Daya Beli Masyarakat Terpukul

Sabtu, 07 Maret 2015 - 09:31 WIB
Daya Beli Masyarakat Terpukul
Daya Beli Masyarakat Terpukul
A A A
JAKARTA - Kenaikan harga berbagai komoditas strategis yang terjadi secara beruntun akan memukul daya beli masyarakat. Karena itu, pemerintah harus mengkaji ulang rencana kenaikan sejumlah komoditas pada April mendatang.

EkonomThe Indonesia Economic Intelligence Sunarsip mengatakan, pemerintah mesti mengatur ritme kenaikan komoditas tertentu agar dampaknya terhadap inflasi dan daya beli lebih terkendali. ”Semisal kenaikan tarif listrik ditunda dulu. Pemerintah rugi sedikit tidak apaapa, menambah subsidi,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO kemarin.

Kenaikan harga berbagai komoditas strategis secara beruntun membuat beban rakyat semakin berat. Setelah terbebani dengan lonjakan harga beras, masyarakat harus menghadapi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji kemasan 12 kg. Belum cukup, mulai April mendatang masyarakat juga harus bersiap dengan kenaikan tarif tenaga listrik, tarif kereta api kelas ekonomi jarak sedang-jauh, dan tarif tol. Kenaikan tarif listrik menyasar golongan rumah tangga dengan daya 1.300 va dan 2.200 va.

Ini lantaran kedua golongan tersebut tak lagi disubsidi oleh pemerintah. Sunarsip mengatakan, dampak kenaikan harga masing-masing komoditas berbeda. Penyesuaian tarif listrik, tarif tol, BBM, dan elpiji lebih dirasakan oleh kelas menengah. Sedangkan kenaikan harga beras dampaknya merata bagi semua kalangan.

”Yang bisa dikontrol pemerintah itu harga BBM, listrik, elpiji, dan tol. Mestinya bisa diatur ritme penyesuaian harganya. Kalau beras memang sulit dikontrol karena mekanisme pasar,” ungkapnya. Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menuding pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas jalan tol merupakan kenaikan tarif terselubung. Ini lantaran tarif tersebut dibebankan kepada pengguna jasa.

”Ini jelas melanggar undang-undang dan peraturan pemerintah mengenai jalan tol,” katanya. Dia beralasan, sampai saat ini pelayanan jalan tol masih jauh dari memuaskan. Operator jalan tol belum mampu memenuhi standar pelayanan minimal. Bahkan, kecepatan rata-rata di jalan tol sudah semakin menurun. ”Antrean sudah semakin mengular, belum lagi banyak jalan tol yang berlubang di sana-sini. Apalagi kalau bicara tentang jalan tol di dalam kota, jauh dari idealnya jalan tol yang seharusnya bebas hambatan,” ujarnya.

Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengaku tengah mengkaji penerapan waktu yang tepat untuk menerapkan PPN 10% terhadap jasa jalan tol. Ini sesuai arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). ”Kemarin pas sidang kabinet, Presiden beri arahan kepada kami, pada intinya enggak keberatan (PPN jasa jalan tol), tapi tolong timing -nya diperhatikan, karena ada faktor inflasi,” ujarnya. Bambang menjelaskan, waktu yang tepat untuk menerapkan PPN 10% bagi jasa jalan tol ini memang pada 1 April 2015 karena inflasinya sedang rendah.

”Itu masa rendah (inflasi) karena masa panen,” imbuhnya. Penerapan PPN 10% untuk jalan tol merupakan kebijakan yang sempat tertunda. Sebelumnya, kebijakan ini sudah lama akan diterapkan, tetapi situasi industri tol belum mendukung. ”Artinya kalau suatu saat bisnis berkembang, investor banyak, wajar dong PPN dikenakan,” ujarnya.

Stabilitas Ekonomi Terjaga

Dibagianlain, GubernurBank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menegaskan, fundamental dan stabilitas ekonomi makro Indonesiamasihterjaga, meskinilai tukar rupiah cenderung melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Agus menjelaskan, penguatan dolar AS yang saat ini sedang terjadi menyebabkan pelemahan mata uang di berbagai negara, termasuk Indonesia. Namun, pelemahan rupiah masih lebih baik daripada Brasil dan Turki.

”Secara umum tidak perlu khawatir tentang makro dan stabilitas keuangan Indonesia, karena semua baik. Kalau rupiah itu bergejolak, itu sama seperti dunia yang currency -nya bergejolak,” katanya. Agus mengakui Indonesia masih memiliki kelemahan dalam neraca transaksi berjalan yang masih mengalami defisit. Kemudian tingkat inflasi nasional secara tahunan (year on year) masih tinggi dibanding negara lain. Pemerintah dan BI terus berupaya untuk menstabilkan neraca transaksi berjalan agar defisitnya tidak terlalu melebar dan menahan inflasi.

”Inflasi mengarah baik, karena pemerintah sudah menghapus subsidi BBM dan neraca transaksi berjalan juga mengarah membaik, karena ekspor nonmigas mulai bagus. Ini dinamikanya, tapi secara umum ekonomi makro dan stabilitas sistem keuangannya terjaga,” ungkap Agus. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, kemarin sore menguat 48 poin menjadi Rp12.927 dibandingkan sebelumnya di posisi Rp12.975 per dolar AS.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengimbau kepada BUMN agar melakukan lindung nilai (hedging ) di tengah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan, upaya lindung nilai tersebut diharapkan bisa mengurangi risiko kerugian bagi perusahaan. Terutama bagi perusahaan pemerintah yang banyak menggunakan biaya operasional dan pinjaman dengan mata uang asing.

”Kami melihatnya begini, di mana BUMN itu mempunyai risiko valuta asing yang tinggi sedangkan pendapatan di valuta asing rendah. Jadi, kami dorong mereka untuk mengurangi risiko itu. Kami dorong mereka lakukan hedging ,” kata Rini. Rini berpandangan, pelemahan nilai tukar rupiah tidak terlepas dari pelemahan kurs di wilayah ASEAN. Penguatan dolar AS tidak hanya berdampak terhadap pelemahan mata uang Indonesia saja, melainkan juga mata uang negara lain.

Dirjen Basis Industri Manufaktur (BIM) Kemenperin Harjanto mengatakan, banyak industri di Indonesia rentan terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah. Ini terjadi lantaran banyak industri memiliki ketergantungan tinggi terhadap impor bahan baku. Secara umum ketergantungan industri manufaktur masih tinggi rata-rata 20-60%. ”Bahkan untuk beberapa industri seperti baja, memiliki ketergantungan terhadap bahan baku impor sampai 80%,” ungkapnya.

Dia mengatakan, saat ini industri hulu dan hilir di Indonesia tidak terintegrasi. Impor bahan baku terpaksa dilakukan karena perkembangan industri hilir tidak diikuti oleh industri hulu. ”Hal itu menyebabkan banyak industri hilir cenderung memilih bahan baku impor. Karena itu, kita harus kembangkan sektor hulu. Kuncinya di daya saing, berdaya dulu lalu bisa bersaing,” katanya.

Dia melanjutkan, permasalahan utama dari daya saing di sektor hulu adalah biaya energi. Saat ini biaya untuk sumber daya energi di Indonesia sangat tinggi. ”Di mana ketika biaya energi (dunia) turun, kita (malah) naik. Ini sulit untuk berdaya saing,” ujarnya. Meski begitu, penguatan dolar AS ini harus dijadikan kesempatan untuk mendorong industri menggunakan bahan baku dalam negeri.

Untuk beberapa produk masih banyak yang bisa menggunakan bahan baku dalam negeri. ”Tapi ada juga industri yang tidak memiliki pilihan harus mengimpor karena bahan bakunya sama sekali tidak diproduksi di dalam negeri,” katanya.

Ichsan amin/ oktiani endarwati/ heru febrianto/ okezone/ant
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4550 seconds (0.1#10.140)