Di Situ Kami Kadang Merasa Sedih

Selasa, 03 Maret 2015 - 10:41 WIB
Di Situ Kami Kadang...
Di Situ Kami Kadang Merasa Sedih
A A A
Raga Driyan Pratama
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris. Universitas Negeri Surabaya

Alangkah uniknya negeri kita tercinta ini. Letak geografis yang dilewati oleh khatulistiwa memberikan keuntungan tertentu bagi dunia agraria Indonesia.

Dengan kondisi geografis ini, Indonesia mampu mengembangkan segala macam hasil pertanian seperti sayur-sayuran, buahbuahan, palawija, dan bahkan aneka makanan pokok seperti jagung, padi, dan sagu. Tidak hanya memberikan keuntungan berdasarkan sumber daya alam (SDA), tetapi letak geografis In-donesia juga menguntungkan dalam sektor sumber daya manusia (SDM).

Bagaimana tidak? Sektor pertanian berkontribusi dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 15,3% di tahun 2009, dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 42 juta orang di tahun 2010 (SAKERNAS, 2010). Angka ini cukup mengagetkan bukan? Sayangnya, jika harus menelisik permasalahan pertanian Indonesia, ”di situ saya kadang merasa sedih” seperti jargon yang mampu menjadi trending topic dari Polwan Dewi.

Dari 42 juta petani Indonesia di tahun 2010 hingga jumlahnya menjadi 55 juta di tahun 2014, permasalahan kesejahteraan petani kian menjadi-jadi hingga banyak petani Indonesia yang hidupnya jauh dari kata layak. Sebagai contoh, bagaimana bisa petani yang notabene penyumbang devisa ketiga untuk negeri ini masih mengalami kesulitan untuk mencari kebutuhan pangan. Banyak anggota petani yang masih harus bersusah payah mencari beras walaupun mereka adalah penghasil beras itu sendiri. Sungguh fakta yang klasik dan sangat menggelikan.

Berdasarkan Rencana Kinerja Tahunan (RKT) Kementerian Pertanian 2014, dunia pertanian Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan global yang mampu mengancam kemajuan dunia pertanian seperti; 1) dampak perubahan iklim global yang mampu menurunkan kualitas hasil panen, 2) meningkatnya harga pangan, 3) meningkatnya budaya konsumtif kedelai, gula dan daging di dalam negeri yang tidak sesuai dengan ketersediaan bahan secara nasional atau internasional, 4) kenaikan harga impor barang akan mengurangi devisa negara, 5) minimnya akses pembiayaan untuk petani/peternak, 6) terbatasnya lahan dan air, 7) sistem pe-nyuluhan pertanian yang tidak efektif, dan 8) belum optimalnya dukungan pemerintah daerah.

Tantangan yang kian kompleks tersebut tentu saja menjadi fakta unik yang sanggup memperburuk keadaan pertanian Indonesia. Bahkan 27.000 ahli pertanian, termasuk lulusan cendekiawan universitas terkemuka di Indonesia, masih belum cukup untuk mengembalikan kesejahteraan dunia pertanian Indonesia seperti beberapa abad yang lalu, ketika pelaut ternama asal Belanda, Inggris, dan Perancis selalu mengincar rempah-rempah Indonesia.

Lalu, bagaimana kami harus menghadapi permasalahan ini? Apakah kami harus melakukan perubahan sendiri? Impossible! Kami tidak bisa bekerja tanpa campur tangan pemerintah karena pemerintah adalah decision maker utama di negeri ini.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1090 seconds (0.1#10.140)