Jokowi Terlalu Lama Berhitung
A
A
A
JAKARTA - Kontroversi pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kapolri tak kunjung usai. Lebih dari sebulan sejak mengajukan Kalemdikpol tersebut ke DPR dan sudah mendapat persetujuan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) ternyata masih berhitung tentang langkah apa yang akan diambilnya.
Sejumlah pengamat menilai lambannya Presiden dalam mengambil keputusan justru akan memperumit diri sendiri. Mereka pun meminta Presiden mengambil sikap tegas sehingga masalah terselesaikan. Pandangan demikian disampaikan pakar hukum tata negara Margarito Kamis dan Aminuddin Ilmar serta pengamat politik Siti Zuhro.
Menurut Margarito, persoalan tidak akan rumit jika Presiden menentukan sikap sejak awal tentang nasib Budi Gunawan. “Ini akan semakin rumit dan rumit lagi. Sebelumnya beliau menyatakan akan menunggu proses praperadilan selesai, baru menentukan nasib Pak BG. Sebelum ke Malaysia dia menyatakan akan menentukannya pekan ini. Lalu pekan ini belum juga. Pernyataan berganti-ganti. Ini semakin membuatnya sulit,” ujar Margarito.
Dalam pandangnya, persoalan Budi Gunawan sebenarnya mudah. Misalnya, sejak penetapan Budi sebagai tersangka, Presiden bisa langsung membatalkan pencalonan Budi Gunawan. Namun Presiden juga bisa langsung melantik Budi Gunawan setelah disetujui DPR. Menurut Margarito, sudah seharusnya Presiden melantik Budi Gunawan dan bahkan tidak perlu menunggu hasil praperadilan.
“Karena apa pun putusan dari praperadilan tidak dapat dijadikan dasar untuk tidak melantik BG,” kata dia. Dia lantas menandaskan bahwa Presiden secara hukum harus melantik Budi Gunawan yang telah ditetapkan DPR. Jika tidak melantik, Presiden dapat dikatakan melanggar hukum. Hal ini menurutnya bisa berujung pada pemakzulan. “Melanggar hukum ini kan perbuatan tersela dan ini sarat akan terjadi (upaya) pemakzulan,” ujar dia.
Pakar hukum tata negara Aminuddin Ilmar memahami Presiden mengulur waktu karena ingin menunggu hasil praperadilan untuk menghormati proses hukum. Namun dia juga menegaskan sudah seharusnya Presiden mengambil waktu secara cepat dan tegas karena menyangkut kelembagaan Polri, yaitu kepemimpinan Polri harus jelas.
Dia pun melihat ketidakjelasan sikap Presiden menimbulkan banyak interpretasi hingga menimbulkan pandangan pesimistis. “Presiden harus mengambil ketegasan terkait apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan. Terlepas dari hiruk-pikuk yang terjadi,” paparnya. Pengamat politik LIPI Siti Zuhro juga memahami Presiden mengulur waktu karena menunggu hasil praperadilan.
Sambil menunggu, Presiden melihat apa konsekuensi dari setiap putusan praperadilan Budi Gunawan. Namun dia mengingatkan bahwa kunci utama setiap pengambilan keputusan, termasuk memilih kapolri, adalah hak prerogatif Presiden. “Bola ada di Presiden. Mainkan dan perankan itu. Namun tentu Presiden harus lebih visioner atau mampu membaca melampaui mata kita. Setiap keputusan ada implikasinya. Presiden harus memilih implikasi negatif terkecil tentunya,” kata dia.
Pengamat lulusan Universitas Jember itu menilai Presiden menyandera diri sendiri. Sejak awalmencalonkanBudiGunawan, Presiden seharusnya sudah tahu siapa yang dicalonkan dan bagaimana rekam jejaknya. “Harusnya tidak ada kontroversinya lagi. Presiden harus bisa mengantisipasi ini. Mungkin dia merasa dielu-elukan jadi merasa semua kebijakannya diterima. Tapi jangan lupa, aspirasi rakyat harus dipertimbangkan serius,” ujar dia. Kemarin Presiden Jokowi mengatakan nasib Komjen Pol Budi Gunawan akan segera diputuskan secepatnya. Menurut dia, saat ini proses untuk memutuskan calon kapolri sedang berjalan dan hal tersebut membutuhkan perhitungan matang.
“Tadi ada kalkulasi, ada perhitungan yang menyangkut masalah berbagai hal berkaitan dengan politik, yang berkaitan dengan hukum yang semuanya harus dihitung, dikalkulasi. Kalau masalahnya hanya satu dan tidak bertumpukan, 1x24 jam sudah saya putuskan,” ujar Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat. Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut lantas menuturkan dirinya masih akan melakukan komunikasi dengan berbagai pihak, termasuk melakukan pertemuan dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang digelar seusai Munas II Partai Hanura di Solo.
Semua masukan dalam pertemuan politik itu menurutnya sangat penting untuk menjadi pertimbangan sebelum akhirnya mengambil keputusan. “Baik dengan partai politik, baik dengan publik, baik suara-suara dari masyarakat, semua kita dengarkan, termasukdari tokohtokoh semua,” tambahnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristianto menegaskan nasib calon kapolri Komjen Budi Gunawan sepenuhnya berada di tangan Presiden Jokowi. Partainya tidak akan melakukan penekanan atas nasib Budi Gunawan. Dia pun yakin Presiden dapat menentukan nasib calon kapolri tersebut sesuai dengan konstitusi.
“Kita serahkan semuanya kepada Pak Presiden, kami yakin semua bisa diselesaikan dengan baik,” ujar Hasto ketika ditemui di Kantor Dewan Perwakilan Cabang PDIP Kota Solo kemarin. Meskipun menyerahkan semuanya kepada Jokowi, PDIP menggariskan, keputusan itu mesti diambil setelah proses praperadilan Budi Gunawan tuntas. Menurut Hasto, hal itu sesuai dengan instruksi yang dilontarkan Wakil Presiden Jusuf Kalla. “Kami harap agar berbagai pihak menahan diri, tidak melakukan provokasi yang menimbulkan ketegangan di masyarakat,” tegasnya.
Sikap DPR
Kemarin beredar kabar Presiden membatalkan pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kapolri. Mendengar informasi tersebut, kalangan DPR secara tegas mengatakan akan konsisten meminta Presiden melantik Budi Gunawan. Pimpinan dan Komisi III DPR menegaskan tidak ada opsi lain bagi Presiden selain melantik Budi mengingat secara kelembagaan dan ketatanegaraan yang bersangkutan sudah disetujui dan diputuskan dalam sidang paripurna DPR.
“Kita opsinya, yang sudah disetujui DPR, dia sah untuk dilantik. Secara de facto, BG (Budi Gunawan) itu kapolri. Lantik dulu, secara kelembagaan selesai. Setelah itu urusan pribadi silakan,” kata Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Fahri pun mengakui bahwa terkait dengan kemungkinan dibatalkannya pelantikan Budi Gunawan, menurut dia, Presiden sudah menelepon Ketua DPR Setya Novanto.
Presiden intinya menanyakan konsekuensi-konsekuensi apa saja yang akan terjadi apabila pelantikan Budi Gunawan dibatalkan. “Sikap DPR konsisten, kita sudah serahkan ini ke Presiden. BG sudah disahkan di paripurna, sudah berdiri di depan paripurna, diberi support. Secara de facto kapolri itu Budi Gunawan,” ungkapnya.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu lantas menuturkan kronologi pengajuan Budi Gunawan ke DPR untuk dimintakan persetujuan. Kepada DPR, Presiden dalam surat memintaagarprosesnya dipercepat. Karena itu, DPR kemudian juga bergerak cepat memprosesnya. “DPR sudah proses, sampai resmi jadi kapolri. Secara kelembagaan harus dilantik. Kalau setelah dilantik, BG ambil tindakan terkait status dia, itu keputusan dia,” terangnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa mengingatkan, sudah tentu ada konsekuensi serius jika Presiden secara sepihak membatalkan apa yang sudah menjadi keputusan DPR. Dia mempertanyakan logika dan atas dasar apa Presiden mewacanakan untuk membatalkan pelantikan Budi Gunawan, padahal Komisi III DPR menyetujuinya dan itu juga atas usulan Presiden.
“DPR sudah memberikan persetujuan, tidak ada alasan bagi dia untuk membatalkannya,” kata Desmond. MenurutDesmond, sebenarnya Presiden bisa saja mengambil jalan tengah dengan tetap melantik Budi Gunawan dan setelah itu langsung menonaktifkan atau memberhentikannya. Yang terpenting, kata dia, Budi Gunawan harus dilantik terlebih dahulu karena menyangkut keputusan lembaga negara.
“Jadi harus tetap dilantik. Setelah dilantik kemudian menggunakan hak prerogatif untuk memberhentikan, itu terserah Presiden,” ucapnya. Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Trimedya Panjaitan menegaskan, tidak mungkin bagi DPR untuk bersikap ingkar terhadap apa yang telah diputuskan dan disahkan dalam sidang paripurna. Karena itu, tidak ada opsi lain bagi Komisi III DPR khususnya untuk mendukung keputusan melantik Budi Gunawan.
“Kami tetap minta Pak Jokowi melantik Komjen Budi Gunawan sebagai kapolri. Kami harap beliau konsisten mengenai apa yang beliau usulkan,” ungkapnya. Pandangan lebih keras disampaikan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo. Menurut dia, pimpinan DPR harus bersikap tegas dan lugas menolak pengusulan nama baru calon kapolri oleh Presiden.
“Karena di pundaknyalah marwah dan kehormatan DPR dipertaruhkan. Kalau benar Presiden tadi malam telah menelepon pimpinan DPR dan akan mengajukan nama baru, maka itu dapat dikategorikan contempt of parliament ,” kata Bambang. Dan jika itu benar terjadi, kata dia, sesuai dengan kewenangan yang diberikan UU kepada DPR sebagaimana diatur dalam UU Kepolisian dan UU MD3, pimpinan DPR harus menyampaikan kepada Presiden bahwa DPR akan menolak atau mengembalikan siapa pun nama baru calon kapolri tersebut ke Presiden.
“Kecuali Presiden mengikuti etika dan aturan serta perundang- undangan yang berlaku. Misalnya melantik dahulu, baru kemudian mengajukan kembali permohonan persetujuan kepada DPR untuk memberhentikan kapolri dan mengangkat kapolri yang baru sebagaimana diatur dalam UU Kepolisian,” ucapnya. Tanpa itu, kata Bambang, sama saja Presiden menampar muka DPR dua kali.
Tamparan pertama adalah tindakan Presiden yang tidak melantik Budi Gunawan sebagai kapolri, padahal Presiden sendiri yang meminta. Tamparan kedua, tindakan Presiden yang tibatiba mengajukan calon baru seolah- olah DPR hanya dianggap tukang stempel saja. Sementara itu, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengantisipasi pembatalan Budi Gunawan dengan menyerahkan enam nama calon baru kepada Presiden.
Komisioner Kompolnas Syafriadi Cut Ali mengaku pihaknya sudah dipanggil oleh Presiden ke Istana atas hal tersebut. Dalam pertemuan dengan menteri terkait, pihaknya diajak berdiskusi seputar antisipasi apabila Budi Gunawan tak jadi dilantik Jokowi sebagai kapolri.
“Makanya kemudian kami siapkan enam nama calon kapolri lagi. Sudah kami serahkan enam nama itu,” katanya kepada KORAN SINDO, di Kantor Kompolnas kemarin.
Rahmat sahid/ Helmi syarif/Arief setiadi/ rarasati syarief
Sejumlah pengamat menilai lambannya Presiden dalam mengambil keputusan justru akan memperumit diri sendiri. Mereka pun meminta Presiden mengambil sikap tegas sehingga masalah terselesaikan. Pandangan demikian disampaikan pakar hukum tata negara Margarito Kamis dan Aminuddin Ilmar serta pengamat politik Siti Zuhro.
Menurut Margarito, persoalan tidak akan rumit jika Presiden menentukan sikap sejak awal tentang nasib Budi Gunawan. “Ini akan semakin rumit dan rumit lagi. Sebelumnya beliau menyatakan akan menunggu proses praperadilan selesai, baru menentukan nasib Pak BG. Sebelum ke Malaysia dia menyatakan akan menentukannya pekan ini. Lalu pekan ini belum juga. Pernyataan berganti-ganti. Ini semakin membuatnya sulit,” ujar Margarito.
Dalam pandangnya, persoalan Budi Gunawan sebenarnya mudah. Misalnya, sejak penetapan Budi sebagai tersangka, Presiden bisa langsung membatalkan pencalonan Budi Gunawan. Namun Presiden juga bisa langsung melantik Budi Gunawan setelah disetujui DPR. Menurut Margarito, sudah seharusnya Presiden melantik Budi Gunawan dan bahkan tidak perlu menunggu hasil praperadilan.
“Karena apa pun putusan dari praperadilan tidak dapat dijadikan dasar untuk tidak melantik BG,” kata dia. Dia lantas menandaskan bahwa Presiden secara hukum harus melantik Budi Gunawan yang telah ditetapkan DPR. Jika tidak melantik, Presiden dapat dikatakan melanggar hukum. Hal ini menurutnya bisa berujung pada pemakzulan. “Melanggar hukum ini kan perbuatan tersela dan ini sarat akan terjadi (upaya) pemakzulan,” ujar dia.
Pakar hukum tata negara Aminuddin Ilmar memahami Presiden mengulur waktu karena ingin menunggu hasil praperadilan untuk menghormati proses hukum. Namun dia juga menegaskan sudah seharusnya Presiden mengambil waktu secara cepat dan tegas karena menyangkut kelembagaan Polri, yaitu kepemimpinan Polri harus jelas.
Dia pun melihat ketidakjelasan sikap Presiden menimbulkan banyak interpretasi hingga menimbulkan pandangan pesimistis. “Presiden harus mengambil ketegasan terkait apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan. Terlepas dari hiruk-pikuk yang terjadi,” paparnya. Pengamat politik LIPI Siti Zuhro juga memahami Presiden mengulur waktu karena menunggu hasil praperadilan.
Sambil menunggu, Presiden melihat apa konsekuensi dari setiap putusan praperadilan Budi Gunawan. Namun dia mengingatkan bahwa kunci utama setiap pengambilan keputusan, termasuk memilih kapolri, adalah hak prerogatif Presiden. “Bola ada di Presiden. Mainkan dan perankan itu. Namun tentu Presiden harus lebih visioner atau mampu membaca melampaui mata kita. Setiap keputusan ada implikasinya. Presiden harus memilih implikasi negatif terkecil tentunya,” kata dia.
Pengamat lulusan Universitas Jember itu menilai Presiden menyandera diri sendiri. Sejak awalmencalonkanBudiGunawan, Presiden seharusnya sudah tahu siapa yang dicalonkan dan bagaimana rekam jejaknya. “Harusnya tidak ada kontroversinya lagi. Presiden harus bisa mengantisipasi ini. Mungkin dia merasa dielu-elukan jadi merasa semua kebijakannya diterima. Tapi jangan lupa, aspirasi rakyat harus dipertimbangkan serius,” ujar dia. Kemarin Presiden Jokowi mengatakan nasib Komjen Pol Budi Gunawan akan segera diputuskan secepatnya. Menurut dia, saat ini proses untuk memutuskan calon kapolri sedang berjalan dan hal tersebut membutuhkan perhitungan matang.
“Tadi ada kalkulasi, ada perhitungan yang menyangkut masalah berbagai hal berkaitan dengan politik, yang berkaitan dengan hukum yang semuanya harus dihitung, dikalkulasi. Kalau masalahnya hanya satu dan tidak bertumpukan, 1x24 jam sudah saya putuskan,” ujar Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat. Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut lantas menuturkan dirinya masih akan melakukan komunikasi dengan berbagai pihak, termasuk melakukan pertemuan dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang digelar seusai Munas II Partai Hanura di Solo.
Semua masukan dalam pertemuan politik itu menurutnya sangat penting untuk menjadi pertimbangan sebelum akhirnya mengambil keputusan. “Baik dengan partai politik, baik dengan publik, baik suara-suara dari masyarakat, semua kita dengarkan, termasukdari tokohtokoh semua,” tambahnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristianto menegaskan nasib calon kapolri Komjen Budi Gunawan sepenuhnya berada di tangan Presiden Jokowi. Partainya tidak akan melakukan penekanan atas nasib Budi Gunawan. Dia pun yakin Presiden dapat menentukan nasib calon kapolri tersebut sesuai dengan konstitusi.
“Kita serahkan semuanya kepada Pak Presiden, kami yakin semua bisa diselesaikan dengan baik,” ujar Hasto ketika ditemui di Kantor Dewan Perwakilan Cabang PDIP Kota Solo kemarin. Meskipun menyerahkan semuanya kepada Jokowi, PDIP menggariskan, keputusan itu mesti diambil setelah proses praperadilan Budi Gunawan tuntas. Menurut Hasto, hal itu sesuai dengan instruksi yang dilontarkan Wakil Presiden Jusuf Kalla. “Kami harap agar berbagai pihak menahan diri, tidak melakukan provokasi yang menimbulkan ketegangan di masyarakat,” tegasnya.
Sikap DPR
Kemarin beredar kabar Presiden membatalkan pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kapolri. Mendengar informasi tersebut, kalangan DPR secara tegas mengatakan akan konsisten meminta Presiden melantik Budi Gunawan. Pimpinan dan Komisi III DPR menegaskan tidak ada opsi lain bagi Presiden selain melantik Budi mengingat secara kelembagaan dan ketatanegaraan yang bersangkutan sudah disetujui dan diputuskan dalam sidang paripurna DPR.
“Kita opsinya, yang sudah disetujui DPR, dia sah untuk dilantik. Secara de facto, BG (Budi Gunawan) itu kapolri. Lantik dulu, secara kelembagaan selesai. Setelah itu urusan pribadi silakan,” kata Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Fahri pun mengakui bahwa terkait dengan kemungkinan dibatalkannya pelantikan Budi Gunawan, menurut dia, Presiden sudah menelepon Ketua DPR Setya Novanto.
Presiden intinya menanyakan konsekuensi-konsekuensi apa saja yang akan terjadi apabila pelantikan Budi Gunawan dibatalkan. “Sikap DPR konsisten, kita sudah serahkan ini ke Presiden. BG sudah disahkan di paripurna, sudah berdiri di depan paripurna, diberi support. Secara de facto kapolri itu Budi Gunawan,” ungkapnya.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu lantas menuturkan kronologi pengajuan Budi Gunawan ke DPR untuk dimintakan persetujuan. Kepada DPR, Presiden dalam surat memintaagarprosesnya dipercepat. Karena itu, DPR kemudian juga bergerak cepat memprosesnya. “DPR sudah proses, sampai resmi jadi kapolri. Secara kelembagaan harus dilantik. Kalau setelah dilantik, BG ambil tindakan terkait status dia, itu keputusan dia,” terangnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa mengingatkan, sudah tentu ada konsekuensi serius jika Presiden secara sepihak membatalkan apa yang sudah menjadi keputusan DPR. Dia mempertanyakan logika dan atas dasar apa Presiden mewacanakan untuk membatalkan pelantikan Budi Gunawan, padahal Komisi III DPR menyetujuinya dan itu juga atas usulan Presiden.
“DPR sudah memberikan persetujuan, tidak ada alasan bagi dia untuk membatalkannya,” kata Desmond. MenurutDesmond, sebenarnya Presiden bisa saja mengambil jalan tengah dengan tetap melantik Budi Gunawan dan setelah itu langsung menonaktifkan atau memberhentikannya. Yang terpenting, kata dia, Budi Gunawan harus dilantik terlebih dahulu karena menyangkut keputusan lembaga negara.
“Jadi harus tetap dilantik. Setelah dilantik kemudian menggunakan hak prerogatif untuk memberhentikan, itu terserah Presiden,” ucapnya. Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Trimedya Panjaitan menegaskan, tidak mungkin bagi DPR untuk bersikap ingkar terhadap apa yang telah diputuskan dan disahkan dalam sidang paripurna. Karena itu, tidak ada opsi lain bagi Komisi III DPR khususnya untuk mendukung keputusan melantik Budi Gunawan.
“Kami tetap minta Pak Jokowi melantik Komjen Budi Gunawan sebagai kapolri. Kami harap beliau konsisten mengenai apa yang beliau usulkan,” ungkapnya. Pandangan lebih keras disampaikan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo. Menurut dia, pimpinan DPR harus bersikap tegas dan lugas menolak pengusulan nama baru calon kapolri oleh Presiden.
“Karena di pundaknyalah marwah dan kehormatan DPR dipertaruhkan. Kalau benar Presiden tadi malam telah menelepon pimpinan DPR dan akan mengajukan nama baru, maka itu dapat dikategorikan contempt of parliament ,” kata Bambang. Dan jika itu benar terjadi, kata dia, sesuai dengan kewenangan yang diberikan UU kepada DPR sebagaimana diatur dalam UU Kepolisian dan UU MD3, pimpinan DPR harus menyampaikan kepada Presiden bahwa DPR akan menolak atau mengembalikan siapa pun nama baru calon kapolri tersebut ke Presiden.
“Kecuali Presiden mengikuti etika dan aturan serta perundang- undangan yang berlaku. Misalnya melantik dahulu, baru kemudian mengajukan kembali permohonan persetujuan kepada DPR untuk memberhentikan kapolri dan mengangkat kapolri yang baru sebagaimana diatur dalam UU Kepolisian,” ucapnya. Tanpa itu, kata Bambang, sama saja Presiden menampar muka DPR dua kali.
Tamparan pertama adalah tindakan Presiden yang tidak melantik Budi Gunawan sebagai kapolri, padahal Presiden sendiri yang meminta. Tamparan kedua, tindakan Presiden yang tibatiba mengajukan calon baru seolah- olah DPR hanya dianggap tukang stempel saja. Sementara itu, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengantisipasi pembatalan Budi Gunawan dengan menyerahkan enam nama calon baru kepada Presiden.
Komisioner Kompolnas Syafriadi Cut Ali mengaku pihaknya sudah dipanggil oleh Presiden ke Istana atas hal tersebut. Dalam pertemuan dengan menteri terkait, pihaknya diajak berdiskusi seputar antisipasi apabila Budi Gunawan tak jadi dilantik Jokowi sebagai kapolri.
“Makanya kemudian kami siapkan enam nama calon kapolri lagi. Sudah kami serahkan enam nama itu,” katanya kepada KORAN SINDO, di Kantor Kompolnas kemarin.
Rahmat sahid/ Helmi syarif/Arief setiadi/ rarasati syarief
(ars)