Etika Hakim Sarpin

Senin, 02 Maret 2015 - 10:19 WIB
Etika Hakim Sarpin
Etika Hakim Sarpin
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran


Pascaputusan praperadilan yang dipimpin hakim tunggal, Sarpin Rizaldi, hakim senior dengan pangkat golongan IV/D setara dengan jabatan guru besar di perguruan tinggi, telah menimbulkan pro dan kontra mengenai etika dan melampaui batas kewenangan.

Soal etika, saya berpendapat hal ini bersifat pribadi dan bukan masalah publik. Karena dari sudut ilmu hukum, etika berada pada nurani seseorang yang tidak lepas dari proses pembentukan karakter seseorang sejak kecil sampai dewasa serta lingkungan keluarganya. Namun, ada persoalan etika yang kemudian dialihkan menjadi ranah publik.

Semula pertengkaran suami istri sampai pada pemukulan oleh suami masih dipandang sebagai masalah keluarga, namun perkembangan kemudian dan terkini telah dimasukkan/ dialihkan sebagai bagian dari tanggung jawab suami kepada publik. Lahirlah UU KDRT; pemukulan yang mengakibatkan luka ringan/ berat oleh seorang ayah terhadap anaknya, semula urusan ayah dan anaknya, saat ini telah termasuk tindak pidana sekalipun delik aduan.

Dalam konteks putusan hakim Sarpin, tentu masalah etika dan perilaku seorang hakim dengan UU KY telah menjadi ranah publik dan bagian dari tanggung jawab hakim sebagai pemangku jabatan negara kepada publik. Sebaliknya, menjadi hak publik yang diwakili oleh KY untuk mengawasi perilaku hakim dan menjaga dan memelihara martabat hakim sesuai UU KY.

Fungsi pengawasan KY terhadap perilaku hakim seharusnya diimbangi dengan fungsi KY untuk memelihara dan menjaga martabat hakim sehingga terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban anggota KY dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang diperintahkan oleh UU KY.

Dalam praktik, KY tidak menjalankan fungsi kedua secara efisien dan efektif namun lebih banyak melaksanakan fungsi pengawasan semata-mata. Fungsi ini pun sering dijalankan setelah memperoleh laporan pengaduan masyarakat; dan kini telah terjadi perubahan di mana KY proaktif memantau jalannya sidang sekalipun terbatas pada perkara besar yang menarik perhatian masyarakat.

*** Sejak KY jilid I, penulis telah menyampaikan keberatan melalui artikel di harian nasional terhadap cara kerja KY, yaitu bahwa perilaku seorang hakim dalam bekerjanya dilihat dari isi putusan pengadilan. Alasan penulis, sulit menilai perilaku hakim termasuk etika hakim dengan membaca pertimbangan apalagi sidang pengadilan dilaksanakan dengan sistem majelis; bahkan sebelum memutus perkara telah didahului oleh rapat permusyawaratan hakim.

Dan sebaliknya, anggota KY tidak mengikuti jalannya persidangan sejak awal sampai putusan dijatuhkan. Setiap putusan pengadilan merupakan hasil analisis majelis hakim terhadap selain surat dakwaan juga fakta yang terjadi di persidangan yang dibuka dan terbuka untuk umum.

Ditambah lagi sesuai dengan bunyi Pasal 183 KUHAP, hakim diberikan kewenangan memutuskan berdasarkan keyakinannya. Pertanyaan besar bagaimana keyakinan hakim dan seluruh fakta persidangan dapat diuji secara materiil oleh anggota KY yang notabene tidak pernah mengikuti sidang sejak awal sampai akhir putusan dijatuhkan pengadilan.

Padahal, yang diuji adalah hakim-hakim berpengalaman dan senior dalam pekerjaannya dibandingkan dengan anggota KY pada umumnya. Seharusnya anggota KY adalah pensiunan hakim yang memiliki integritas dan baik track-record- nya selama menjadi hakim. Bukankah masalah etika seseorang hanya dapat diuji oleh orang lain yang telah berpengalaman dan memiliki ilmu pengetahuan yang memadai serta memiliki integritas yang lebih baik dari pada yang diawasi? Bukankah perilaku seorang anak, beretika atau tidak, sopan atau tidak hanya dapat dilakukan oleh orang tuanya?

*** Penulis mengharapkan, KY mengevaluasi kembali SOP kinerja KY agar tetap berada pada koridor UU KY dan sejalan dengan maksud dan tujuan pembentukan KY serta ditempatkannya KY di dalam UUD 1945 dibandingkan dengan KPK.

UUD 1945 telah memberikan landasan moralitas, sosial, dan hukum kepada seluruh penyelenggara negara untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan mandat yang diberikan UU kepadanya serta menjalankan sumpah jabatan yang merupakan ikatan moral yang seharusnya dan sepatutnya pula dijunjung tinggi.

Dalam konteks ini, setiap anggota KY wajib menjaga dan memelihara martabat hakim di samping mengawasi hakim. Selama persidangan yang saya ikuti sebagai ahli, saya dapat katakan bahwa hakim Sarpin telah memimpin persidangan dengan tertib dan disiplin serta lugas dalam memberikan arahan kepada kuasa hukum pemohon dan termohon.

Bahkan, hakim Sarpin bahkan selalu mengingatkan kuasa hukum khususnya dalam sidang pemeriksaan ahli, bahwa ahli tidak diperkenankan menilai fakta kecuali hanya memberikan opini (pendapat) sesuai dengan keahliannya. Perhatian masyarakat pascaputusan hakim Sarpin tertuju pada kewenangan praperadilan dengan merujuk pada Pasal 77 KUHAP.

Namun, masyarakat sering melupakan bahwa Pasal 10 ayat (2) UU RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menegaskan bahwa pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan hanya atas alasan bahwa UU tidak mengaturnya. Seharusnya ketentuan ini diartikan bahwa pengadilan adalah satu-satunya tempat mencari, menemukan, dan memperoleh keadilan bagi setiap orang tidak terkecuali terlepas dari latar belakang sosial, etnis, agama dan jabatannya dalam masyarakat.

Amat naif jika ketika ada orang siapa pun mendatangi pengadilan dan mengajukan permohonan untuk memperoleh keadilan kemudian ditolak dengan alasan UU tidak mengaturnya dan benar pendapat (alm) Satjipto Rahardjo, bahwa hukum itu (dibuat) untuk manusia bukan manusia untuk hukum!

Limitasi yang diberikan pembentuk UU KUHAP dalam hal alasan praperadilan b-ertentangan dengan BA XA UUD 1945, UU RI Nomor 39 tentang HAM, dan tidak sejalan dengan Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005.
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0882 seconds (0.1#10.140)