokrasi yang dibangun sejak reformasi yang seharusnya semakin membaik, seperti diteorikan Blake danMartin (2006) atau Hellman (2008) akan berimbas pada efektivitas pemberantasan korupsi, ternyata dalam realitas tidak berlaku di negeri ini.
Malah, demokrasi Indonesia kebablasan lantaran tidak efektif melawan korupsi. Maka benar apa yang disebut William Liddle, bahwa demokrasi telah menjadi alat korupsi lantaran korupsi justru dilakukan melalui mekanisme demokrasi. Koreksi dan masukan berbagai pengamat agar keberlangsungan pedang hukum yang tumpul ke atas segera diakhiri, sepertinya tertatihtatih melangkah di lorong gelap.
Proses hukum tak berdaya menghadapi orang berpunya dan memiliki alur hubungan dengan elite kekuasaan, termasuk otoritas hukum. Jika ada yang berani mengusik dengan bicara sembarangan atau tepatnya mengkritik, siapsiaplah menghadapi tuntutan hukum.
Restorative Justice
Seperti kasus yang ditimpakan kepada Nenek Asyani dan Kakek Harso Taruno, koreksi terhadap realitas proses hukum yang begitu tajam, boleh jadi hanya disikapi sebatas respons dan simpati.
Memang muncul sikap keberpihakan berbagai kalangan pemerhati keadilan dan hak asasi manusia, tetapi penerapan asas “semua orang sama di depan hukum” lebih banyak dianggap angin lalu oleh otoritas penegakan hukum. Tak henti-hentinya digelorakan agar wajah penegakan hukum tidak seharusnya melukai rasa keadilan masyarakat (keadilan substantif).
Tetapi realitas berkata lain, lebih banyak elite kekuasaan dan petinggi penegak hukum bersikap defensif, tidak berani berpihak pada rakyat kebanyakan. Seolah-olah rakyat kecil hanyalah sekadar objek penegakan hukum seperti pada hukum rimba di hutan belantara.
Kasus Nenek Minah yang dituduh mencuri tiga biji kakao sehingga harus duduk di kursi pesakitan, adalah contoh yang patut dijadikan pelajaran, meskipun dengan alasan penegakan hukum. Kenapa aparat hukum sejak penyidikan tidak berani melakukan pendekatan “restorative justice“ terhadap beragam kasus ringan yang ditimpakan kepada rakyat kecil seperti pada Nenek Asyani?
Restorative justice adalah pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana dan korban. Tidak selalu harus berpedoman pada hukum normatif semata (hukum materiil), terutama pada tindak pidana ringan yang ancaman pidananya juga ringan.
Sekiranya pelaku dan korban pencurian bisa dibawa ke ruang keadilan restoratif, maka polisi bisa menghentikan penyidikan, tidak harus sampai ke pengadilan. Hukum acara seharusnya tidak selalu digunakan untuk memproses rakyat kecil yang melakukan kriminal kecil dengan berbalut demi penegakan hukum.
Tetapi anehnya, justru akan dimandulkan dengan berbagai penafsiran jika kelas gedongan yang bermasalah. Ukuran keberhasilan penegakan hukum tidak boleh hanya mengacu pada banyaknya jumlah perkara yang diselesaikan, tetapi juga seberapa besar kualitasnya.
Apalagi pada proses peradilan pidana konvensional dikenal restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas yaitu pemulihan hubungan antara korban dan pelaku. Hal itu bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku.
Konsep restorative justice memberi kesempatan bagi korban menghitung kerugiannya, sedangkan pelaku memberikan ganti rugi. Maka itu, realitas hukum “tajam ke bawah, tumpul ke atas” tidak harus mengalahkan penegakan hukum dalam mencari keadilan.
Marwan Mas
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
Kedua peristiwa itu kian memperkuat realitas tentang hukum yang “tajam ke bawah, tumpul ke atas”. Istilah yang pertama kali diungkap Prof Moh Mahfud MD, mantan ketua Mahkamah Konstitusi bermakna, bahwa hukum hanya berlaku keras terhadap rakyat kecil tetapi tidak berdaya terhadap petinggi negara dan orang berduit.
Realitas itu tidak hanya didiskusikan di kalangan akademisi, bahkan telah menjadi pembicaraan di warung-warung kopi. Hampir semua kalangan merasa miris terhadap penegakan hukum yang memilahmilah orang, tetapi pada saat yang bersamaan menunjukkan sebaliknya.
Asas hukum bahwa “semua orang diperlakukan sama di depan hukum” yang dipatenkan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, justru tidak diindahkan oleh aparat penegak hukum. Fakta itu terurai secara telanjang, Nenek Asyani, 63, dijadikan pesakitan di pengadilan di PN Situbondo.
Asyani didakwa mencuri 38 papan kayu jati dari kawasan hutan produksi di Jatibanteng, Situbondo, Jawa Timur. Tetapi dalam sidang terungkap bahwa kayu jati itu miliknya sendiri, kemudian ditangguhkan penahanannya sejak 18 Maret 2015 oleh majelis hakim.
Hukum Kelas Gedongan
Yang ditemukan dalam kasus itu begitu cepatnya proses hukum berjalaan terhadap orangorang kecil. Boleh jadi karena tidak punya kekuatan finansial dan akses kekuasaan, sehingga yang bisa membantunya hanyalah pemberitaan media massa dan opini publik. Sangat berbeda jika penyelenggara negara dan aparat hukum yang terjerat korupsi, penanganannya sangat lamban.
Bukan hanya karena ada faktor kekuatan politis yang membentenginya, melainkan juga menciptakan penundaan proses hukum dengan segala celah pembalikan opini di ruang publik. Penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh institusi yang memiliki kewenangan besar dan dipercaya rakyat sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga bisa dibelokkan.
Caranya, memanfaatkan celah hukum acara (hukum formil) yang sebetulnya tidak boleh ditafsirkan melampaui (menyimpang) dari ketentuan yang sudah jelas dan tegas. Bagi yang bertahta di kelas hukum gedongan, sebetulnya KPK tidak pernah gentar. Publik melihat bagaimana KPK menjerat tiga menteri aktif pada masa pemerintahan lalu, dua ketua umum partai politik, serta puluhan anggota DPR dan kepala daerah.
Meski sudah dirintis KPK, ketajaman pedang keadilan hukum kembali tak mampu atau dibuat lumpuh sehingga gagal menembus bangunan rumah kelas gedongan. Ketegasan, keberanian, dan profesionalitas yang diukir dalam sejarah KPK, tentu tidak akan begitu gampang dilumpuhkan sekiranya yang bersoal orang-orang kecil.
Realitas hukum yang hanya tajam ke bawah di tengah era keterbukaan sangatlah memprihatinkan. Hendak dibawa ke mana penegakan hukum di tengah pengakuan bahwa demokrasi Indonesia mendapat pujian dunia internasional.
Sangat menarik analisis Prof Moh Mahfud MD di harian ini (14/3/2015) bahwa demokrasi yang dibangun sejak reformasi yang seharusnya semakin membaik, seperti diteorikan Blake danMartin (2006) atau Hellman (2008) akan berimbas pada efektivitas pemberantasan korupsi, ternyata dalam realitas tidak berlaku di negeri ini.
Malah, demokrasi Indonesia kebablasan lantaran tidak efektif melawan korupsi. Maka benar apa yang disebut William Liddle, bahwa demokrasi telah menjadi alat korupsi lantaran korupsi justru dilakukan melalui mekanisme demokrasi. Koreksi dan masukan berbagai pengamat agar keberlangsungan pedang hukum yang tumpul ke atas segera diakhiri, sepertinya tertatihtatih melangkah di lorong gelap.
Proses hukum tak berdaya menghadapi orang berpunya dan memiliki alur hubungan dengan elite kekuasaan, termasuk otoritas hukum. Jika ada yang berani mengusik dengan bicara sembarangan atau tepatnya mengkritik, siapsiaplah menghadapi tuntutan hukum.
Restorative Justice
Seperti kasus yang ditimpakan kepada Nenek Asyani dan Kakek Harso Taruno, koreksi terhadap realitas proses hukum yang begitu tajam, boleh jadi hanya disikapi sebatas respons dan simpati.
Memang muncul sikap keberpihakan berbagai kalangan pemerhati keadilan dan hak asasi manusia, tetapi penerapan asas “semua orang sama di depan hukum” lebih banyak dianggap angin lalu oleh otoritas penegakan hukum. Tak henti-hentinya digelorakan agar wajah penegakan hukum tidak seharusnya melukai rasa keadilan masyarakat (keadilan substantif).
Tetapi realitas berkata lain, lebih banyak elite kekuasaan dan petinggi penegak hukum bersikap defensif, tidak berani berpihak pada rakyat kebanyakan. Seolah-olah rakyat kecil hanyalah sekadar objek penegakan hukum seperti pada hukum rimba di hutan belantara.
Kasus Nenek Minah yang dituduh mencuri tiga biji kakao sehingga harus duduk di kursi pesakitan, adalah contoh yang patut dijadikan pelajaran, meskipun dengan alasan penegakan hukum. Kenapa aparat hukum sejak penyidikan tidak berani melakukan pendekatan “restorative justice“ terhadap beragam kasus ringan yang ditimpakan kepada rakyat kecil seperti pada Nenek Asyani?
Restorative justice adalah pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana dan korban. Tidak selalu harus berpedoman pada hukum normatif semata (hukum materiil), terutama pada tindak pidana ringan yang ancaman pidananya juga ringan.
Sekiranya pelaku dan korban pencurian bisa dibawa ke ruang keadilan restoratif, maka polisi bisa menghentikan penyidikan, tidak harus sampai ke pengadilan. Hukum acara seharusnya tidak selalu digunakan untuk memproses rakyat kecil yang melakukan kriminal kecil dengan berbalut demi penegakan hukum.
Tetapi anehnya, justru akan dimandulkan dengan berbagai penafsiran jika kelas gedongan yang bermasalah. Ukuran keberhasilan penegakan hukum tidak boleh hanya mengacu pada banyaknya jumlah perkara yang diselesaikan, tetapi juga seberapa besar kualitasnya.
Apalagi pada proses peradilan pidana konvensional dikenal restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas yaitu pemulihan hubungan antara korban dan pelaku. Hal itu bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku.
Konsep restorative justice memberi kesempatan bagi korban menghitung kerugiannya, sedangkan pelaku memberikan ganti rugi. Maka itu, realitas hukum “tajam ke bawah, tumpul ke atas” tidak harus mengalahkan penegakan hukum dalam mencari keadilan.
Marwan Mas
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
(ftr)