Dunia Politik dan Agraris
A
A
A
Dian Dwi Jayanto
Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik FISIP, Aktivis HMI. UNAIR Surabaya
Dewasa ini dunia politik mengalami degradasi persepsi yang luar biasa. Politik dipandang sebagai arena tidak terhormat untuk dimasuki.
Asumsi demikian merupakan konsekuensi logis dari perilaku elite politik kita. Meskipun alergi dengan politik, kita tidak akan bisa memisahkan berbagai aspek kehidupan dari dunia tersebut. Subaspek politik dalam hubungan kekuasaan meliputi interaksi antara unsur masyarakat dan unsur negara dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik; bagaimana kebijakan publik dirumuskan dan diimplementasikan dan bagaimana implementasi kebijakan publik dievaluasi dan sebagainya.
Di sinilah terdapat relasinya dengan pertanian. Sebagai contoh, apakah Anda setuju jika bahan pokok itu murah? Pastinya Anda akan setuju. Permasalahannya pemerintah juga setuju dengan Anda. Jika bahan pokok tetap murah, berarti para petani penghasilannya akan tetap kecil. Jika petani berani menaikkan harga beras hasil produksinya, sering sekali pemerintah mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam, kemudian disubsidi secara besar-besaran dan ditawarkan ke pasar.
Dengan perbandingan harga bahan pokok yang lebih murah, berarti mau tidak mau petani akan menurunkan kembali harga produksinya. Sehebat apa pun etos kerja para petani, mereka tidak akan berkembang pesat tanpa ada keseriusan pemerintah untuk memperhatikan nasib mereka. Terkadang kemiskinan bukan karena malas bekerja atau karena nasib, melainkan terdapat sistem pemiskinan secara struktural.
Keadaan demikian dimungkinkan akan tetap berlanjut karena watak sosiologis para petani cenderung berpikir pragmatis, kurang rasional dan mudah pasrah. Sejak kecil, kita sudah diberi asupan pemahaman bahwa negara Indonesia adalah negara agraris. Mengapa pemerintah tidak memfokuskan obyek kerja untuk menggarap sektor tersebut?
Kenapa malah menyibukkan diri dengan membuat kerja sama bisnis mengenai mobil nasional dan sebagainya? Taruhlah China, Jepang, Amerika, dan negara-negara maju lainnya terkenal akan kecanggihan teknologi yang diproduksi, mengapa Indonesia tidak mendayagunakan identitas agrarisnya secara maksimal sehingga menjadi branding tersendiri bagi perkembangan ekonomi negara?
Semoga Bapak Andi Maran Sulaiman, menteri Pertanian Kabinet Kerja, mau dan mampu secara serius melaksanakan instruksi presiden untuk menghentikan impor beras, gula, dan kedelai dalam beberapa tahun ke depan. Sudah saatnya jabatan politik bukan sekadar dipahami sebagai kekuasaan dan kewenangan semata, namun sebagai fungsi dan sarana untuk melayani warga negara.
Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik FISIP, Aktivis HMI. UNAIR Surabaya
Dewasa ini dunia politik mengalami degradasi persepsi yang luar biasa. Politik dipandang sebagai arena tidak terhormat untuk dimasuki.
Asumsi demikian merupakan konsekuensi logis dari perilaku elite politik kita. Meskipun alergi dengan politik, kita tidak akan bisa memisahkan berbagai aspek kehidupan dari dunia tersebut. Subaspek politik dalam hubungan kekuasaan meliputi interaksi antara unsur masyarakat dan unsur negara dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik; bagaimana kebijakan publik dirumuskan dan diimplementasikan dan bagaimana implementasi kebijakan publik dievaluasi dan sebagainya.
Di sinilah terdapat relasinya dengan pertanian. Sebagai contoh, apakah Anda setuju jika bahan pokok itu murah? Pastinya Anda akan setuju. Permasalahannya pemerintah juga setuju dengan Anda. Jika bahan pokok tetap murah, berarti para petani penghasilannya akan tetap kecil. Jika petani berani menaikkan harga beras hasil produksinya, sering sekali pemerintah mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam, kemudian disubsidi secara besar-besaran dan ditawarkan ke pasar.
Dengan perbandingan harga bahan pokok yang lebih murah, berarti mau tidak mau petani akan menurunkan kembali harga produksinya. Sehebat apa pun etos kerja para petani, mereka tidak akan berkembang pesat tanpa ada keseriusan pemerintah untuk memperhatikan nasib mereka. Terkadang kemiskinan bukan karena malas bekerja atau karena nasib, melainkan terdapat sistem pemiskinan secara struktural.
Keadaan demikian dimungkinkan akan tetap berlanjut karena watak sosiologis para petani cenderung berpikir pragmatis, kurang rasional dan mudah pasrah. Sejak kecil, kita sudah diberi asupan pemahaman bahwa negara Indonesia adalah negara agraris. Mengapa pemerintah tidak memfokuskan obyek kerja untuk menggarap sektor tersebut?
Kenapa malah menyibukkan diri dengan membuat kerja sama bisnis mengenai mobil nasional dan sebagainya? Taruhlah China, Jepang, Amerika, dan negara-negara maju lainnya terkenal akan kecanggihan teknologi yang diproduksi, mengapa Indonesia tidak mendayagunakan identitas agrarisnya secara maksimal sehingga menjadi branding tersendiri bagi perkembangan ekonomi negara?
Semoga Bapak Andi Maran Sulaiman, menteri Pertanian Kabinet Kerja, mau dan mampu secara serius melaksanakan instruksi presiden untuk menghentikan impor beras, gula, dan kedelai dalam beberapa tahun ke depan. Sudah saatnya jabatan politik bukan sekadar dipahami sebagai kekuasaan dan kewenangan semata, namun sebagai fungsi dan sarana untuk melayani warga negara.
(ars)