Tak Cukup dengan S-3
A
A
A
Indonesia berupaya terus menciptakan pendidikan berkualitas. Setiap output dari perguruan tinggi harus mampu bersaing setelah menamatkan studinya. Upaya demikian harus ditopang dengan kualitas tenaga pengajar di perguruan tinggi.
Tanpa dosen berkualitas, alumni yang ditelurkan di setiap program studi perguruan tinggi sulit untuk mendapatkan kesempatan berkompetisi dengan lulusan perguruan tinggi luar negeri. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Riset dan Teknologi dan Dikti (Kemenristek-Dikti) terus berupaya meningkatkan kualitas dosen.
Tidak boleh lagi ada dosen yang memiliki kualifikasi pendidikan setingkat strata 1 (S-1) atau sarjana. Mereka harus berpendidikan minimal master atau strata 2 (S-2). Akan tetapi, menurut Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal (Dirjen) Dikti Kemenristek-Dikti Ainun Na’im, pendidikan S-3 atau doktor tidaklah cukup.
Peningkatan kualitas itu mesti pula disertai dengan penelitian dan para dosen tersebut harus memberikan kontribusi dalam pengetahuan serta teknologi. “Untuk apa S-3 kalau tidak ada kontribusinya? Sama saja dengan bohong,” ungkap Ainun Na’im di Jakarta, belum lama ini.
Menurutnya, selama ini Ditjen Dikti terus memberikan peluang besar kepada setiap tenaga pengajar di perguruan tinggi untuk meningkatkan kompetensi. Semua itu dilakukan melalui dua jalur, yakni dengan sistem sertifikasi dan karier. Setiap dosen harus memiliki sertifikasi untuk memenuhi standar kompetensi kerja dan ilmu pengetahuannya.
Sedangkan di sistem karier, mereka banyak diberikan peluang mengikuti studi lanjut, penelitian, beasiswa, dan sebagainya. Cara demikian akan berdampak secara langsung terhadap program studi (prodi) yang mendapatkan akreditasi oleh lembaga akreditasi, baik dari dalam negeri maupun dunia internasional. Predikat akreditasi itu membuat calon mahasiswa semakin berminat kuliah di sana.
Bahkan lulusan dari prodi yang bersangkutan bakal dibutuhkan oleh dunia kerja ataupun entrepreneurship. Pemberian prioritas itu tidak hanya kepada dosen perguruan tinggi negeri (PTN) di Pulau Jawa, tapi juga di luar Jawa. Selama ini dosen dari Pulau Jawa memang diberikan prioritas yang lebih besar.
Makanya, kemajuan kualitas pendidikan di luar Jawa relatif lebih lamban dibandingkan dengan di Pulau Jawa. Sebab, dari sejumlah PTN, masih ada yang memiliki dosen berkualifikasi pendidikan sarjana. “Hingga kini dosen yang S-1 masih ada, walaupun jumlahnya terus berkurang. Kita akan terus memacu mereka untuk meningkatkan pendidikan,” sambung Ainun.
Kalau dosen sudah memiliki kualifikasi yang mumpuni, terus melakukan penelitian serta memberikan kontribusi untuk ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pada akhirnya putra-putri bangsa ini tidak lagi harus ke PTN tertentu saja untuk menimba ilmu. Ada banyak tempat bagi mereka untuk mengejar cita-cita.
Sementara terhadap perguruan tinggi swasta (PTS), Ditjen Dikti pun tidak menutup mata. Terkhusus pada PTS nonunggulan. Ditjen Dikti tetap memberikan perhatian dengan menyediakan alokasi dosen yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dan hibah. “PTS itu akan tetap kami perhatikan,” tandasnya.
Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Rochmat Wahab menuturkan, di UNY, jumlah dosen terus meningkatkan untuk kualifikasi doktor dan profesor. Para dosen tidak hanya diminta untuk menjalankan tugas di bidang akademik semata, tetapi juga harus memberikan pembinaan kepada mahasiswa. “Untuk kualifikasi prodi kelompok IPA dan IPS cukup diakui oleh lembaga tingkat nasional,” sebutnya.
Diakui oleh Rochmat, pada saat ini dari 1.019 jumlah dosen, masih ada tenaga pengajar perguruan tinggi yang memiliki kualifikasi pendidikan sarjana. Jumlahnya sekitar 3–4%. Bagi yang sarjana ini, di tahun 2015 bakal diberikan tindakan, harus meningkatkan studinya. “Kalau tidak, mereka akan distafkan,” ungkapnya.
Begitu juga dengan yang lain, Rochmat menekankan bahwa dosen di UNY diharuskan menempuh pendidikan S-3 atau doktor sebelum umur 40 tahun. Mereka harus belajar di luar negeri. Tidak ada alasan tidak bisa berkuliah ke luar negeri, karena ketersediaan beasiswa begitu banyak.
Bagi yang hanya mau mengejar kualifikasi doktor (S-3) di dalam negeri tidak dilarang, namun mereka harus meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris supaya kualifikasi dosen ini dapat setara dengan yang menempuh pendidikan di luar negeri. “Kita tidak memaksakan, tapi harus kompetitif,” sebutnya.
Untuk diketahui, di UNY jumlah dosen yang sudah doktor 30% dan profesor 6%. Sisanya menyandang master atau magister. Di samping itu, para dosen didorong terus melakukan penelitian dan pengembangan diri sehingga kemampuannya dapat memberikan sumbangsih untuk ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan olahraga.
Di kesempatan terpisah, Rektor Universitas Andalas (Unand) Padang Werry Darta Taifur menuturkan, tantangan untuk mengejar kuantitas dosen itu bukan saja pekerjaan masing-masing perguruan tinggi, tapi juga Indonesia secara keseluruhan. Dia menyebutkan, saat ini jumlah dosen seluruh Indonesia sebanyak 192.876 untuk PTN dan PTS.
“Jika S-3 dapat direpresentasikan sebagai kualitas dosen karena sudah mencapai gelar akademik tertinggi, maka jumlah doktor (S-3) baru sebanyak 24.387 orang (13,3%). Kemudian yang S- 1 masih ada sebanyak 4.160. Dosen ini tidak boleh mengajar lagi terhitung semenjak tahun 2015, sesuai dengan UU Guru dan Dosen Tahun 2005,” tuturnya.
Dia menyadari, dilihat dari kualifikasi pendidikan, dosen secara keseluruhan kualitasnya masih belum memuaskan. Sementara untuk di Unand ditargetkan pada 2018, jumlah doktor sudah mencapai 70%. Saat ini jumlah doktor sudah 456 orang dan yang sedang mengambil S-3 sebanyak 298 orang. “Insya Allah bisa 100 orang yang akan lahir sebagai doktor dalam dua tahun ke depan,” sambungnya.
Unand mendorong dosen kalangan muda untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Agar mampu belajar di luar negeri, Unand juga menyiapkan para dosen tersebut dengan kemampuan berbahasa Inggris, seperti mengirim kursus bahasa Inggris dan mengambil TOEFL. “Kualitas dosen Unand sudah jauh lebih baik daripada PTN lain di luar Jawa,” klaimnya.
Berdasarkan data Unand, pada 1 November 2014 jumlah dosennya yang berstatus PNS sebanyak 1.381 orang. Mereka termasuk dosen yang mendapat tugas tambahan di kementerian, lembaga atau badan negara, serta perguruan tinggi di luar Unand. Dari 1.381 itu, yang memiliki kualifikasi doktor sebanyak 452 orang (32,7%), kualifikasi S-2 aktif sebanyak 531 orang (38,45%) dan kualifikasi S-1 masih tersisa sebanyak 22 orang (1,5%). Sementara sisanya sedang mengikuti program studi lanjut S-3 di perguruan tinggi dalam dan luar negeri.
Ilham safutra
Tanpa dosen berkualitas, alumni yang ditelurkan di setiap program studi perguruan tinggi sulit untuk mendapatkan kesempatan berkompetisi dengan lulusan perguruan tinggi luar negeri. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Riset dan Teknologi dan Dikti (Kemenristek-Dikti) terus berupaya meningkatkan kualitas dosen.
Tidak boleh lagi ada dosen yang memiliki kualifikasi pendidikan setingkat strata 1 (S-1) atau sarjana. Mereka harus berpendidikan minimal master atau strata 2 (S-2). Akan tetapi, menurut Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal (Dirjen) Dikti Kemenristek-Dikti Ainun Na’im, pendidikan S-3 atau doktor tidaklah cukup.
Peningkatan kualitas itu mesti pula disertai dengan penelitian dan para dosen tersebut harus memberikan kontribusi dalam pengetahuan serta teknologi. “Untuk apa S-3 kalau tidak ada kontribusinya? Sama saja dengan bohong,” ungkap Ainun Na’im di Jakarta, belum lama ini.
Menurutnya, selama ini Ditjen Dikti terus memberikan peluang besar kepada setiap tenaga pengajar di perguruan tinggi untuk meningkatkan kompetensi. Semua itu dilakukan melalui dua jalur, yakni dengan sistem sertifikasi dan karier. Setiap dosen harus memiliki sertifikasi untuk memenuhi standar kompetensi kerja dan ilmu pengetahuannya.
Sedangkan di sistem karier, mereka banyak diberikan peluang mengikuti studi lanjut, penelitian, beasiswa, dan sebagainya. Cara demikian akan berdampak secara langsung terhadap program studi (prodi) yang mendapatkan akreditasi oleh lembaga akreditasi, baik dari dalam negeri maupun dunia internasional. Predikat akreditasi itu membuat calon mahasiswa semakin berminat kuliah di sana.
Bahkan lulusan dari prodi yang bersangkutan bakal dibutuhkan oleh dunia kerja ataupun entrepreneurship. Pemberian prioritas itu tidak hanya kepada dosen perguruan tinggi negeri (PTN) di Pulau Jawa, tapi juga di luar Jawa. Selama ini dosen dari Pulau Jawa memang diberikan prioritas yang lebih besar.
Makanya, kemajuan kualitas pendidikan di luar Jawa relatif lebih lamban dibandingkan dengan di Pulau Jawa. Sebab, dari sejumlah PTN, masih ada yang memiliki dosen berkualifikasi pendidikan sarjana. “Hingga kini dosen yang S-1 masih ada, walaupun jumlahnya terus berkurang. Kita akan terus memacu mereka untuk meningkatkan pendidikan,” sambung Ainun.
Kalau dosen sudah memiliki kualifikasi yang mumpuni, terus melakukan penelitian serta memberikan kontribusi untuk ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pada akhirnya putra-putri bangsa ini tidak lagi harus ke PTN tertentu saja untuk menimba ilmu. Ada banyak tempat bagi mereka untuk mengejar cita-cita.
Sementara terhadap perguruan tinggi swasta (PTS), Ditjen Dikti pun tidak menutup mata. Terkhusus pada PTS nonunggulan. Ditjen Dikti tetap memberikan perhatian dengan menyediakan alokasi dosen yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dan hibah. “PTS itu akan tetap kami perhatikan,” tandasnya.
Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Rochmat Wahab menuturkan, di UNY, jumlah dosen terus meningkatkan untuk kualifikasi doktor dan profesor. Para dosen tidak hanya diminta untuk menjalankan tugas di bidang akademik semata, tetapi juga harus memberikan pembinaan kepada mahasiswa. “Untuk kualifikasi prodi kelompok IPA dan IPS cukup diakui oleh lembaga tingkat nasional,” sebutnya.
Diakui oleh Rochmat, pada saat ini dari 1.019 jumlah dosen, masih ada tenaga pengajar perguruan tinggi yang memiliki kualifikasi pendidikan sarjana. Jumlahnya sekitar 3–4%. Bagi yang sarjana ini, di tahun 2015 bakal diberikan tindakan, harus meningkatkan studinya. “Kalau tidak, mereka akan distafkan,” ungkapnya.
Begitu juga dengan yang lain, Rochmat menekankan bahwa dosen di UNY diharuskan menempuh pendidikan S-3 atau doktor sebelum umur 40 tahun. Mereka harus belajar di luar negeri. Tidak ada alasan tidak bisa berkuliah ke luar negeri, karena ketersediaan beasiswa begitu banyak.
Bagi yang hanya mau mengejar kualifikasi doktor (S-3) di dalam negeri tidak dilarang, namun mereka harus meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris supaya kualifikasi dosen ini dapat setara dengan yang menempuh pendidikan di luar negeri. “Kita tidak memaksakan, tapi harus kompetitif,” sebutnya.
Untuk diketahui, di UNY jumlah dosen yang sudah doktor 30% dan profesor 6%. Sisanya menyandang master atau magister. Di samping itu, para dosen didorong terus melakukan penelitian dan pengembangan diri sehingga kemampuannya dapat memberikan sumbangsih untuk ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan olahraga.
Di kesempatan terpisah, Rektor Universitas Andalas (Unand) Padang Werry Darta Taifur menuturkan, tantangan untuk mengejar kuantitas dosen itu bukan saja pekerjaan masing-masing perguruan tinggi, tapi juga Indonesia secara keseluruhan. Dia menyebutkan, saat ini jumlah dosen seluruh Indonesia sebanyak 192.876 untuk PTN dan PTS.
“Jika S-3 dapat direpresentasikan sebagai kualitas dosen karena sudah mencapai gelar akademik tertinggi, maka jumlah doktor (S-3) baru sebanyak 24.387 orang (13,3%). Kemudian yang S- 1 masih ada sebanyak 4.160. Dosen ini tidak boleh mengajar lagi terhitung semenjak tahun 2015, sesuai dengan UU Guru dan Dosen Tahun 2005,” tuturnya.
Dia menyadari, dilihat dari kualifikasi pendidikan, dosen secara keseluruhan kualitasnya masih belum memuaskan. Sementara untuk di Unand ditargetkan pada 2018, jumlah doktor sudah mencapai 70%. Saat ini jumlah doktor sudah 456 orang dan yang sedang mengambil S-3 sebanyak 298 orang. “Insya Allah bisa 100 orang yang akan lahir sebagai doktor dalam dua tahun ke depan,” sambungnya.
Unand mendorong dosen kalangan muda untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Agar mampu belajar di luar negeri, Unand juga menyiapkan para dosen tersebut dengan kemampuan berbahasa Inggris, seperti mengirim kursus bahasa Inggris dan mengambil TOEFL. “Kualitas dosen Unand sudah jauh lebih baik daripada PTN lain di luar Jawa,” klaimnya.
Berdasarkan data Unand, pada 1 November 2014 jumlah dosennya yang berstatus PNS sebanyak 1.381 orang. Mereka termasuk dosen yang mendapat tugas tambahan di kementerian, lembaga atau badan negara, serta perguruan tinggi di luar Unand. Dari 1.381 itu, yang memiliki kualifikasi doktor sebanyak 452 orang (32,7%), kualifikasi S-2 aktif sebanyak 531 orang (38,45%) dan kualifikasi S-1 masih tersisa sebanyak 22 orang (1,5%). Sementara sisanya sedang mengikuti program studi lanjut S-3 di perguruan tinggi dalam dan luar negeri.
Ilham safutra
(ftr)