Soliditas Pemerintah Memprihatinkan

Kamis, 19 Maret 2015 - 10:04 WIB
Soliditas Pemerintah...
Soliditas Pemerintah Memprihatinkan
A A A
JAKARTA - Sejumlah kalangan melihat kondisi pemerintahan saat ini memprihatinkan. Hal itu terkait dengan rendahnya soliditas di lingkaran Istana dan Kementerian. Mereka pun mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera melakukan pembenahan. Jika tidak, kepercayaan masyarakat akan terus merosot.

Pandangan demikian disampaikan pengamat politik dari Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, anggota Komisi IV DPR Rofi Munawar, dan politikus PDIP Effendi Simbolon menyusul perbedaan pendapat antara Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa kasus miskoordinasi sebelumnya.

“Itu yang terlihat nyata sehingga masyarakat tidak melihat adanya sinergi pemerintahan. Jangankan di tingkat menteri, antara Presiden dan Wapres saja sudah menunjukkan adanya miskoordinasi,” kata Asep kepada KORAN SINDO tadi malam. Menurut Asep, Presiden harus merespons serius apa yang terjadi belakangan ini agar pemerintah dipandang sebagai sebuah kesatuan tim. Jika situasi ini terus dibiarkan dan Presiden Jokowi tidak ada upaya membenahi, maka bukan tidak mungkin kepercayaan publik akan terus merosot.

“Kalaupun saat ini, katakanlah Presiden membiarkan dengan kepentingan untuk menguji loyalitas para pembantunya, maka pada ujungnya kesalahan tetap pada Presiden selaku kepala pemerintahan,” ujarnya. Rofi Munawar juga melihat ketidaksolidan pemerintahan, terutama di kementerian bidang ekonomi. Menurut dia, koordinasi di pemerintahan tidak optimal, baik secara horizontal sesama menteri maupun secara vertikal dengan Presiden. Sindiran Jokowi terhadap para menterinya terkait soal beras merupakan bukti konkret gambaran kondisi dimaksud.

“Kualitas keputusan salah satunya akan sangat ditentukan dari kemampuan membangun koordinasi, komunikasi, dan melakukan formulasi data realitas. Ironisnya, di dalam banyak kesempatan kita sering menyaksikan kinerja kabinet dalam masalah ini sangat buruk,” ungkap Rofi Munawar kepada KORAN SINDO di Jakarta tadi malam. Legislator dari Jatim VII ini menambahkan, dari kejadian rapat terbatas (ratas) tersebut kita bisa melihat setidaknya ada dua masalah utama, yaitu lemahnya koordinasi dan daya dukung struktur kementerian yang belum optimal.

Lemah koordinasi seperti ini cukup sering terjadi jika mau ditelusuri, semisal terkait raskin dan target swasembada pangan tahun 2017 yang satu sama lain tidak sesuai. “Kita melihat bahwa sistem koordinasidanlaporantidakberjalan maksimal di dalam kabinet, sedangkan di sisi lain ironisnya Presiden mengandalkan data dari tim yang dibentuknya sendiri. Ada baiknya memaksimalkan jalur struktural yang ada, agar kualitas data yang diterima oleh Presiden tidak salah, mengingat hal tersebut akan menentukan kualitas kebijakan yang dibuat,” tekan Rofi.

Effendi Simbolon menilai munculnya miskoordinasi di pemerintahan saat ini akibat tindakan Presiden Jokowi sendiri yang menjalankan pemerintahan tidak berlandaskan konstitusi. “Jadi kalau sekarang muncul masalah, itu hal yang jamak, konsekuensi dari sistem yang dijalankan selama ini. Saya melihat pemerintahan Jokowi memang berada di luar rel penyelenggaraan negara,” ujarnya kemarin.

Effendi mencontohkan ketidakberesan yang dilakukan internal Istana saat merekrut komisaris dan direktur BUMN yang menurut dia dilandasi praktik kolusi dan nepotisme. Sekali lagi, dia menegaskan, masalah yang muncul berakar dari gaya pemerintahan Jokowi yang kerap menerabas rambu dan sistem birokrasi pemerintahan yang selama ini dinilai sudah baik.

“Keluhan Presiden Jokowi bahwa dia tidak dilapori oleh menterinya soal harga beras itu hal yang tidak lazim. Tapi itu salah Jokowi sendiri mengangkat pembantu yang tidak kapabel,” katanya. Situasi karut-marut seperti saat ini sepenuhnya tanggung jawab Presiden Jokowi. Menurut Effendi, Presiden Jokowi harus menjelaskan secara baik kepada rakyat tentang masalah melemahnya rupiah dan meroketnya harga kebutuhan pokok.

“Pemerintahah Orde Baru yang justru lebih tanggap dalam menghadapi setiap krisis di mana setiap pekan selalu ada penjelasan dari menteri terkait mengenai situasi perekonomian,” katanya. Masalah yang dihadapi rakyat saat ini tidak bisa lagi diganti dengan kegiatan yang sifatnya kemasan, termasuk membagikan traktor kepada petani. Hal seperti itu dinilai sudah tidak mengena karena rakyat sudah imun dengan pencitraan.

“Saya katakan, dengan segala hormat saya, sebagai sahabat, Presiden kita terlalu prematur untuk jabatan itu. Ini saya katakan dengan terbuka karena niat baik untuk melihat pemerintahanbisaberjalandengan lebih baik,” ujarnya. Kasus ketidaksolidan pemerintah kembali mengemuka dalam menyikapi wacana pemberian remisi untuk koruptor. Kemarin Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa remisi merupakan bagian dari pemberian hukuman itu sendiri. Sikap ini secara tidak langsung menunjukkan dukungan terhadap wacana tersebut.

“Bahwa itu diberikan remisi, itu tentu. Kalau memang karena korupsi itu kriminal berat, tentu hukumannya juga berat. Tetapi remisi bagian dari hukuman itu sendiri,” kata Wapres Kalla di Jakarta kemarin. Sehari sebelumnya, dalam laman Setkab.go.id (17/3) Presiden Jokowi menegaskan perang terhadap korupsi harus tetap dilakukan. Dia mengaku tak sepakat dengan wacana remisi untuk para koruptor yang dikemukakan oleh Menkumham Yasonna H Laoly.

“Kalau dari saya enggak usah saja dikasih remisi,” ujar Jokowi. Sebelumnya, Yasonna berencana merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 9/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan. Salah satu poin revisi tersebut mengenai pengaturan pemberian remisi yang akan diatur menjadi di bawah wewenang Kementerian Hukum dan HAM. Rencana Yasona tersebut mendapat reaksi protes dari para pemerhati antikorupsi.

Ketidaksolidan juga secara tidak langsung disampaikan Presiden Jokowi dengan menunjukkan kekecewaannya kepada kinerja para menterinya. Kekecewaan itu ditunjukkan Jokowi dalam rapat kabinet terbatas di Istana Bogor, Jawa Barat, Minggu (15/3). Presiden mengaku kecewa karena belum mendapat laporan soal harga beras miskin dari menteri terkait. Di bidang pangan, buruknya koordinasi juga tergambar dari kebijakan penenggelaman kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia.

Presiden Jokowi dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti begitu semangat dengan ide penenggelaman. Sebaliknya, Jaksa Agung HM Prasetyo secara terang-terangan menyatakan ketidaksepakatannya atas penenggelaman tersebut.

Rahmat sahid/ heru febrianto/ bakti munir
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0602 seconds (0.1#10.140)