Koruptor Layak Dihukum Mati

Senin, 16 Maret 2015 - 12:48 WIB
Koruptor Layak Dihukum Mati
Koruptor Layak Dihukum Mati
A A A
JAKARTA - Sejumlah tokoh menolak wacana Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laloy yang akan memberikan remisi kepada koruptor. Sebaliknya, mereka justru meminta para koruptor dihukum mati agar muncul efek jera.

Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua mengatakan, koruptor jauh lebih hina dari pencuri. Dalam Islam, orang yang mencuri bahkan dihukum dengan potong tangan. Karena itu, dia justru mengusulkan agar para koruptor dihukum mati agar bisa memberikan efek jera.

“Saya usulkan hukuman mati harus diberlakukan bagi para koruptor. Atau beri hukuman penjeraan atau penestapaan agar tidak terulang lagi,” ungkap Abdullah saat menjadi pembicara dalam diskusi bertema “Prospek Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi” di Senayan City, Jakarta, kemarin.

Selain hukuman mati, menurut Abdullah, bisa juga diberlakukan hukuman penestapaan. Pelaku korupsi dibuat sengsara. “Kita taruh mereka setiap orang satu pulau di Kepulauan Seribu tanpa diberi bantuan apa pun, biarkan mereka bertahan sendiri di sana,” sebutnya.

Abdullah juga menilai, wacana remisi yang akan diberikan pemerintah kepada koruptor perlu dikaji ulang. Kebijakan tersebut akan membuat para koruptor lebih cepat mendapatkan remisi dengan uang yang mereka peroleh selama melakukan korupsi. “Bisa saja dia berprestasi, tapi dengan membayar para petugas di lapas, menjadi dermawan di lapas, akhirnya mereka dinilai berprestasi dan diberi remisi, saya tahu itu karena pernah dua tahun di penjara,” ungkapnya.

Dia juga mengatakan, kehidupan koruptor di penjara bisa lebih senang dan bahagia karena semua bisa didapatkan dengan uang yang dimiliki. “Kalau tidur di kasur, bisa pakai handphone, apa bedanya dengan yang di luar? Kalau beri remisi atas dasar hak asasi manusia (HAM), apa perbuatannya tidak melanggar HAM juga?” ucapnya.

Hal senada diungkapkan pakar hukum Universitas Trisakti Yenti Garnasih. Menurut dia, rencana pemberian remisi kepada koruptor oleh pemerintah justru akan memanjakan para terpidana korupsi dan tidak akan memiliki efek jera kepada pelakunya. “Apalagi sekarang pendekatannya lembaga pemasyarakatan, bukan lagi penjara,” katanya.

Perubahan pendekatan di lapas itu, ujarnya, justru mengubah pendekatan pembinaan kepada koruptor dengan mengarah pada memberikan ampunan. Padahal, pemberantasan korupsi harus bisa memberikan efek jera, sekalipun terpidana masuk dalam kategori whistle blower atau justice collaborator.

Jika perlu, lanjutnya, lapas untuk terpidana koruptor dibuat di tempat yang jauh dan terlihat diasingkan seperti membuat lapas di pedalaman Papua. Dengan demikian, para pelaku korupsi tidak mudah dijenguk keluarga atau sanak saudaranya. “Jangan seperti yang di Sukamiskin (Lapas Sukamiskin, Bandung) yang begitu mudah dijenguk keluarga,” ucapnya.

Remisi, ujarnya, memang merupakan hak asasi manusia (HAM) yang bisa diperoleh setiap narapidana, termasuk koruptor. Namun, dalam pelaksanaan harus benar-benar selektif. Hak tersebut sebenarnya merupakan hak bersyarat. “Dia harus berkelakuan baik, taubat, dandilihat apakah benar-benar sudah jera,” ungkapnya.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal DKI Jakarta Andi Mappetahang Fatwa atau yang akrab disapa AM Fatwa mengamini perihal memberikan efek jera kepada terpidana korupsi. Menurut dia, koruptor merupakan salah satu tindak kejahatan yang sangat merugikan negara. “Memberikan efek jera merupakan keharusan,” katanya.

Sebelumnya Menkumham Yasonna Laoly mewacanakan akan merevisi peraturan mengenai remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi yang dinilainya menimbulkan diskriminasi di antara narapidana, khususnya kepada para koruptor.

Pengetatan remisi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan terhadap koruptor, bandar narkoba, dan teroris dianggap diskriminatif sehingga harus direvisi kembali regulasinya.

Mula akmal
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5777 seconds (0.1#10.140)