Demokrat Respons Wacana Hak Angket

Rabu, 18 Maret 2015 - 10:11 WIB
Demokrat Respons Wacana Hak Angket
Demokrat Respons Wacana Hak Angket
A A A
JAKARTA - Fraksi Partai Demokrat merespons penggunaan hak angket untuk Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly.

Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Didik Mukrianto berpendapat, hak angket merupakan upaya konstitusional yang perlu disikapi secara objektif dan rasional. ”Fraksi Partai Demokrat tidak antipati terhadap penggunaan hak angket karena kami tidak ingin demokrasi dan penegakan hukum yang sudah dibangun SBY selama 10 tahun menjadi runtuh,” katanya di Jakarta kemarin.

Menurutnya, tidak perlu ada sikap antipati sepanjang hak tersebut digunakan dalam koridor yang benar baik secara substansi maupun prosedural. Sebaliknya, keinginan anggota DPR untuk menggunakan hak angket tersebut seharusnya menjadi perhatian dan koreksi bagi pemerintah terhadap kebijakan yang telah diambilnya.

Menurutnya, dalam konteks partai politik (parpol), sebagaimana diatur dalam UU Parpol, pemerintah hanya menjadi pelaksana UU yang kewenangannya hanya pada urusan administrasi. Pemerintah tidak boleh campur tangan dan mengintervensi dalam pengelolaan rumah tangga parpol, termasuk saat terjadi konflik internal.

Kebijakan Menkumham dalam kasus sengketa Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bukan saja dianggap sebagai pelanggaran hukum, tapi juga sudah merusak tatanan demokrasi. ”Kita bersamasama punya kepentingan untuk menjaga demokrasi ini agar berjalan sesuai trek. Jangan sampai kekuasaan yang dihasilkan proses demokrasi disalahgunakan secara otoriter untuk kepentingan subjektif kekuasaan semata,” tutupnya.

Wacana hak angket digulirkan parpol Koalisi Merah Putih (KMP) setelah Menkumham mengesahkan kepengurusan DPP Golkar kubu Agung Laksono. Partai Demokrat merupakan partai yang tidak tergabung di KMP maupun Koalisi Indonesia hebat (KIH).

Sementara itu, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) memastikan tidak ikut mendukung penggunaan hak angket karena menghindari kegaduhan politik. ”Rakyat jenuh, kalau politik gaduh, DPR gaduh. Oleh karena itu PAN tidak ingin jadi bagian yang gaduh-gaduh,” kata Ketua Umum DPP PAN Zulkifli Hasan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin.

Ancaman Demokrasi

Sementara itu, Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahuddin mempertanyakan posisi pemerintah dalam menangani sengketa parpol. Dia melihat pemerintah, dalam hal ini Menkumham, mengambil posisi sebagai pihak yang mengesahkan kepengurusan parpol.

Padahal, menurut dia, posisi pemerintah itu seharusnya hanya untuk urusan yang sifatnya administratif, misalnya memberi legitimasi kepada parpol karena ada kepentingan pencalegan atau saat pencalonan di pilkada. Adapun penyelesaian sengketa parpol itu harus diselesaikan kalangan internal parpol itu sendiri.

Untuk itu Said menyarankan kepada kubu ARB yang merasa dirugikan agar meminta tafsir ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai langkah Menkumham yang mengesahkan kubu Munas Ancol tersebut. Perlu tafsir terhadap pasal dalam konstitusi mengenai kekuasaan pemerintah yang dikaitkan dengan pasal pada UU Parpol.

”Kok Menkumham yang menentukan hidup matinya parpol? Demokrasi akan amburadul kalau menteri dianggap sebagai pihak yang berhak mengesahkan partai,” ujarnya kemarin. Menurut dia, perlu ada perhatian serius karena kasus ini sudah menimpa dua partai, yakni PPP dan Golkar.

”Kita takutnya nanti hanya ada dua orang yang tidak setuju dengan ketua umumnya, lalu membuat kepengurusan, lalu kalau pemerintah setuju, disahkanlah dia. Bisa bahaya kalau situasinya seperti itu,” ujarnya.

Kiswondari/ Bakti m
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9203 seconds (0.1#10.140)