Imlek dan Gus Dur
A
A
A
Sebuah media memberitakan pendiri Museum Rekor Dunia Indonesia Jaya Suprana menetaskan air mata saat menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebelum memberikan penghargaan Rekor Muri origami bunga teratai oleh siswa Sekolah Ananda di Grand Metropolitan Mal, Kota Bekasi, Minggu (15/2).
Bisa jadi perasaannya terbawa oleh suasana khidmat lagu kebangsaan tersebut hingga tak kuasa menahan air mata. Tapi, yang pasti, momen saat itu begitu istimewa karena sudah memasuki suasana Tahun Baru Imlek 2566. Suasana kebangsaan bercampur dengan suasana tahun baru Tionghoa itu ternyata serta-merta mengingatkannya kepada almarhum Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
”Kita jangan lupa bahwa Imlek ini kan dulu kan dilarang. Ini adalah perjuangan Gus Dur, tanpa Gus Dur nggak mungkin ada pesta semacam ini,” ujar bos Jamu Jago tersebut. Jaya Suprana bisa disebut merepresentasikan warga keturunan Tionghoa di Tanah Air yang mengakui sumbangsih Gus Dur yang kemudian mendapatkan julukan sebagai Bapak Pluralisme.
Bentuk pengakuan diekspresikan dalam beragam bentuk seperti seminar atau perayaan yang diwarnai dengan hiburan barongsai dan liong. Bahkan ada yang mendatangi langsung ke makam mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut di Tebu Ireng, Cukir, Jombang untuk berziarah. Penghargaan warga Tionghoa kepada Gus Dur yang sedemikian memang sepadan dengan apa yang diperjuangkan cucu pendiri NU Hadratus Syekh KH Hasyim Asyari tersebut.
Hal ini terkait dengan kebijakan yang diambilnya saat menjabat sebagai RI1, yakni mencabut Inpres No 14 Tahun 1967. Bagi mereka, implikasi kebijakan tersebut seperti membuka kotak pandora peribadatan Tionghoa di Tanah Air yang selama Orde Baru dikunci rapat-rapat.
Betapa tidak, inpres yang dibuat Presiden Soeharto mengeliminasi secara sistematis dan bertahap identitas diri orang-orang Tionghoa terhadap kebudayaannya, termasuk di dalamnya kepercayaan, agama, dan adat istiadatnya. Seluruh perayaan tradisi dan keagamaan Tionghoa, termasuk Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcun, dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka.
Tarian barongsai dan liong pun turut menjadi korban. Dengan pencabutan Inpres No 14 Tahun 1967 tersebut, sejak tahun 2000 warga Tionghoa mulai kembali bisa merayakan Tahun Baru Imlek. Bahkan kemudian Gus Dur menghadiahi mereka dengan Keppres No 19 Tahun 2001 yang menyatakan Imlek sebagai hari libur fakultatif. Baru di era Megawati Soekarnoputri pada 2003 Imlek resmi menjadi hari libur nasional.
Kini, kebudayaan Tionghoa sudah lebur dalam kebudayaan nasional Indonesia. Setiap Tahun Baru Imlek seperti saat ini, misalnya, warna-warni perayaan begitu terasa. Di mal-mal pernik-pernik lampion atau boneka kambing kayu sebagai simbol memasuki tahun kambing kayu menghiasi stan dan sudut-sudut ruangan. Begitu pun pergelaran barongsai dan liong bisa disaksikan di berbagai tempat.
Berbagai perayaan yang digelar, seperti dirasakan Jaya Suprana, tentu bukan hanya bermakna perayaan ritual, tapi juga wujud rasa syukur akan kemerdekaan kembali warga Tionghoa dalam bingkai keindonesiaan sekaligus mengenang kembali peran Gus Dur. Tak kalah penting adalah memahami lebih jauh arah dari kebijakan dan pemikiran Gus Dur sebagai saat memperjuangkan hak-hak warga Tionghoa.
Dalam suatu acara yang digelar Seknas Komunitas Gus Durian di Sleman Yogyakarta pada medio 2012, Alisa Wahid, putri Gus dur, menuturkan adanya 9 nilai dasar prisma pemikiran Gus Dur. Salah satunya adalah tentang keadilan. Bagi Gus Dur, hal yang dibutuhkan dalam hidup manusia adalah keadilan, karena itulah di berlelah-lelah membela kaum minoritas, termasuk warga Tionghoa.
Dalam konteks inilah Gus Dur berusaha memberi keseimbangan dalam beragam problem yang mewarnai relasi mayoritas vs minoritas di negeri ini. Menurut putra KH Wachid Hasyim tersebut, mayoritas tidak boleh berwatak mayoritas, sebaliknya minoritas tidak boleh berwatak minoritas. Sebab jika hal tersebut yang terjadi, akan muncul ketidakadilan hanya mendasarkan diri pada logika golongan masing-masing.
Bisa jadi perasaannya terbawa oleh suasana khidmat lagu kebangsaan tersebut hingga tak kuasa menahan air mata. Tapi, yang pasti, momen saat itu begitu istimewa karena sudah memasuki suasana Tahun Baru Imlek 2566. Suasana kebangsaan bercampur dengan suasana tahun baru Tionghoa itu ternyata serta-merta mengingatkannya kepada almarhum Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
”Kita jangan lupa bahwa Imlek ini kan dulu kan dilarang. Ini adalah perjuangan Gus Dur, tanpa Gus Dur nggak mungkin ada pesta semacam ini,” ujar bos Jamu Jago tersebut. Jaya Suprana bisa disebut merepresentasikan warga keturunan Tionghoa di Tanah Air yang mengakui sumbangsih Gus Dur yang kemudian mendapatkan julukan sebagai Bapak Pluralisme.
Bentuk pengakuan diekspresikan dalam beragam bentuk seperti seminar atau perayaan yang diwarnai dengan hiburan barongsai dan liong. Bahkan ada yang mendatangi langsung ke makam mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut di Tebu Ireng, Cukir, Jombang untuk berziarah. Penghargaan warga Tionghoa kepada Gus Dur yang sedemikian memang sepadan dengan apa yang diperjuangkan cucu pendiri NU Hadratus Syekh KH Hasyim Asyari tersebut.
Hal ini terkait dengan kebijakan yang diambilnya saat menjabat sebagai RI1, yakni mencabut Inpres No 14 Tahun 1967. Bagi mereka, implikasi kebijakan tersebut seperti membuka kotak pandora peribadatan Tionghoa di Tanah Air yang selama Orde Baru dikunci rapat-rapat.
Betapa tidak, inpres yang dibuat Presiden Soeharto mengeliminasi secara sistematis dan bertahap identitas diri orang-orang Tionghoa terhadap kebudayaannya, termasuk di dalamnya kepercayaan, agama, dan adat istiadatnya. Seluruh perayaan tradisi dan keagamaan Tionghoa, termasuk Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcun, dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka.
Tarian barongsai dan liong pun turut menjadi korban. Dengan pencabutan Inpres No 14 Tahun 1967 tersebut, sejak tahun 2000 warga Tionghoa mulai kembali bisa merayakan Tahun Baru Imlek. Bahkan kemudian Gus Dur menghadiahi mereka dengan Keppres No 19 Tahun 2001 yang menyatakan Imlek sebagai hari libur fakultatif. Baru di era Megawati Soekarnoputri pada 2003 Imlek resmi menjadi hari libur nasional.
Kini, kebudayaan Tionghoa sudah lebur dalam kebudayaan nasional Indonesia. Setiap Tahun Baru Imlek seperti saat ini, misalnya, warna-warni perayaan begitu terasa. Di mal-mal pernik-pernik lampion atau boneka kambing kayu sebagai simbol memasuki tahun kambing kayu menghiasi stan dan sudut-sudut ruangan. Begitu pun pergelaran barongsai dan liong bisa disaksikan di berbagai tempat.
Berbagai perayaan yang digelar, seperti dirasakan Jaya Suprana, tentu bukan hanya bermakna perayaan ritual, tapi juga wujud rasa syukur akan kemerdekaan kembali warga Tionghoa dalam bingkai keindonesiaan sekaligus mengenang kembali peran Gus Dur. Tak kalah penting adalah memahami lebih jauh arah dari kebijakan dan pemikiran Gus Dur sebagai saat memperjuangkan hak-hak warga Tionghoa.
Dalam suatu acara yang digelar Seknas Komunitas Gus Durian di Sleman Yogyakarta pada medio 2012, Alisa Wahid, putri Gus dur, menuturkan adanya 9 nilai dasar prisma pemikiran Gus Dur. Salah satunya adalah tentang keadilan. Bagi Gus Dur, hal yang dibutuhkan dalam hidup manusia adalah keadilan, karena itulah di berlelah-lelah membela kaum minoritas, termasuk warga Tionghoa.
Dalam konteks inilah Gus Dur berusaha memberi keseimbangan dalam beragam problem yang mewarnai relasi mayoritas vs minoritas di negeri ini. Menurut putra KH Wachid Hasyim tersebut, mayoritas tidak boleh berwatak mayoritas, sebaliknya minoritas tidak boleh berwatak minoritas. Sebab jika hal tersebut yang terjadi, akan muncul ketidakadilan hanya mendasarkan diri pada logika golongan masing-masing.
(bbg)