Pilkada Serentak
A
A
A
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan Undang-Undang (UU) Pilkada dan Pemda. Hasil yang paling signifikan dari UU ini adalah digelarnya pilkada serentak pada tahap pertama, yaitu Desember 2015 nanti.
Berikutnya pilkada serentak akan digelar Februari 2017, Juni 2018, dan pada akhirnya akan digelar pilkada serentak seluruh Indonesia pada 2027. Selain itu, putusan lain yang cukup signifikan adalah pilkada hanya berlangsung hanya satu putaran. Disahkan UU Pilkada ini tentu mengakhiri polemik yang terjadi selama ini.
Sebelumnya, pembahasan UU Pilkada ini menjadi bola panas dan mengawali ”perselisihan” antara partai-partai politik di Koalisi Merah Putih (KMP) dan parpol-parpol di Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Kubu KMP menginginkan bukan pilkada langsung alias melalui anggota dewan (DPRD), sedangkan KIH keukeuh mempertahankan pilkada langsung. KMP yang saat itu memenangkan voting.
Namun, akhirnya mengeluarkan Perppu No 1/2014 dan membuat DPR kembali membahas tentang pilkada langsung. Penolakan pilkada langsung didasari pada borosnya anggaran yang dikeluarkan dan yang paling dikhawatirkan adalah munculnya konflik di tingkat masyarakat. Dua persoalan ini yang juga menjadi persoalan bangsa yang cukup besar.
Namun, jika pilkada juga digelar tak langsung maka mengurangi atau bahkan menghilangkan peran rakyat secara langsung terhadap pemerintah. Tentu kondisi ini jauhdari semangat demokrasiyangselamainiselaludidengungkanoleh banyak tokoh. Lalu, apakah digelarnya pilkada serentak pada Desember 2015 nanti dan hanya berlangsung satu putaran bisa menjawab dua persoalan di atas?
Jawaban sementara untuk pertanyaan tersebut adalah, ya. Dengan berlangsung serentak, tentu ongkos yang dikeluarkan setiap daerah akan menjadi lebih ringan karena akan digelar serentak. Baksebuah pergelaran musik, akan lebih murah digelar secara bersama di setiap daerah daripada digelar di setiap daerah dengan waktu yang berbeda.
Begitu juga dengan hanya satu putaran. Anggaran yang dikeluarkan tidak membengkak dan bisa lebih fixed untuk dianggarkan. Dengan UU Pilkada yang baru tentu diharapkan kecurangan yang muncul di setiap pilkada juga bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan. UU Pilkada yang baru diharapkan bisa dijadikan alat untuk semakin membuat iklim demokrasi menjadi lebih baik.
Tentu dengan harapan tidak ada pihak-pihak yang justru ”mengakali” dengan mencari kelemahan dari UU tersebut untuk berbuat kecurangan . Aturan atau UU hanya sebuah tongkat dan jalan. Pengguna tongkat dan jalan adalah rakyat dan penyelenggara pemerintah. Artinya, baik tidaknya proses demokrasi turunan dari UU Pilkada yang baru ini bergantung pada orangnya.
Faktor utama agar pilkada nanti bisa berjalan jauh lebih baik akan bergantung pada penyelenggara pemerintah dan rakyat itu sendiri. Meskipun diberikan tongkat yang lebih baik ata ujalan yang lebih mulus, jika penyelenggara pemerintah dan rakyat justru ”mengakali” untuk kepentingan kelompok atau pribadi tentu menjadi percuma. Jika ini yang terjadi, UU Pilkada yang ingin menjawab persoalan pilkada langsung sebelumnya menjadi percuma.
Nah, sekali lagi, UU Pilkada hanya berupa alat, tinggal bagaimana rakyat dan penyelenggara pemerintah ini menggunakan alat tersebut. Apakah UU Pilkada nanti bisa menjawab persoalan, bergantung pada men behind the guns (orang pengguna senjata).
Untuk itu, menjadi tugas kita semua untuk menggunakan UU Pilkada tersebut dengan baik dengan tujuan agar demokrasi di negeri ini menjadi lebih baik. Jika kita semua salah dalam menggunakan alat tersebut atau menyalahgunakan alat tersebut, yang justru diperoleh kemerosotan demokrasi di Indonesia. Merosotnya demokrasi berarti Indonesia masih berjalan di tempat (move off ) atau bahkan berjalan mundur (move back ), bukan berjalan maju (move on ).??????
Berikutnya pilkada serentak akan digelar Februari 2017, Juni 2018, dan pada akhirnya akan digelar pilkada serentak seluruh Indonesia pada 2027. Selain itu, putusan lain yang cukup signifikan adalah pilkada hanya berlangsung hanya satu putaran. Disahkan UU Pilkada ini tentu mengakhiri polemik yang terjadi selama ini.
Sebelumnya, pembahasan UU Pilkada ini menjadi bola panas dan mengawali ”perselisihan” antara partai-partai politik di Koalisi Merah Putih (KMP) dan parpol-parpol di Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Kubu KMP menginginkan bukan pilkada langsung alias melalui anggota dewan (DPRD), sedangkan KIH keukeuh mempertahankan pilkada langsung. KMP yang saat itu memenangkan voting.
Namun, akhirnya mengeluarkan Perppu No 1/2014 dan membuat DPR kembali membahas tentang pilkada langsung. Penolakan pilkada langsung didasari pada borosnya anggaran yang dikeluarkan dan yang paling dikhawatirkan adalah munculnya konflik di tingkat masyarakat. Dua persoalan ini yang juga menjadi persoalan bangsa yang cukup besar.
Namun, jika pilkada juga digelar tak langsung maka mengurangi atau bahkan menghilangkan peran rakyat secara langsung terhadap pemerintah. Tentu kondisi ini jauhdari semangat demokrasiyangselamainiselaludidengungkanoleh banyak tokoh. Lalu, apakah digelarnya pilkada serentak pada Desember 2015 nanti dan hanya berlangsung satu putaran bisa menjawab dua persoalan di atas?
Jawaban sementara untuk pertanyaan tersebut adalah, ya. Dengan berlangsung serentak, tentu ongkos yang dikeluarkan setiap daerah akan menjadi lebih ringan karena akan digelar serentak. Baksebuah pergelaran musik, akan lebih murah digelar secara bersama di setiap daerah daripada digelar di setiap daerah dengan waktu yang berbeda.
Begitu juga dengan hanya satu putaran. Anggaran yang dikeluarkan tidak membengkak dan bisa lebih fixed untuk dianggarkan. Dengan UU Pilkada yang baru tentu diharapkan kecurangan yang muncul di setiap pilkada juga bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan. UU Pilkada yang baru diharapkan bisa dijadikan alat untuk semakin membuat iklim demokrasi menjadi lebih baik.
Tentu dengan harapan tidak ada pihak-pihak yang justru ”mengakali” dengan mencari kelemahan dari UU tersebut untuk berbuat kecurangan . Aturan atau UU hanya sebuah tongkat dan jalan. Pengguna tongkat dan jalan adalah rakyat dan penyelenggara pemerintah. Artinya, baik tidaknya proses demokrasi turunan dari UU Pilkada yang baru ini bergantung pada orangnya.
Faktor utama agar pilkada nanti bisa berjalan jauh lebih baik akan bergantung pada penyelenggara pemerintah dan rakyat itu sendiri. Meskipun diberikan tongkat yang lebih baik ata ujalan yang lebih mulus, jika penyelenggara pemerintah dan rakyat justru ”mengakali” untuk kepentingan kelompok atau pribadi tentu menjadi percuma. Jika ini yang terjadi, UU Pilkada yang ingin menjawab persoalan pilkada langsung sebelumnya menjadi percuma.
Nah, sekali lagi, UU Pilkada hanya berupa alat, tinggal bagaimana rakyat dan penyelenggara pemerintah ini menggunakan alat tersebut. Apakah UU Pilkada nanti bisa menjawab persoalan, bergantung pada men behind the guns (orang pengguna senjata).
Untuk itu, menjadi tugas kita semua untuk menggunakan UU Pilkada tersebut dengan baik dengan tujuan agar demokrasi di negeri ini menjadi lebih baik. Jika kita semua salah dalam menggunakan alat tersebut atau menyalahgunakan alat tersebut, yang justru diperoleh kemerosotan demokrasi di Indonesia. Merosotnya demokrasi berarti Indonesia masih berjalan di tempat (move off ) atau bahkan berjalan mundur (move back ), bukan berjalan maju (move on ).??????
(bhr)