Manusia Istana Membawa Pesan Mencerahkan
A
A
A
BUKU kumpulan puisi bertajuk Manusia Istana karya Radhar Panca Dahana diluncurkan di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM), Rabu (4/3) pekan lalu.
Banyak kalangan -politisi pun budayawan- menilai buku ini membawa pesan yang mencerahkan. “Puisi-puisi Mas Radhar Panca Dahana memang luar biasa, dalam, empiris, nyata, menggigit! Sudah sangat lama aku tidak baca puisi Mas, tapi aku langsung paham dan menghayati. Membaca puisi-puisi Sampean menggairahkan untuk semakin berbuat dan mencari di mana aku berada dalam semua episode itu.” Itulah sekelumit komentar dari mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar.
Selain Muhaimin, masih banyak sederet nama besar di dunia politik, mantan menteri, pengamat, hingga orang yang sedang berada di balik bui, ikut mengomentari kehadiran buku berjudul Manusia Istana: Sekumpulan Puisi Politik . Sebut saja mendiang Soegeng Sarjadi, Rizal Ramli, Mahfud M.D, Anas Urbaningrum, Wiranto, dan lainnya.
Semua suara mereka merujuk pada satu pernyataan. Karya Radhar ini membuat mereka seperti becermin tanpa sehelai benang pun di tubuh. Tanpa secoret goresan make up di wajah. Tanpa banyak rekayasa dan kebohongan. Hanya ada kejujuran, keterbukaan, dan apa adanya. Beberapa hal yang memang dianggap sangat sulit ditemui di dunia perpolitikan. Yang biasanya hanya dipenuhi syahwat kekuasaan, dan ingin menang sendiri.
Kehadiran buku Radhar barangkali memang hanya untuk memuaskan sang penulis yang mengaku sangat muak dengan reformasi sejak kerusuhan 1998 silam. Sebab, Radhar tak menyangka era yang begitu dibangga-banggakan banyak orang seantero Tanah Air itu ternyata dinilai jauh lebih munafik dibanding zaman Orde Baru (orba).
Namun, melalui bahasa puisinya yang penuh semangat, keterbukaan, dan pencerahan, Radhar ingin menyampaikan pesan yang tidak menyerang para politisi atau siapa pun yang berada di pucuk kekuasaan. Berbarengan peringatan usia Radhar yang akan memasuki setengah abad pada 26 Maret mendatang, karya ini menjadi salah satu dari empat buku masterpiece yang diluncurkan hingga April nanti.
Ini semacam kumpulan buku seri yang mencakup berbagai tema. Setiap buku diluncurkan dengan gaya yang sama. Yakni menghadirkan sejumlah pembicara yang cukup mumpuni dan membahasnya dengan gaya masing-masing. Ulang tahun penuh makna itu akan diikuti peluncuran bukunya yang lain, yaitu buku Kebudayaan dalam Politik, Agama dalam Kearifan Bahari, dan Ekonomi Cukup . Semuanya juga akan digelar di tempat yang sama dengan sejumlah pembicara kenamaan.
Radhar mungkin tak seorang diri yang merasa muak dan jemu dengan dunia perpolitikan. Namun, ia menyuarakannya berbeda dengan yang lain. Bagi Radhar, tiap orang memiliki kebahagiaan, ketuhanan, keterusterangan yang mudah dipahami. Sayangnya, semua itu direbut oleh pikiran dan tindakan yang tidak hanya melukai, mendestruksi, dan mengkriminalisasi kebudayaan karena sebetulnya kebudayaan itu sendiri yang telah memberi keagungan terhadap sebuah istana dan orang-orang di sekitarnya.
“Mereka bukan hanya mengkhianati politik tapi kebudayaan, yang sama artinya dengan manusia, dan bangsa itu sendiri. Ini keangkaraan yang sangat tragis,” tegasnya. Pada diskusi tentang Manusia Istana pekan lalu itu hadir beberapa pembicara seperti peneliti senior Pusat Studi Strategis dan Internasional (Centre for Strategic and International Studies/- CSIS) J Kristiadi, budayawan Abdul Hadi Wiji Muthari, sosiolog Univeristas Indonesia (UI) Thamrin Amal Tomagola, penyair Floribertus Rahardi, dan Toeti Heraty. J. Kristiadi membuka diskusi dengan pernyataan yang cukup menggelitik.
Menurut dia, lebih sulit memahami puisi dan lebih mudah memahami polisi. Dia mengaku kesulitan memahami isi puisi milik Radhar. Namun, Kris akhirnya bisa sedikit memahami isi puisi Radhar setelah membaca kata pengantarnya. “Mas Radhar prihatin dengan yang terjadi saat ini, sama seperti kita,” ungkapnya. Menurut Kris, saat ini tidak hanya terjadi pendangkalan di dunia politik, tapi juga pemujaan terhadap pendangkalan itu.
Hal ini bisa dilihat dari kelakuan manusia saat ini, terutama para politisi yang kerap berbicara tentang Pancasila tapi tidak bisa menampilkan arti Pancasila tersebut. “Kader-kader partai tidak ditempatkan dalam posisi mulia, tapi dijadikan pesuruh atau jongos,” tegasnya. Karena itu Kris menilai, kehadiran buku Radhar mampu membangunkan kita semua dari amnesia kolektif dan bius-bius atau candu-candu, atau uap-uap kekuasaan. Sebab, selama ini masyarakatlah yang kerap menjadi sasaran bius-bius kekuasaan tersebut.
Susi susanti
Banyak kalangan -politisi pun budayawan- menilai buku ini membawa pesan yang mencerahkan. “Puisi-puisi Mas Radhar Panca Dahana memang luar biasa, dalam, empiris, nyata, menggigit! Sudah sangat lama aku tidak baca puisi Mas, tapi aku langsung paham dan menghayati. Membaca puisi-puisi Sampean menggairahkan untuk semakin berbuat dan mencari di mana aku berada dalam semua episode itu.” Itulah sekelumit komentar dari mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar.
Selain Muhaimin, masih banyak sederet nama besar di dunia politik, mantan menteri, pengamat, hingga orang yang sedang berada di balik bui, ikut mengomentari kehadiran buku berjudul Manusia Istana: Sekumpulan Puisi Politik . Sebut saja mendiang Soegeng Sarjadi, Rizal Ramli, Mahfud M.D, Anas Urbaningrum, Wiranto, dan lainnya.
Semua suara mereka merujuk pada satu pernyataan. Karya Radhar ini membuat mereka seperti becermin tanpa sehelai benang pun di tubuh. Tanpa secoret goresan make up di wajah. Tanpa banyak rekayasa dan kebohongan. Hanya ada kejujuran, keterbukaan, dan apa adanya. Beberapa hal yang memang dianggap sangat sulit ditemui di dunia perpolitikan. Yang biasanya hanya dipenuhi syahwat kekuasaan, dan ingin menang sendiri.
Kehadiran buku Radhar barangkali memang hanya untuk memuaskan sang penulis yang mengaku sangat muak dengan reformasi sejak kerusuhan 1998 silam. Sebab, Radhar tak menyangka era yang begitu dibangga-banggakan banyak orang seantero Tanah Air itu ternyata dinilai jauh lebih munafik dibanding zaman Orde Baru (orba).
Namun, melalui bahasa puisinya yang penuh semangat, keterbukaan, dan pencerahan, Radhar ingin menyampaikan pesan yang tidak menyerang para politisi atau siapa pun yang berada di pucuk kekuasaan. Berbarengan peringatan usia Radhar yang akan memasuki setengah abad pada 26 Maret mendatang, karya ini menjadi salah satu dari empat buku masterpiece yang diluncurkan hingga April nanti.
Ini semacam kumpulan buku seri yang mencakup berbagai tema. Setiap buku diluncurkan dengan gaya yang sama. Yakni menghadirkan sejumlah pembicara yang cukup mumpuni dan membahasnya dengan gaya masing-masing. Ulang tahun penuh makna itu akan diikuti peluncuran bukunya yang lain, yaitu buku Kebudayaan dalam Politik, Agama dalam Kearifan Bahari, dan Ekonomi Cukup . Semuanya juga akan digelar di tempat yang sama dengan sejumlah pembicara kenamaan.
Radhar mungkin tak seorang diri yang merasa muak dan jemu dengan dunia perpolitikan. Namun, ia menyuarakannya berbeda dengan yang lain. Bagi Radhar, tiap orang memiliki kebahagiaan, ketuhanan, keterusterangan yang mudah dipahami. Sayangnya, semua itu direbut oleh pikiran dan tindakan yang tidak hanya melukai, mendestruksi, dan mengkriminalisasi kebudayaan karena sebetulnya kebudayaan itu sendiri yang telah memberi keagungan terhadap sebuah istana dan orang-orang di sekitarnya.
“Mereka bukan hanya mengkhianati politik tapi kebudayaan, yang sama artinya dengan manusia, dan bangsa itu sendiri. Ini keangkaraan yang sangat tragis,” tegasnya. Pada diskusi tentang Manusia Istana pekan lalu itu hadir beberapa pembicara seperti peneliti senior Pusat Studi Strategis dan Internasional (Centre for Strategic and International Studies/- CSIS) J Kristiadi, budayawan Abdul Hadi Wiji Muthari, sosiolog Univeristas Indonesia (UI) Thamrin Amal Tomagola, penyair Floribertus Rahardi, dan Toeti Heraty. J. Kristiadi membuka diskusi dengan pernyataan yang cukup menggelitik.
Menurut dia, lebih sulit memahami puisi dan lebih mudah memahami polisi. Dia mengaku kesulitan memahami isi puisi milik Radhar. Namun, Kris akhirnya bisa sedikit memahami isi puisi Radhar setelah membaca kata pengantarnya. “Mas Radhar prihatin dengan yang terjadi saat ini, sama seperti kita,” ungkapnya. Menurut Kris, saat ini tidak hanya terjadi pendangkalan di dunia politik, tapi juga pemujaan terhadap pendangkalan itu.
Hal ini bisa dilihat dari kelakuan manusia saat ini, terutama para politisi yang kerap berbicara tentang Pancasila tapi tidak bisa menampilkan arti Pancasila tersebut. “Kader-kader partai tidak ditempatkan dalam posisi mulia, tapi dijadikan pesuruh atau jongos,” tegasnya. Karena itu Kris menilai, kehadiran buku Radhar mampu membangunkan kita semua dari amnesia kolektif dan bius-bius atau candu-candu, atau uap-uap kekuasaan. Sebab, selama ini masyarakatlah yang kerap menjadi sasaran bius-bius kekuasaan tersebut.
Susi susanti
(ars)