Tragedi Tunisia, 9 Pelaku Ditangkap
A
A
A
TUNIS - Aparat keamanan Tunisia memburu pelaku serangan bersenjata di Museum Bardo di Tunis yang menewaskan 21 orang pada Rabu sore (18/3) waktu setempat. Saat ini polisi telah menangkap sembilan tersangka.
Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi berjanji akan memerangi terorisme tanpa ampun menyusul tragedi memilukan tersebut. Saat ini negaranya dalam status perang melawan teror. Dia memerintahkan militer untuk dilibatkan dalam pengamanan Ibu Kota dan kota penting lainnya. ”Kita akan melawan mereka hingga ke akarnya tanpa ampun hingga napas terakhir,” ujarnya pada pidato yang disiarkan stasiun televisi pemerintah.
Data Pemerintah Tunisia menyebutkan, dari 21 orang yang tewas, 20 di antaranya merupakan wisatawan asing dari berbagai negara, termasuk warga Jepang, Italia, Kolombia, Australia, Prancis, Polandia, Inggris, dan Spanyol. Seorang warga Tunisia juga dilaporkan tewas. Lebih dari 40 orang terluka dalam insiden itu, termasuk wisatawan Prancis, Afrika Selatan, Polandia, Italia, dan Jepang.
Pasukan keamanan berhasil menembak mati dua pria bersenjata yang melakukan serangan itu. Kedua pelaku serangan yang tewas juga telah diidentifikasi, yakni Yassine Abidi dan Hatem Khachnaoui. Polisi Tunisia kemarin juga menangkap sembilan tersangka penembakan.
Perdana Menteri (PM) Tunisia Habib Essid mengungkapkan, tragedi ini adalah momen kritis dalam sejarah negara ini. ”Ini menjadi tanda bagi masa depan kita,” ujarnya. Dia mengungkapkan, dua pelaku serangan yang tewas telah diidentifikasi, yakni Yassine Abidi dan Hatem Khachnaoui, diduga adalah warga Tunisia. ”Yassine Abidi telah lama dikenal oleh otoritas keamanan,” kata Essid kepada radio RTL .
Namun polisi belum mengetahui keterlibatan Abidi dalam jaringan gerilyawan atau kelompok teror tertentu. Menurut juru bicara Kementerian Dalam Negeri Tunisia, Mohamed Ali Aroui, dua atau lebih teroris bersenjata menggunakan senapan Kalashnikov menyerang museum di mana 100 wisatawan berada di dalam gedung itu. ”Pasukan keamanan menyerbu museum pada Rabu sore setelah empat jam serangan itu berlangsung,” katanya.
Belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab atas serangan itu. Para pria bersenjata itu mengenakan seragam militer dan menembak wisatawan di dalam museum. Saat serangan terjadi, anggota parlemen berada di gedung bersebelahan dengan museum. Mereka sedang mendiskusikan undang-undang antiteror.
Anggota parlemen dievakuasi, tetapi setelah situasi normal, mereka menggelar sesi rapat pada malam harinya. Serangan tersebut begitu menyisakan cerita sedih dan trauma yang mendalam bagi para korbannya.
Saksi korban wisatawan Jepang, misalnya, menggambarkan bagaimana suasana mencekam ketika dia dan ibunya ditembaki para gerilyawan. ”Saya bertelungkup dengan menutupi kepala dengan kedua tangan. Tapi telinga, tangan, dan leher saya tertembak,” kata Noriko Yuki, 35. Ibunya tertembak telinganya. ”Ibu saya tak dapat bergerak saat polisi berdatangan,” imbuhnya.
Wisatawan Prancis Fabienne bercerita dia dan kawan-kawannya berhasil bersembunyi di ruangan galeri museum. ”Kita tidak melihat apa yang sebenarnya terjadi. Kita hanya khawatir jika mereka (gerilyawan) membunuh kita,” ungkapnya kepada stasiun televisi Prancis BFM .
Dunia Mengecam
Para pemimpin dunia mengecam serangan dan menyatakan dukungan bagi Tunisia untuk melakukan berbagai upaya melawan terorisme. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) menegaskan tidak ada tindakan terorisme yang mengembalikan Tunisia ke luar jalur demokrasi.
Mereka meminta agar pelaku serangan diadili dan mendapatkan hukuman setimpal. ”Serangan itu adalah tindakan keji,” kata Sekjen PBB Ban Ki-moon. Serangan teror itu menjadi tekanan berat bagi industri pariwisata Tunisia. Pariwisata menjadi sektor utama ekonomi negara itu karena banyak wisatawan Eropa yang kerap berkunjung.
Padahal, pemerintah baru saja mengakhiri transisi politik dalam beberapa bulan lalu. Gerilyawan ingin mengganggu transisi demokrasi dan menjadikan Tunisia sebagai medan peperangan. Serangan teror terhadap warga asing kali ini tampaknya terburuk dalam sejarah Tunisia.
Pada 2002, bom bunuh diri Al- Qaeda menewaskan 21 orang di sinagoga di Pulau Djerba. Tunisia menjadi ladang ekstremis sejak Revolusi 2011 yang menggulingkan diktator Zine el-Abidine Ben Ali. Negara itu menjadi salah satu wilayah berkobarnya Arab Spring yang melanda Timur Tengah dan Afrika Utara. Pemerintah Tunisia menghadapi radikalisasi di kalangan pemuda.
Sebanyak 3.000 warga Tunisia ikut berperang di Irak, Suriah dan Libya. Sebagian bergabung dengan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah). Sekitar 500 gerilyawan itu telah kembali ke Tunisia.
Andika hendra m
Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi berjanji akan memerangi terorisme tanpa ampun menyusul tragedi memilukan tersebut. Saat ini negaranya dalam status perang melawan teror. Dia memerintahkan militer untuk dilibatkan dalam pengamanan Ibu Kota dan kota penting lainnya. ”Kita akan melawan mereka hingga ke akarnya tanpa ampun hingga napas terakhir,” ujarnya pada pidato yang disiarkan stasiun televisi pemerintah.
Data Pemerintah Tunisia menyebutkan, dari 21 orang yang tewas, 20 di antaranya merupakan wisatawan asing dari berbagai negara, termasuk warga Jepang, Italia, Kolombia, Australia, Prancis, Polandia, Inggris, dan Spanyol. Seorang warga Tunisia juga dilaporkan tewas. Lebih dari 40 orang terluka dalam insiden itu, termasuk wisatawan Prancis, Afrika Selatan, Polandia, Italia, dan Jepang.
Pasukan keamanan berhasil menembak mati dua pria bersenjata yang melakukan serangan itu. Kedua pelaku serangan yang tewas juga telah diidentifikasi, yakni Yassine Abidi dan Hatem Khachnaoui. Polisi Tunisia kemarin juga menangkap sembilan tersangka penembakan.
Perdana Menteri (PM) Tunisia Habib Essid mengungkapkan, tragedi ini adalah momen kritis dalam sejarah negara ini. ”Ini menjadi tanda bagi masa depan kita,” ujarnya. Dia mengungkapkan, dua pelaku serangan yang tewas telah diidentifikasi, yakni Yassine Abidi dan Hatem Khachnaoui, diduga adalah warga Tunisia. ”Yassine Abidi telah lama dikenal oleh otoritas keamanan,” kata Essid kepada radio RTL .
Namun polisi belum mengetahui keterlibatan Abidi dalam jaringan gerilyawan atau kelompok teror tertentu. Menurut juru bicara Kementerian Dalam Negeri Tunisia, Mohamed Ali Aroui, dua atau lebih teroris bersenjata menggunakan senapan Kalashnikov menyerang museum di mana 100 wisatawan berada di dalam gedung itu. ”Pasukan keamanan menyerbu museum pada Rabu sore setelah empat jam serangan itu berlangsung,” katanya.
Belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab atas serangan itu. Para pria bersenjata itu mengenakan seragam militer dan menembak wisatawan di dalam museum. Saat serangan terjadi, anggota parlemen berada di gedung bersebelahan dengan museum. Mereka sedang mendiskusikan undang-undang antiteror.
Anggota parlemen dievakuasi, tetapi setelah situasi normal, mereka menggelar sesi rapat pada malam harinya. Serangan tersebut begitu menyisakan cerita sedih dan trauma yang mendalam bagi para korbannya.
Saksi korban wisatawan Jepang, misalnya, menggambarkan bagaimana suasana mencekam ketika dia dan ibunya ditembaki para gerilyawan. ”Saya bertelungkup dengan menutupi kepala dengan kedua tangan. Tapi telinga, tangan, dan leher saya tertembak,” kata Noriko Yuki, 35. Ibunya tertembak telinganya. ”Ibu saya tak dapat bergerak saat polisi berdatangan,” imbuhnya.
Wisatawan Prancis Fabienne bercerita dia dan kawan-kawannya berhasil bersembunyi di ruangan galeri museum. ”Kita tidak melihat apa yang sebenarnya terjadi. Kita hanya khawatir jika mereka (gerilyawan) membunuh kita,” ungkapnya kepada stasiun televisi Prancis BFM .
Dunia Mengecam
Para pemimpin dunia mengecam serangan dan menyatakan dukungan bagi Tunisia untuk melakukan berbagai upaya melawan terorisme. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) menegaskan tidak ada tindakan terorisme yang mengembalikan Tunisia ke luar jalur demokrasi.
Mereka meminta agar pelaku serangan diadili dan mendapatkan hukuman setimpal. ”Serangan itu adalah tindakan keji,” kata Sekjen PBB Ban Ki-moon. Serangan teror itu menjadi tekanan berat bagi industri pariwisata Tunisia. Pariwisata menjadi sektor utama ekonomi negara itu karena banyak wisatawan Eropa yang kerap berkunjung.
Padahal, pemerintah baru saja mengakhiri transisi politik dalam beberapa bulan lalu. Gerilyawan ingin mengganggu transisi demokrasi dan menjadikan Tunisia sebagai medan peperangan. Serangan teror terhadap warga asing kali ini tampaknya terburuk dalam sejarah Tunisia.
Pada 2002, bom bunuh diri Al- Qaeda menewaskan 21 orang di sinagoga di Pulau Djerba. Tunisia menjadi ladang ekstremis sejak Revolusi 2011 yang menggulingkan diktator Zine el-Abidine Ben Ali. Negara itu menjadi salah satu wilayah berkobarnya Arab Spring yang melanda Timur Tengah dan Afrika Utara. Pemerintah Tunisia menghadapi radikalisasi di kalangan pemuda.
Sebanyak 3.000 warga Tunisia ikut berperang di Irak, Suriah dan Libya. Sebagian bergabung dengan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah). Sekitar 500 gerilyawan itu telah kembali ke Tunisia.
Andika hendra m
(ftr)