Politikus PDIP Dukung Hak Angket
A
A
A
JAKARTA - Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Effendi Simbolon mendukung langkah politisi Koalisi Merah Putih (KMP) yang menggulirkan hak angket kepada Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly.
”Ya, mendukung. Kalau memang dirasa perlu, ya monggo, itu hak yang melekat pada setiap anggota DPR, kan prosesnya begitu,” ujar anggota Fraksi PDIP DPR ini di Jakarta kemarin. Menurut Effendi, Menkumham memang harus bisa lebih arif dan dewasa dalam menyikapi persoalan sengketa kepengurusan Partai Golkar yang melibatkan kubu Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie (ARB) dan kubu Munas Ancol pimpinan Agung Laksono.
Apalagi, menurut dia, Mahkamah Partai Golkar juga tidak memberikan keputusan dalam sengketa itu. ”Kan bisa dalam seminggu dilakukan mediasi dulu, tidak dalam posisi hanya memberi pengesahan atas dasar keputusan Mahkamah Partai yang keputusannya kan juga tidak menyebutkan siapa yang menang,” ucapnya. Untuk itu, wacana pengajuan hak angket kepada Laoly dinilai wajar.
Namun dia tidak ingin beropini bahwa putusan Menkumham soal konflik Partai Golkar tersebut menguntungkan salah satu kubu meski dirinya mengaku bisa merasakan hal itu. Untuk itu, dia mengingatkan Menkumham yang juga kader PDIP agar bisa menarik diri dan terhindar dari keberpihakan salah satu kubu. ”Harus ada pemisahan, mudahmudahan Laoly lebih dewasa,” ujarnya.
Sementara itu, rencana sejumlah parpol di KMP untuk menggulirkan hak angket dinilai wajar oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Menurutnya, hak angket merupakan hak politik anggota Dewan yang dijamin undang-undang. ”Kami mendengar kawankawan dari Golkar dan PPP mau menggulirkan hak angket. Saya melihat ini wajar dan bagus supaya setiap keputusan yang menimbulkan kontroversi seperti sekarang ini bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu mengatakan Menkumham sejak pertama menjabat memang sering mengambil keputusan yang lebih bersifat politis ketimbang bersifat hukum. Hal itu dinilai membahayakan demokrasi Indonesia. ”Saya optimistis dengan hak angket tersebut. Ini merupakan salah satu langkah menyelidiki apa yang menjadi latar belakangnya,” kata dia.
Fadli mengatakan, DPR tidak tinggal diam jika melihat kekuasaan digunakan untuk mengintervensi partai politik. ”Kami di DPR perlu ikut campur mengawasi tindakan pemerintah. Jadi ini dalam rangka pengawasan terhadap pemerintah, dalam hal ini Menkumham. Tugas saya mengawasi Menkumham, itu amanat undang- undang, bukan ikut campur,” ujarnya menegaskan.
Sebelumnya, Menkumham Yasonna H Laoly mengaku siap jika DPR mengajukan hak angket atas keputusannya. Dia mengklaim pengesahan kepengurusan Agung Laksono sudah berdasarkan UU Parpol dan sama sekali tidak ada unsur politisasi. Yasonna juga menjelaskan telah meneliti pertimbanganpertimbangan para hakim Mahkamah Partai Golkar, baik Muladi dan Natabaya maupun Andi Mattalatta dan Djasri Marin, sebelum mengambil keputusan.
Sementara itu, netralitas pemerintah dalam menangani sengketa parpol juga menjadi sorotan dalam diskusi Polemik Sindo Tijaya FM di Jakarta kemarin. Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi Muktamar Jakarta Ahmad Gazali Harahap mengatakan Yasonna menerapkan standar ganda dalam menangani partai-partai yang tengah bersengketa. Terhadap PPP, Yasonna dinilai tidak pernah berbicara mengenai mahkamah partai.
Sementara dalam kasus sengketa partai lain (Golkar) dia justru mengedepankan penyelesaian lewat mahkamah partai itu. ”Dia tidak pernah melihat dan melakukan penelitian, pengkajian, dan langsung mengambil keputusan. Padahal ini kan keputusan yang strategis, bukan hanya PPP, tapi menyangkut bangsa Indonesia,” ujarnya. Dia juga mengkritik langkah Menkumham yang mengajukan banding ketika pengesahannya terhadap kepengurusan PPP kubu Romahurmuziy (Romi) dibatalkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN).
”Apalagi, ketika Romi (Romahurmuziy) melakukan muktamar dan itu dihadiri utusan pemerintah. Jadi bagaimana ini tidak bisa disebut sebagai intervensi?” ujarnya. Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Al Habsy yang juga menjadi pembicara mengatakan, pemerintah seharusnya melaksanakan fungsinya sebagai administrator parpol, jangan justru melakukan intervensi karena itu akan memicu masalah.
Pemerintah juga dipandang terlalu proaktif dalam mengikuti proses penyelesaian parpol. Ini terjadi pada kasus PPP. Partai ini makin kisruh setelah Menkumham memberikan pengesahan kepada salah satu kubu yang bersengketa. ”Seharusnya fungsi administrator itu seperti orang membuat KTP, apa iya pemerintah di situ bersikap? Kan tidak ada lurah yang sampai mencampuri urusan orang membuat KTP,” ujarnya.
Menurut anggota DPR Komisi III itu, berdasarkan perundang- undangan, setiap masalah partai sepantasnya diserahkan ke kalangan internal masing- masing. ”Sebetulnya apa yang sudah berjalan di Partai Golkar sudah cukup baik, cuma administratornya ikut main juga masalahnya,” kata dia. Penilaian berbeda disampaikan Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar versi Munas Ancol Yorrys Raweyai.
”Saya melihat selama ini Menkumham sudah on the track, dia tidak mencampuri ke mana-mana,” ucap Yorrys pada diskusi yang sama. Dia mencontohkan penanganan kisruh Partai Golkar yang berjalan sesuai dengan UU Parpol di mana ketika perbedaan baru muncul, Kemenkumham tidak memberi legitimasi ke pihak mana pun sampai pada proses mahkamah partai selesai dilakukan.
”Ketika kami memasukkan surat pertama pada 8 Desember 2014, dia (Yasonna) tidak memberi keputusan, tapi penjelasan bahwa kedua pihak dipersilakan menyelesaikan secara internal berdasarkan UU atau ke pengadilan,” ujar Yorrys. Dia juga membenarkan bahwa surat yang dikeluarkan Menkumham pada 10 Maret 2015 bukanlah pengesahan kepengurusan kubu Munas Ancol, melainkan hanya penjelasan atas hasil putusan Mahkamah Partai Golkar sebelumnya.
”Dia (Menkumham) hanya mengatakan bahwa sesuai surat mahkamah partai, melalui amar putusannya, mengesahkan kubu Ancol dengan ketuanya Agung Laksono,” kata Yorrys. Menurutnya, Menkumham memberi waktu kepada kubu Agung Laksono untuk segera mengakomodasi kubu ARB untuk bergabung secara selektif sesuai AD/ ART.
Perlu waktu seminggu mengusulkan itu sebelum Menkumham mengeluarkan surat pengesahan. ”Setelah masuk seminggu baru akan keluar surat keputusan yang sudah dinotariskan,” ujarnya.
Sucipto/dian ramdhani
”Ya, mendukung. Kalau memang dirasa perlu, ya monggo, itu hak yang melekat pada setiap anggota DPR, kan prosesnya begitu,” ujar anggota Fraksi PDIP DPR ini di Jakarta kemarin. Menurut Effendi, Menkumham memang harus bisa lebih arif dan dewasa dalam menyikapi persoalan sengketa kepengurusan Partai Golkar yang melibatkan kubu Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie (ARB) dan kubu Munas Ancol pimpinan Agung Laksono.
Apalagi, menurut dia, Mahkamah Partai Golkar juga tidak memberikan keputusan dalam sengketa itu. ”Kan bisa dalam seminggu dilakukan mediasi dulu, tidak dalam posisi hanya memberi pengesahan atas dasar keputusan Mahkamah Partai yang keputusannya kan juga tidak menyebutkan siapa yang menang,” ucapnya. Untuk itu, wacana pengajuan hak angket kepada Laoly dinilai wajar.
Namun dia tidak ingin beropini bahwa putusan Menkumham soal konflik Partai Golkar tersebut menguntungkan salah satu kubu meski dirinya mengaku bisa merasakan hal itu. Untuk itu, dia mengingatkan Menkumham yang juga kader PDIP agar bisa menarik diri dan terhindar dari keberpihakan salah satu kubu. ”Harus ada pemisahan, mudahmudahan Laoly lebih dewasa,” ujarnya.
Sementara itu, rencana sejumlah parpol di KMP untuk menggulirkan hak angket dinilai wajar oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Menurutnya, hak angket merupakan hak politik anggota Dewan yang dijamin undang-undang. ”Kami mendengar kawankawan dari Golkar dan PPP mau menggulirkan hak angket. Saya melihat ini wajar dan bagus supaya setiap keputusan yang menimbulkan kontroversi seperti sekarang ini bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu mengatakan Menkumham sejak pertama menjabat memang sering mengambil keputusan yang lebih bersifat politis ketimbang bersifat hukum. Hal itu dinilai membahayakan demokrasi Indonesia. ”Saya optimistis dengan hak angket tersebut. Ini merupakan salah satu langkah menyelidiki apa yang menjadi latar belakangnya,” kata dia.
Fadli mengatakan, DPR tidak tinggal diam jika melihat kekuasaan digunakan untuk mengintervensi partai politik. ”Kami di DPR perlu ikut campur mengawasi tindakan pemerintah. Jadi ini dalam rangka pengawasan terhadap pemerintah, dalam hal ini Menkumham. Tugas saya mengawasi Menkumham, itu amanat undang- undang, bukan ikut campur,” ujarnya menegaskan.
Sebelumnya, Menkumham Yasonna H Laoly mengaku siap jika DPR mengajukan hak angket atas keputusannya. Dia mengklaim pengesahan kepengurusan Agung Laksono sudah berdasarkan UU Parpol dan sama sekali tidak ada unsur politisasi. Yasonna juga menjelaskan telah meneliti pertimbanganpertimbangan para hakim Mahkamah Partai Golkar, baik Muladi dan Natabaya maupun Andi Mattalatta dan Djasri Marin, sebelum mengambil keputusan.
Sementara itu, netralitas pemerintah dalam menangani sengketa parpol juga menjadi sorotan dalam diskusi Polemik Sindo Tijaya FM di Jakarta kemarin. Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi Muktamar Jakarta Ahmad Gazali Harahap mengatakan Yasonna menerapkan standar ganda dalam menangani partai-partai yang tengah bersengketa. Terhadap PPP, Yasonna dinilai tidak pernah berbicara mengenai mahkamah partai.
Sementara dalam kasus sengketa partai lain (Golkar) dia justru mengedepankan penyelesaian lewat mahkamah partai itu. ”Dia tidak pernah melihat dan melakukan penelitian, pengkajian, dan langsung mengambil keputusan. Padahal ini kan keputusan yang strategis, bukan hanya PPP, tapi menyangkut bangsa Indonesia,” ujarnya. Dia juga mengkritik langkah Menkumham yang mengajukan banding ketika pengesahannya terhadap kepengurusan PPP kubu Romahurmuziy (Romi) dibatalkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN).
”Apalagi, ketika Romi (Romahurmuziy) melakukan muktamar dan itu dihadiri utusan pemerintah. Jadi bagaimana ini tidak bisa disebut sebagai intervensi?” ujarnya. Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Al Habsy yang juga menjadi pembicara mengatakan, pemerintah seharusnya melaksanakan fungsinya sebagai administrator parpol, jangan justru melakukan intervensi karena itu akan memicu masalah.
Pemerintah juga dipandang terlalu proaktif dalam mengikuti proses penyelesaian parpol. Ini terjadi pada kasus PPP. Partai ini makin kisruh setelah Menkumham memberikan pengesahan kepada salah satu kubu yang bersengketa. ”Seharusnya fungsi administrator itu seperti orang membuat KTP, apa iya pemerintah di situ bersikap? Kan tidak ada lurah yang sampai mencampuri urusan orang membuat KTP,” ujarnya.
Menurut anggota DPR Komisi III itu, berdasarkan perundang- undangan, setiap masalah partai sepantasnya diserahkan ke kalangan internal masing- masing. ”Sebetulnya apa yang sudah berjalan di Partai Golkar sudah cukup baik, cuma administratornya ikut main juga masalahnya,” kata dia. Penilaian berbeda disampaikan Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar versi Munas Ancol Yorrys Raweyai.
”Saya melihat selama ini Menkumham sudah on the track, dia tidak mencampuri ke mana-mana,” ucap Yorrys pada diskusi yang sama. Dia mencontohkan penanganan kisruh Partai Golkar yang berjalan sesuai dengan UU Parpol di mana ketika perbedaan baru muncul, Kemenkumham tidak memberi legitimasi ke pihak mana pun sampai pada proses mahkamah partai selesai dilakukan.
”Ketika kami memasukkan surat pertama pada 8 Desember 2014, dia (Yasonna) tidak memberi keputusan, tapi penjelasan bahwa kedua pihak dipersilakan menyelesaikan secara internal berdasarkan UU atau ke pengadilan,” ujar Yorrys. Dia juga membenarkan bahwa surat yang dikeluarkan Menkumham pada 10 Maret 2015 bukanlah pengesahan kepengurusan kubu Munas Ancol, melainkan hanya penjelasan atas hasil putusan Mahkamah Partai Golkar sebelumnya.
”Dia (Menkumham) hanya mengatakan bahwa sesuai surat mahkamah partai, melalui amar putusannya, mengesahkan kubu Ancol dengan ketuanya Agung Laksono,” kata Yorrys. Menurutnya, Menkumham memberi waktu kepada kubu Agung Laksono untuk segera mengakomodasi kubu ARB untuk bergabung secara selektif sesuai AD/ ART.
Perlu waktu seminggu mengusulkan itu sebelum Menkumham mengeluarkan surat pengesahan. ”Setelah masuk seminggu baru akan keluar surat keputusan yang sudah dinotariskan,” ujarnya.
Sucipto/dian ramdhani
(ars)