DPR Setuju MK Tangani Sengketa Pilkada
A
A
A
JAKARTA - Lembaga yang akan ditunjuk menangani sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) masih jadi perdebatan. Namun, di tengah pembahasan revisi UU Pilkada, DPR mengisyaratkan setuju jika sengketa tetap ditangani Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Komisi II DPR RI Rambe Kamarul Zaman mengatakan, berdasarkan UU Nomor 1/ 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada), kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pilkada ada pada Mahkamah Agung (MA). Namun, mengingat beratnya beban kerja yang ditanggung lembaga tersebut, DPR cenderung setuju untuk merevisi UU Pilkada dengan mengembalikan kewenangan pada MK.
”Sebaiknya di MK, memang arahnya ke sana. Bukan di MA karena volume kerjanya berat. Tapi kita tunggu saja 15 Februari,” ujarnya tadi malam. Secara pribadi, kata Rambe, dirinya lebih memilih penyelesaian sengketa dilakukan di MA. Pasalnya, lembaga peradilan tersebut memiliki turunan seperti pengadilan tinggi (PT) dan pengadilan tata usaha negara (PTUN) di daerah-daerah.
”Kalau bisa di daerah kenapa harus ke pusat. Bisa saja langsung putus di PTUN dan difinalkan, tidak harus ke pusat. Ini yang harus dipikirkan,” katanya. Namun, Wakil Sekjen (Wasekjen) DPP Partai Golkar Munas Bali ini menyadari bahwa MA kenyataannya memang belum siap menjalankan amanat tersebut mengingat banyaknya perkara yang harus ditangani.
”Iya, MA tidak siap karena volume perkara yang ditanganinya besar, seluruh Indonesia. Apalagi, kalau pihak-pihak yang beperkara melakukan banding,” ucapnya. Terkait pernyataan Wakil Ketua MK Anwar Usman yang mengatakan jika memang kewenangan dikembalikan ke MK maka perlu ada revisi terkait waktu penyelesaian sengketa, yakni tidak lagi 15 hari mengingat pilkada dilakukan serentak, Rambe mengaku belum mengetahui hal tersebut.
”Saya belum tahu ada permintaan itu, nanti kita lihat,” jelasnya. Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menilai, sengketa pilkada memang sebaiknya ditangani MK. Karena itu, MK tidak boleh menolak menjalankan kewenangannya dan harus tunduk pada amanat UU. ”MK tidak boleh menentukan tugasnya sendiri. Kalau pilkada dikategorikan sebagai pemilu dan penyelenggara pemilu adalah KPU, maka KPU-MK satu paket,” kata Jimly kepada KORAN SINDO kemarin.
Menurut Jimly, jika MK menganulir keputusannya sendiri yang telah ditetapkan pada 2005 lalu, ke depan akan muncul ketidakstabilan hukum karena MK periode berikutnya akan melakukan tindakan yang sama, yakni membatalkan putusan MK sebelumnya. Jimly mencontohkan, MK di Amerika dan Jerman menangani perkara mencapai 10.000 kasus per tahun, sedangkan MK di Indonesia hanya 200 perkara per tahun.
”Kita menjalankan kehidupan bernegara, tidak boleh sesuai kemauan sendiri. Kalau MK menangani pilkada maka perkara yang ditangani tidak sampai 10.000,” katanya. Berbeda dengan MA, lanjut dia, di mana perkara yang ditangani bisa mencapai 20.000 perkara per tahun. Jimly menegaskan penanganan sengketa pilkada memang sarat dengan muatan politik yang sangat tinggi.
”Jadi harus dipahami begitu. Jangan karena kasus Akil, MK tidak mau dengan alasan bukan kewenangannya. Agar tidak terulang, manajemen internalnya diperbaiki,” katanya. Jimly juga sepakat agar payung hukum mengenai kewenangan penyelesaian sengketa dalam UU Pilkada direvisi. Termasuk waktu yang diberikan untuk menyelesaikan perkara sesuai dengan permintaan MK.
”Nah kalau soal itu (teknis) boleh. Tapi kalau yang lain tidak. Misalnya jangan dua minggu, bisa tiga minggu atau sebulan,” ucapnya. Pendapat berbeda diungkapkan pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis. Menurutnya, sengketa pilkada sebaiknya ditangani oleh MA bukan MK. ”Tak perlu ke MK dan tidak perlu juga lembaga ad hoc maupun badan baru untuk menangani itu. Jangan buat kacau. Bisa saja cukup sampai di pengadilan tinggi,” katanya.
Juga tidak ada jaminan dibentuknya lembaga baru dengan orang-orang yang baru maka penanganan sengketa pilkada akan lebih baik.
Sucipto
Ketua Komisi II DPR RI Rambe Kamarul Zaman mengatakan, berdasarkan UU Nomor 1/ 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada), kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pilkada ada pada Mahkamah Agung (MA). Namun, mengingat beratnya beban kerja yang ditanggung lembaga tersebut, DPR cenderung setuju untuk merevisi UU Pilkada dengan mengembalikan kewenangan pada MK.
”Sebaiknya di MK, memang arahnya ke sana. Bukan di MA karena volume kerjanya berat. Tapi kita tunggu saja 15 Februari,” ujarnya tadi malam. Secara pribadi, kata Rambe, dirinya lebih memilih penyelesaian sengketa dilakukan di MA. Pasalnya, lembaga peradilan tersebut memiliki turunan seperti pengadilan tinggi (PT) dan pengadilan tata usaha negara (PTUN) di daerah-daerah.
”Kalau bisa di daerah kenapa harus ke pusat. Bisa saja langsung putus di PTUN dan difinalkan, tidak harus ke pusat. Ini yang harus dipikirkan,” katanya. Namun, Wakil Sekjen (Wasekjen) DPP Partai Golkar Munas Bali ini menyadari bahwa MA kenyataannya memang belum siap menjalankan amanat tersebut mengingat banyaknya perkara yang harus ditangani.
”Iya, MA tidak siap karena volume perkara yang ditanganinya besar, seluruh Indonesia. Apalagi, kalau pihak-pihak yang beperkara melakukan banding,” ucapnya. Terkait pernyataan Wakil Ketua MK Anwar Usman yang mengatakan jika memang kewenangan dikembalikan ke MK maka perlu ada revisi terkait waktu penyelesaian sengketa, yakni tidak lagi 15 hari mengingat pilkada dilakukan serentak, Rambe mengaku belum mengetahui hal tersebut.
”Saya belum tahu ada permintaan itu, nanti kita lihat,” jelasnya. Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menilai, sengketa pilkada memang sebaiknya ditangani MK. Karena itu, MK tidak boleh menolak menjalankan kewenangannya dan harus tunduk pada amanat UU. ”MK tidak boleh menentukan tugasnya sendiri. Kalau pilkada dikategorikan sebagai pemilu dan penyelenggara pemilu adalah KPU, maka KPU-MK satu paket,” kata Jimly kepada KORAN SINDO kemarin.
Menurut Jimly, jika MK menganulir keputusannya sendiri yang telah ditetapkan pada 2005 lalu, ke depan akan muncul ketidakstabilan hukum karena MK periode berikutnya akan melakukan tindakan yang sama, yakni membatalkan putusan MK sebelumnya. Jimly mencontohkan, MK di Amerika dan Jerman menangani perkara mencapai 10.000 kasus per tahun, sedangkan MK di Indonesia hanya 200 perkara per tahun.
”Kita menjalankan kehidupan bernegara, tidak boleh sesuai kemauan sendiri. Kalau MK menangani pilkada maka perkara yang ditangani tidak sampai 10.000,” katanya. Berbeda dengan MA, lanjut dia, di mana perkara yang ditangani bisa mencapai 20.000 perkara per tahun. Jimly menegaskan penanganan sengketa pilkada memang sarat dengan muatan politik yang sangat tinggi.
”Jadi harus dipahami begitu. Jangan karena kasus Akil, MK tidak mau dengan alasan bukan kewenangannya. Agar tidak terulang, manajemen internalnya diperbaiki,” katanya. Jimly juga sepakat agar payung hukum mengenai kewenangan penyelesaian sengketa dalam UU Pilkada direvisi. Termasuk waktu yang diberikan untuk menyelesaikan perkara sesuai dengan permintaan MK.
”Nah kalau soal itu (teknis) boleh. Tapi kalau yang lain tidak. Misalnya jangan dua minggu, bisa tiga minggu atau sebulan,” ucapnya. Pendapat berbeda diungkapkan pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis. Menurutnya, sengketa pilkada sebaiknya ditangani oleh MA bukan MK. ”Tak perlu ke MK dan tidak perlu juga lembaga ad hoc maupun badan baru untuk menangani itu. Jangan buat kacau. Bisa saja cukup sampai di pengadilan tinggi,” katanya.
Juga tidak ada jaminan dibentuknya lembaga baru dengan orang-orang yang baru maka penanganan sengketa pilkada akan lebih baik.
Sucipto
(ars)