KTKLN Bukti Lemahnya Administrasi Pemerintah
A
A
A
JAKARTA - Kartu tanda kerja luar negeri (KTKLN) bagi tenaga kerja Indonesia (TKI) dinilai sebagai bukti lemahnya sistem administrasi dan pengelolaan manajemen kependudukan yang dimiliki pemerintah.
Sebab syarat kepemilikan KTKLN sebagai instrumen yang diklaim melindungi TKI justru tidak efektif dan efisien. Pernyataan itu diungkapkan dosen hukum tata negara Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Fatkhul Ulum saat sidang uji materi Undang- Undang (UU) No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (PPTKI) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, kemarin.
Fatkhul menilai, seharusnya pemerintah menguatkan sistem administrasi dan pengelolaan kependudukan yang sudah ada. Menurut dia, penggunaan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik sebagai identitas dan paspor yang berisi visa kerja dapat digunakan untuk melindungi TKI di luar negeri. Kedua tanda identitas tersebutseharusnyasudahmenjadi instrumen pokok guna melindungi warga negara Indonesia yang menjadi TKI.
”Sehingga pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan instrumen-instrumen lain yang dapat berakibat pada ketidakjelasan terhadap perlindungan WNI, baik yang bekerja didalam negeri atau di luar negeri,” tandas Fatkhul.
Pengamat kebijakan publik Dheyna Hasiholan pun menilai syarat kepemilikan KTKLN yang dikeluarkan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tidak efektif dan efisien. Sebab tanpa adanya KTKLN pun seharusnya kewajiban untuk melindungi TKI tetap harus berjalan.
Dia juga mempertanyakan kepentingan pengeluaran KTKLN bagi TKI yang termaktub dalam Pasal 26 ayat (2) huruf f UU PPTKI. Dheyna mempersoalkan apakah kepemilikan KTKLN bisa menjamin perlindungan TKI di luar negeri? Sebab hingga saat ini pun masih banyak TKI yang tidak terlindungi di luar negeri. ”Ini jelas menunjukkan ketidakseriusan BNP2TKI untuk menjaga hak konstitusional WNI yang bekerja di luar negeri,” ujar Dheyna.
Bahkan keberadaan KTKLN yang dikeluarkan berpotensi menumbuhkan lahan korupsi. Dia menilai banyaknya kartu WNI yang dikeluarkan pemerintah justru memperumit proses pengintegrasian data. Karena dalam prosesnya bisa menimbulkan kekeliruan penulisan data yang menunjukkan hasil berbeda. Atas dasar itu, senada dengan Fatkhul, dia pun menilai KTKLN justru memperlihatkan lemahnya pemerintah dalam mengelola sistem administrasi kependudukan. ”Kalau ada pengulangan, akan ada kerumitan pengelolaan proyek pemerintah satu dengan yang lainnya sehingga justru semakin tumpang tindih sehingga berpotensi korupsi,” paparnya.
Pengujian UU PPTKI itu diajukan 29 anak buah kapal (ABK) yang mempersoalkan berlakunya Pasal 26 ayat (2) huruf f dan Pasal 28 UU PPTKI. Mereka menilai kedua norma tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi melanggar hak konstitusionalnya sebagai TKI.
Kewajiban mengantongi KTKLN dinilai tidak jelas karena syarat penerbitannya berbeda di setiap instansi seperti Kemenaker, Kemenhub, dan BNP2TKI. Karenanya terjadi saling lempar tanggung jawab antara Kemenaker, BNP2TKI, dan Kemenhub.
Nurul adriyana
Sebab syarat kepemilikan KTKLN sebagai instrumen yang diklaim melindungi TKI justru tidak efektif dan efisien. Pernyataan itu diungkapkan dosen hukum tata negara Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Fatkhul Ulum saat sidang uji materi Undang- Undang (UU) No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (PPTKI) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, kemarin.
Fatkhul menilai, seharusnya pemerintah menguatkan sistem administrasi dan pengelolaan kependudukan yang sudah ada. Menurut dia, penggunaan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik sebagai identitas dan paspor yang berisi visa kerja dapat digunakan untuk melindungi TKI di luar negeri. Kedua tanda identitas tersebutseharusnyasudahmenjadi instrumen pokok guna melindungi warga negara Indonesia yang menjadi TKI.
”Sehingga pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan instrumen-instrumen lain yang dapat berakibat pada ketidakjelasan terhadap perlindungan WNI, baik yang bekerja didalam negeri atau di luar negeri,” tandas Fatkhul.
Pengamat kebijakan publik Dheyna Hasiholan pun menilai syarat kepemilikan KTKLN yang dikeluarkan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tidak efektif dan efisien. Sebab tanpa adanya KTKLN pun seharusnya kewajiban untuk melindungi TKI tetap harus berjalan.
Dia juga mempertanyakan kepentingan pengeluaran KTKLN bagi TKI yang termaktub dalam Pasal 26 ayat (2) huruf f UU PPTKI. Dheyna mempersoalkan apakah kepemilikan KTKLN bisa menjamin perlindungan TKI di luar negeri? Sebab hingga saat ini pun masih banyak TKI yang tidak terlindungi di luar negeri. ”Ini jelas menunjukkan ketidakseriusan BNP2TKI untuk menjaga hak konstitusional WNI yang bekerja di luar negeri,” ujar Dheyna.
Bahkan keberadaan KTKLN yang dikeluarkan berpotensi menumbuhkan lahan korupsi. Dia menilai banyaknya kartu WNI yang dikeluarkan pemerintah justru memperumit proses pengintegrasian data. Karena dalam prosesnya bisa menimbulkan kekeliruan penulisan data yang menunjukkan hasil berbeda. Atas dasar itu, senada dengan Fatkhul, dia pun menilai KTKLN justru memperlihatkan lemahnya pemerintah dalam mengelola sistem administrasi kependudukan. ”Kalau ada pengulangan, akan ada kerumitan pengelolaan proyek pemerintah satu dengan yang lainnya sehingga justru semakin tumpang tindih sehingga berpotensi korupsi,” paparnya.
Pengujian UU PPTKI itu diajukan 29 anak buah kapal (ABK) yang mempersoalkan berlakunya Pasal 26 ayat (2) huruf f dan Pasal 28 UU PPTKI. Mereka menilai kedua norma tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi melanggar hak konstitusionalnya sebagai TKI.
Kewajiban mengantongi KTKLN dinilai tidak jelas karena syarat penerbitannya berbeda di setiap instansi seperti Kemenaker, Kemenhub, dan BNP2TKI. Karenanya terjadi saling lempar tanggung jawab antara Kemenaker, BNP2TKI, dan Kemenhub.
Nurul adriyana
(ars)